Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Sebelumnya dikatakan bahwa “pengampunan” adalah peristiwa rahmat, karena sebagai manusia, kita tidak dapat mengampuni. Kita hanya bisa mengampuni dalam nama Allah. Kita hanya bisa mengampuni karena kita diberdayakan rahmat Allah. Kemampuan untuk mengampuni adalah anugerah Allah. Hanya rahmat dan kasih karunia Allah yang memungkinkan kita bisa mengampuni. Tanpa bantuan rahmat surgawi itu, mustahil kita bisa mengampuni. Dengan daya kemampuan kita sendiri, sulit kita menjadi subjek pelaku dari tindakan pengampunan itu. Hanya Allah yang memampukan kita untuk bisa mengampuni. Mengapa begitu? Itu tidak lain karena kita sebagai makhluk ciptaan adalah serba sangat rapuh, serba fragile (fragility), serba vulnerable (vulnerability). Karena kerapuhan itu, kita semua mudah sekali terluka oleh banyak sekali faktor di luar diri kita. Ya, kita adalah orang-orang yang terluka. Tetapi siapa yang bisa melukai kita, sampai kita seakan-akan dirundung malang berkepanjangan, dan bahkan sampai kita menyandang kondisi keterlukaan itu sebagai sebuah kodrat kedua? Mungkin jawaban di bawah ini akan membuat kita terkejut karena mungkin tidak menduganya sama sekali. Ya, celakanya, ternyata orang yang melukai kita bukanlah orang jauh, bukan orang yang tidak kita kenal, bukan orang asing. Melainkan, orang yang bisa dan mungkin tega melukai kita ialah justru orang yang kita cintai dan mencintai kita. Pihak yang berpotensi melukai dan menyakiti kita dalam artian sesungguhnya ialah orang-orang yang dekat sekali dengan kita. Orang yang mungkin tidak pernah kita duga bakal menyakiti kita. Tetapi yang terjadi, ya seperti itu.
Mungkin Habel, atau Adam dan Hawa sekalipun, tidak pernah berpikir bahwa drama tragis pembunuhan pertama dalam sejarah manusia ialah justru fratrisida, saudara (frater) membunuh (sida) saudara (frater), Kain membunuh Habel. Ya, begitulah faktanya. Itu yang terjadi. Manakala kita merasa ditolak, ditinggalkan, didiamkan, tidak dianggap, dilecehkan, dimanipulasi, ataupun dilanggar, di sanalah kita terluka, dilanda duka-lara. Semuanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang paling dekat dengan kita: orang tua kita, sahabat kita, bahkan pasangan kita, orang-orang yang kita cintai, anak-anak kita, tetangga kita, guru-guru kita, atau bahkan juga para gembala, para imam kita (dalam relasi umat dan imam). Ya, orang yang mencintai kita, yaitu orang yang kita percayai akan melindungi kita, ternyata bisa melukai kita. Benar kata pepatah Melayu klasik itu: pagar makan tanaman. Pagar yang diandaikan melindungi tanaman dalam kebun, dari hewan perusak, ternyata merusak dan menghancurkan tanaman itu. Ada ungkapan lain dari Kitab Suci yang mengatakan demikian: Orang yang makan sehidangan (roti) dengan kita, bisa melukai kita, bisa mengkhianati kita. Itulah tragedi dalam hidup kita. Justru fakta inilah yang menyebabkan pengampunan dari hati terdalam itu terasa sangat sulit, tidak mudah. Sebab yang terluka itu, bukan terutama badan kita, melainkan hati kita yang sangat rapuh.
Dalam konteks itulah kita bisa mengerti bahwa ada orang yang menumpahkan unek-uneknya dengan berkata sbb: “Kau, yang kuharapkan hadir untuk membantu aku, ternyata justru kau telah meninggalkan aku. Bagaimana mungkin aku dapat mengampuni perbuatanmu yang seperti itu terhadapku?” Bekas-bekas kepahitan dari perbuatan itu seakan-akan menempel, mengendap dalam hati kita, sehingga menimbulkan kepahitan. Di sana muncul pathos, semacam rasa sakit yang tidak lagi bersifat rasional, susah dijelaskan. Sehubungan dengan itu semua, saya bisa mengatakan bahwa pengampunan sering menjadi tampak seperti sudah tidak mungkin lagi. Tetapi itu adalah dari sudut pandang kita sebagai manusia. Sebab bagi Allah tidak ada sesuatu yang mustahil. Allah yang berdiam dalam diri kita akan memberi kita rahmat dan kekuatan untuk dapat melampaui diri dan hati kita yang sudah terluka, mungkin sudah lama dan tidak sembuh-sembuh karena tertimpa banyak luka. Berkat curahan rahmat itu kita akhirnya bisa berkata, “Dalam Nama Allah engkau diampuni.” Memang pengampunan itu adalah peristiwa rahmat. Hanya Kasih setia Allah yang memungkinkan hal itu terjadi. Karena itu, marilah kita senantiasa berdoa agar Allah sudi mencurahkan rahmat itu: “Tuhan, ajarilah kami mengampuni dan mengasihi.”