Foto:antara
Kemarin saya dikunjungi kawan yang datang dari luar negeri dan luar kota. Setelah cerita kesana kemari, tiba saat makan. Mau makan apa? Akhirnya kami memutuskan makan sate kambing.
Pergilah kami ke satu Wares (warung tapi berlagak seperti restoran). Sebelumnya saya sudah mendengar bahwa makan di sini waktu tunggunya lama. Saat ambil nomor antrean sudah dibilang waktu tunggunya nanti 1 jam. Kayaknya kami bisa nunggu. Saya sendiri makan terakhir jam 9 malam. Ini lewat jam 1.30 siang. Satu jam lagi masih bisa ditolerir.
Kami menunggu njegonggot selama satu jam. Perut saya sudah keruyukan. Jam 2.30 belum makan apa pun sejak pagi. Saya sudah ambil dua kerupuk. Tapi itu tidak cukup. Sekitar 15 menit kemudian, minuman yang kami pesan datang. Minuman.
Satu setengah jam menunggu, kami mulai berpikir. Akankah batalkan saja semua, bayar apa yang sudah dimakan–kerupuk!– dan pergi. Hampir setiap lima menit ada yang bertanya, pergi aja pa ya? Namun selalu ada di antara kami yang tidak setuju. Sudahlah, kita sudah menunggu begini lama. Sayang kan kalau harus pindah?
Ya sudahlah, kita tunggu. Kami menunggu hampir dua jam. Tepatnya 1 jam 50 sekian menit. Makanan datang. Saya sendiri sudah tidak berselera. Ya sudah makan sajalah. Toh sudah dipesan.
Akhir-akhir ini, saya mendengar lagi istilah sunk cost fallacy, yang pernah saya dengar ketika belajar ekonomi politik dulu. Ini sebenarnya konsep pengambilan keputusan. Arti harafiahnya adalah “esat pikir biaya hangus”.
Konsepnya sederhana. Ia merupakan kecenderungan kita untuk meneruskan apa yang sudah kita investasikan (uang, waktu, energi, emosi) walaupun kita sudah tahu bahwa hasilnya akan merugi.
Seperti pengalaman saya di Wares sate tadi. Saya sudah menginvestasikan waktu saya di sana; juga siksaan lapar; serta harapan (emosi) akan makan enak. Batalkan semuanya dan bayar apa yang sudah kita makan dan pergi, itu sebenarnya keputusan yang rasional.
Namun itu tidak diambil karena kita merasa rugi juga kalau pergi karena sudah menginvestasikan banyak hal tadi. Jadi, keputusannya ya tunggu saja. Walau kemudian ya rasanya jadi tidak enak-enak amat karena hilang selera makan tergerus emosi marah dan kecewa karena kelamaan menunggu.
Pengambilan keputusan macam ini sangat jamak terjadi di mana pun dalam hidup kita. Misalnya, ada gadis yang mau menikah, semua harl sudah disiapkan: lamaran, undangan, gedung, baju, dan semuanya sudah beres. Seminggu menjelang pernikahan baru diketahui bahwa pihak laki ternyata sudah punya istri.
Apa yang harus dilakukan? Tidak sedikit yang ambil keputusan, ya sudah langsungkan saja pernikahan itu. Jangan sampai keluarga malu karena batal. Juga investasi untuk pernikahan sudah sangat besar.
Begitu juga ketika nonton film. Sudah beli karcis, pop corn, dan duduk di dalam bioskop. Tapi fimnya membosankan. Apakah akan keluar atau tetap nonton? Kalau Anda terus nonton karena sudah terlanjut bayar karcis, beli pop-corn dan datang ke bioskop, nah itu namanya sunk cost fallacy.
Hal yang sama terjadi dalam dunia politik. Taruhlah misalnya, IKN. Negara sudah menginvestikan 71,2 tirlyun untuk IKN. Total investasi pemerintah dan swasta sejak 2022 hingga Agustus 2024 sebesar 140,7 trilyun.
Saat ini pemerintah tidak punya uang untuk melanjutkan dan ada prioritas program lain. Apakah akan diteruskan? Kalau diteruskan, biayanya besar sekali. Kalau dibatalkan, kerugian juga akan besar sekali. Akhirnya apa? Pemerintahan Prabowo memutuskan untuk tetap melanjutkannya–walau dengan dana icrit-icrit supaya proyek super mahal ini tidak mangkrak.
Hal yang sama mungkin juga akan terjadi pada proyek raksasa lainnya. Danantara, yang diresmikan Prabowo saat ini. Jika sudah berjalan setahun, ternyata lembaga ini merugi.
Akankah Prabowo berani menghentikannya?
Ini adalah lembaga yang ‘terlalu besar untuk gagal’ (too big to fail). Salah satu karakteristik dari lembaga super besar seperti ini adalah kalau dia untung, negara belum tentu menikmatinya; kalau dia rugi, negara sudah pasti harus menalanginya.
Lebih gawat lagi, karena pengawasannya tidak terlalu ketat–BPK, KPK, dll. tidak bisa memeriksanya. Risiko untuk digangsir juga besar. Apakah Danantara akan se-prudent Temasek di Singapore atau Khazanah di Malaysia? Sejauh ini, karena saya baru lihat dari media massa saja, kayaknya jauh dari itu.
Entah mengapa, saya melihat Danantara ini seperti melihat biaya hangus. Kalau pun dia untung, saya tidak yakin dia akan masuk ke Departemen Keuangan untuk diposkan dalam APBN. Ia bisa masuk ke dalam proyek-proyek yang dikelola oleh siapa yang menguasai Danantara.
Maksud saya, mungkin saja keuntungannya akan diinvestasikan ke proyek-proyek politik–dengan dalih investasi, obral duit di ratusan UMKM dengan oversight yang ala kadarnya karena UMKM ini punya dampak elektoral yang besar. Definisi korupsi tidak masuk di sini. Karena toh ini adalah investasi.
Nah, itu kalau untung. Kalau buntung? Ya negara yang nanggung semuanya. Seperti 1Malaysia Development Board di mana Malaysia rugi sekitar 4.1 milyar dollar atau 67 triliun rupiah menguap.
Negara ini berisiko terjebak pada sunk cost fallacy dengan proyek Danantara ini. Karena sedemikian besarnya–investasi ratusan triliun–maka ia akan menjadi terlalu besar untuk gagal. Keuangannya harus selalu biru alias sehat karena kalau ia ambruk ekonomi negeri ini akan ambruk juga.
Danantara menambah daftar investasi yang berisiko hangus ini. Selain itu, kita juga sudah punya IKN–proyek Jokowi yang kalau diteruskan akan ambil duit negara banyak sekali; kalau tidak diteruskan sudah bakar duit negara banyak sekali juga.
Dan, fakta yang lebih menyedihkan adalah bahwa uang untuk investasi Danantara ini berasal dari pengetatan ikat pinggang anggaran negara (‘efiseinsi’, katanya). Kita melihat pegawai-pegawai negara pada level rendahan dipaksa untuk bekerja dengan fasilitas yang tidak memadai.
Atau, diberhentikan karena tidak ada uang untuk menggajinya. Pegawai-pewagai outsources pun banyak yang di-PHK karena kantor-kantor pemerintah tidak lagi punya duit untuk membayar mereka.
Perhatikanlah sekeliling Anda. Toilet bandara Anda pesing? Nah, itulah akibatnya. Mereka dapat Danantara, kita dapat toilet pesing!
Seperti IKN, pengorbanan terbesar dari proyek sejenis Danantara ini, ditanggung oleh rakyat kecil dan kelas menengah bawah, di mana para pegawai negara rendahan juga ikut di dalamnya. Sementara para elit bersenang-senang, joget-joget, atau menikmati kemewahan ‘retreat’ yang entah gunanya untuk apa itu.
Hinga saat ini, tidak ada orang berhasil meyakinkan saya bahwa Danantara ini tidak akan menjadi lembaga yang ‘terlalu besar untuk gagal’ dan ia tidak menjadi sunk cost fallacy. Kalau ia untung, negara tidak serta merta ikut untung; namun kalau ia gagal, negaralah yang harus menanggungnya.
Siapa pun penguasanya, ia dipaksa untuk terus melanjutkannya–dan juga menjadikannya ‘bancakan’, kalau ia mau karena ini akan memberinya akses terhadap uang yang juga sangat besar.
Yakinkan saya bahwa lembaga ini tidak seperti yang saya pikirkan!
Sumber:
https://www.facebook.com/share/p/1B1vaxF3as/