Karunia Agung sebagai Orang Tua

Jumat, 14 Maret 2025

Kolom63 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Anak-anak adalah tetamu bagi ruang-kasih orang-tua mereka. Kata Kahlil Gibran, dalam bukunya Sang Nabi, anak-anak adalah penghuni rumah masa depan. Mereka datang ke masa kini ke dalam ruang-kasih orang-tua. Anak-anak itu datang dan masuk ke dalam ruangan yang memang sudah diciptakan khusus bagi mereka. Lalu mereka tinggal sejenak di sana, tinggal selama rentang kurun waktu tertentu. Mungkin lima belas tahun. Ataupun dua puluh tahun. Atau bisa juga dua puluh lima tahun. Tetapi yang jelas, ada batas waktunya. Sesudah itu, mereka akan pergi lagi, menelusuri jalan mereka sendiri, menciptakan ruang-kasih mereka sendiri. Merajut masa depan mereka sendiri. Walaupun orang tua secara konstruksi bahasa sosiologis-antropologis selalu memakai ungkapan sosial “putera-kami” ataupun “puteri-kami”, namun anak-anak itu bukanlah harta milik mereka yang dapat mereka rengkuh dan kungkung pada masa sekarang ini. Akan tiba saatnya mereka akan pergi lagi. Karena itu, dalam banyak hal anak-anak adalah seperti “tetamu” bahkan “orang-asing” yang sedang dalam perjalanan mereka sendiri dan mampir sejenak dalam ruang-kasih para orang-tua. Mungkin tidak semua pembaca sepakat dengan pernyataan saya itu. Tetapi marilah kita lihat dan amati perjuangan orang-tua di dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Orang-tua harus berjuang untuk dapat mengenal anak-anak mereka. Walaupun mereka adalah orang-tua, tetapi mereka tidak otomatis bisa mengenal sifat-sifat anak mereka. Melainkan mereka harus berusaha keras untuk mengenalinya. Mereka juga harus berusaha sekuat tenaga untuk menemukan segi-segi kekuatan dan kelemahan anak-anak mereka.

Atas dasar itu, orang-tua mulai menuntun dan membimbing anak-anak mereka menuju ke alam kedewasaan, alam kematangan, sambil mendorong dan memberanikan mereka untuk mengambil keputusan-keputusan mereka sendiri dalam hidup ini. Terkait hal ini, satu-satunya karunia terbesar yang dapat diberikan oleh orang-tua kepada anak-anak mereka ialah cinta-kasih antara mereka antara. Relasi cinta-kasih itu menjadi model dasar bagi hidup mereka. Melalui cinta-kasih itulah, mudah-mudahan orang-tua itu bisa membangun atau menciptakan sebuah ruang dan tempat yang bebas dari rasa takut dan cemas sehingga anak-anak mereka dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Di dalam ruang cinta-kasih itulah para orang-tua bisa mendorong anak-anak mereka agar bisa bertumbuh dalam rasa percaya diri akan diri mereka sendiri. Semoga bersamaan dengan itu anak-anak itu juga kelak bisa menemukan situasi kebebasan suara hati yang memungkinkan mereka bisa memilih dan memutuskan cara hidup mereka sendiri di masa depan. Saya teringat akan sepotong syair-nasihat Kahlil Gibran tentang relasi anak-anak dan orang-tua. Oleh karena anak-anak itu adalah penghuni masa depan, demikian menurut Gibran, maka orang-tua hanya bisa dan boleh memberi mereka makanan bagi tubuh mereka, dan tidak boleh, tidak bisa memberi asupan bagi jiwa mereka.

Masih meminjam dari pemikiran filosofis Kahlil Gibran, orang tua hanya diharapkan untuk berperan seperti busur saja di tangan sang pemanah, yang sedang memanahkan anak-panahnya meluncur deras ke masa depan. Dan sang busur pun masih tetap tinggal di sini, di tangan sang pemanah. Kahlil Gibran menganjurkan agar sang busur itu, harus berusaha sedapat mungkin menari dan meliuk-liuk sedemikian rupa agar busur itu bisa berfungsi dengan baik untuk dapat meluncurkan panah itu ke masa depan. Peranannya tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Busur itu harus meliuk-liku lentur sedemikian rupa agar ia tidak panah. Harus lentur agar bisa meluncurkan anak panah itu jauh melesat ke masa depan yang jauh. Dan orang-tua hanya bisa memandangnya dari masa kini saja. Mereka sendiri tidak dapat pergi ke sana. Dalam hal ini, orang-tua harus memiliki tingkat kelegaan dan kerelaan tertentu. Masih mengutip filsuf Kahlil Gibran lagi, anak-anak itu memang datang melalui para orang-tua, tetapi bukan milik orang-tua. Mereka adalah milik sang Hidup (ya huruf besar). Jika dipikirkan dengan cara berpikir seperti ini, maka kewajiban orang-tua hanya menciptakan ruang-kasih tadi agar anak dapat hidup dan bertumbuh dengan sebaik-baiknya untuk dapat berjalan bahkan terbang cepat menuju masa depan mereka sendiri. Mungkin sedih. Tetapi begitulah kenyataannya.

 

banner 336x280