Oleh A. S. Laksana
“Nanti terkuak media-media yang sebenarnya pemiliknya adalah orang asing,” kata Pak Ndhas. “Perlu saya sebut namanya sekarang?”
Cuplikan pernyataan itu ada di video propaganda berdurasi dua setengah menit, disebarkan untuk membangun narasi bahwa Tempo adalah antek kepentingan asing yang tujuannya memecah belah persatuan bangsa. Narasi propaganda itu menyebut Tempo menerima investasi langsung dari Media Development Investment Fund (MDIF) pada Juli 2024. MDIF adalah lembaga pendanaan yang, menurut narator, ada di bawah naungan The Soros Economic Development Fund.
Lalu, untuk memperkuat efek pengkhianatan, diselipkan informasi bahwa George Soros merupakan dalang utama di balik krisis moneter Indonesia pada tahun 1997 hingga tahun 1998.
“Jumlah pendanaan Tempo dari MDIF bernilai fantastis, tetapi tidak diketahui publik.”
Itu informasi asal-asalan. Narasi propaganda itu sembarangan saja menyebut “fantastis”, mungkin untuk membangun imajinasi bahwa Tempo menerima dana yang cukup untuk menggulingkan pemerintahan. Masalahnya, dari mana pembuat propaganda itu tahu bahwa jumlah pendanaannya fantastis, jika itu tidak diketahui publik?
“Terkait hal ini, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya tegas menyampaikan bahwa pihak asing selalu ingin memecah belah persatuan bangsa dan menghambat Indonesia menjadi negara maju. Pernyataan presiden Prabowo Subianto tersebut mengarah kuat pada media Tempo yang dalam kinerja jurnalistiknya sangat sarat kepentingan serta selalu berdampak pada perpecahan dalam dimensi sosial politik Indonesia.”
***
Propaganda itu buruk sekali narasinya, tetapi anda tidak perlu khawatir—akan selalu ada saja gerombolan yang menyukai dan mendukung propaganda buruk.
Tapi, apakah Tempo benar-benar telah menerima dana dari MDIF? Benar. Informasinya tidak disembunyikan. Di situsweb MDIF, anda bisa mendapatkan informasi lengkap tentang sejarah pendirian lembaga itu, siapa saja investornya, media apa saja yang telah ia danai, apa tujuannya mendanai, dan sebagainya.
Ada banyak media dari banyak negara telah didanai oleh MDIF. Dari Indonesia, selain Tempo, ada tiga lagi, yaitu hukumonline.com, suara.com, dan katadata.co.id.
Apakah media-media yang mendapatkan dana dari luar negeri otomatis kehilangan independensinya dan langsung menjadi antek kepentingan asing, dan secara spesifik kepentingan asing itu adalah memecah belah persatuan bangsa, sebagaimana digemborkan oleh Pak Ndhas?
Saya tidak percaya pada narasi yang dikembangkan oleh video propaganda itu dan tidak percaya juga pada pernyataan Pak Ndhas. Tapi tidak apa-apa jika ada yang mempercayai keduanya.
Kepada siapa saja yang membenarkan konten propaganda itu, atau bersorak bahagia seolah-olah telah mendapatkan pencerahan, izinkan saya bertanya: Apakah menurut anda media yang didanai seratus persen oleh konglomerat Indonesia otomatis akan lebih patriotik dan lebih baik kualitas jurnalismenya?
Sama sekali tidak. Yang sering terjadi justru kepemilikan media oleh elite-elite bisnis dalam negeri, yang juga merangkap figur politik atau pemilik parpol, menimbulkan masalah dalam independensi jurnalistik media-media itu.
Anda tahu banyak media besar di Indonesia dimiliki oleh konglomerat yang juga memiliki bisnis di berbagai sektor lain, termasuk bisnis-bisnis yang punya koneksi dengan pemerintah. Apakah para wartawan di media-media ini bisa independen ketika dihadapkan pada kepentingan bisnis pemodalnya?
Kita juga melihat beberapa konglomerat media terlibat langsung dalam politik. Media yang mereka miliki kemudian berkembang secara alami menjadi alat bagi kepentingan politik para bos. Dalam kondisi ini, wartawan seringkali harus melakukan penyensoran-diri dan menghindari isu-isu sensitif. Ini jelas mengurangi keberanian mereka dalam membongkar skandal atau melakukan investigasi.
Jadi, menyerang Tempo karena menerima pendanaan dari MDIF tanpa mempertanyakan media lain yang dikuasai konglomerat lokal adalah standar ganda.
Dalam kaitannya dengan independensi dan pengembangan kualitas jurnalistik, saya yakin pendanaan media oleh MDIF jauh lebih baik dampaknya ketimbang pendanaan oleh pebisnis yang juga ketua parpol. MDIF jelas didirikan dengan perhatian terhadap kebebasan pers dan peningkatan mutu jurnalisme, sementara para pebisnis, apalagi yang merangkap sebagai ketua parpol, hanya peduli pada kepentingan bisnis dan politik mereka sendiri, bukan pada mutu jurnalisme.
Benarkah MDIF adalah lembaga pendanaan di bawah naungan The Soros Economic Development Fund (SEDC)?
MDIF didanai oleh lebih dari 30 lembaga, dan SEDC adalah salah satu penyumbang.
Dengan menerima dana dari MDIF, apakah berarti Tempo dikendalikan oleh lembaga itu, atau lebih keji lagi, dikendalikan oleh Soros?
MDIF mendanai banyak media di berbagai negara, tetapi tidak ikut campur dalam kebijakan editorial mereka. Tujuan utama pendanaan ini adalah membantu media agar tetap independen dan tidak terancam oleh tekanan politik atau oligarki lokal.
Jadi, menyerang Tempo sebagai agen asing pemecah belah persatuan bangsa karena ia didanai oleh MDIF adalah narasi wagu yang dikembangkan oleh pemerintah yang kekanak-kanakan dan disambut meriah oleh para pendukung kekuasaan yang enggan menggunakan akal.
Apakah menerima bantuan dana dari asing berarti pengkhianatan terhadap bangsa dan negara?
Silakan anda menjawab apa saja. Tapi jangan lupa bahwa pemerintah sendiri juga banyak menggunakan investasi asing untuk membangun jalan tol, untuk mengeduk mineral dan sumber daya alam, untuk membabat hutan, dan sebagainya. Modal asing ada di sejumlah BUMN: Telkom, Antam, dan bank-bank milik negara seperti BRI, BNI, dan Bank Mandiri. Apakah dengan begitu pemerintah telah menjadi pengkhianat bagi bangsa dan negara anda?
Isu “asing sebagai ancaman” sering digunakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah internal, dan menyebarkan propaganda bahwa sebuah media “dibiayai asing” adalah cara untuk mendiskreditkan media yang bersuara kritis tanpa perlu menjawab substansi kritik.
Patriotisme sembrono semacam ini, dengan menggunakan isu “dibiayai asing”, tidak lain hanya ikhtiar kalap oleh pemerintah untuk membungkam suara kritis dan mengontrol narasi di ruang publik. Dan untuk itu pemerintah menggunakan buzzer. Dan para buzzer bertindak tak ubahnya tentara bayaran. Dan mereka itulah sebenar-benarnya pemecah belah.