Belajar dari Kearifan George Peck

Sabtu, 8 Maret 2025

Kolom102 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Ada sebuah kutipan yang sangat menarik dari buku Mark S. Heim, yang melukiskan inti seluruh hidup temannya, George Peck. Saya tidak tahu banyak tentang si Peck ini. Kiranya orang ini cukup penting dalam hidup Heim. Buktinya? Heim menjadikan Peck sebagai alasan mendesak mengapa bukunya, Salvation, Truth and Difference in Religion, harus segera terbit. Heim merasa bahwa bukunya harus cepat terbit agar masih bisa dibaca dan dinikmati atau dikritisi Peck. Rupanya saat itu, Peck sudah tua dan sakit-sakitan. Dari sedikit yang saya ketahui, ternyata Peck adalah misionaris yang membaktikan sebagian besar hidup dan karyanya di India. Sebagai misionaris yang terlibat aktif dalam layanan di India, rupanya Peck itu punya per-hati-an dan cinta yang besar akan India (suatu hal yang banyak dialami dan dirasakan misionaris lainnya). Kita tahu bahwa India itu berarti Hindu dalam artian yang luas dari kata itu. Cinta dan per-hati-an pada India berarti memberi hati kepada India dengan seluruh ke-Hindu-annya. India mendapat tempat yang layak dan pantas dalam hati misionaris ini. Namun, di pihak lain, Peck juga tetap mempunyai komitmen yang kuat, besar, dan mendalam akan keyakinan iman Kristen juga dalam artian yang luas dari hal itu. Sebagai misionaris Kristen yang berkarya di India, tidak mengherankan jika Peck itu sangat menaruh per-hati-an besar pada Hinduisme dan orang Hindu. Kurang lebih sama dengan per-hati-an dan cinta P. Aloysius Pieris SJ akan Buddhisme di Sri Lanka.

Heim terus terang mengaku bahwa totalitas teladan hidup misionaris Peck inilah yang menuntun dan mendorong dirinya, untuk menempuh lorong refleksi teologis yang teramat panjang tentang agama-agama dan hubungan dialog agama-agama. Heim mencoba memadatkan seluruh dinamika hidup Peck dalam sebuah ungkapan yang sangat menarik di bawah ini: “I have committed my life to Jesus Christ; therefore, I am open to other religion”. “Aku sudah membaktikan/mengabdikan hidupku kepada Yesus Kristus; karena itu, saya terbuka kepada agama-agama lain.” Dari kutipan ini tampak sebuah jalan kepada dialog. Pertama-tama, komitmen yang sangat jelas, kuat akan Yesus Kristus. Hal itu harus bermuara pada pengenalan dan cinta. Hal ini tidak bisa ditawar-tawar. Sebagai orang Kristen, komitmen pada Yesus Kristus haruslah jelas, menjadi agenda yang pertama dan utama. Di atas dasar cinta dan komitmen yang kuat akan Yesus Kristus itu, barulah orang boleh berorientasi keluar. Dengan kata lain, keterbukaan kepada yang lain dilandaskan pada pengenalan dan cinta akan Yesus Kristus. Jika tidak demikian, maka bisa saja Yesus Kristus akan “dikorbankan” demi hubungan dan dialog dengan agama-agama lain. Di sini saya teringat akan P. Cletus Groenen OFM, dosen Kitab Suci saya di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Suatu saat dia mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah pokok dan tokoh iman kristiani.

Dalam hubungan dan dialog dengan orang beragama lain orang Kristen tidak boleh menyembunyikan Yesus, atau menempatkan Yesus di belakang layar, walaupun untuk sementara waktu, demi mematuhi metode dialog tertentu (pendekatan epoche fenomenologis). Mengapa demikian? Sebab agama dan iman kristiani itu lahir dari keunikan kedudukan Yesus Kristus. Sekaitan dengan ini, masih kata P. Cletus Groenen, jika kita, sebagai kristiani, menyembunyikan Yesus Kristus di belakang layar, maka kita, entah sudah menjadi Yahudi, ataupun sudah menjadi Islam. Dalam kedua konteks itu, Yesus hanyalah sekadar rabi dan nabi biasa. Iman Kristen tidak demikian sikapnya. Peck menjadi teladan penting untuk orang kristiani. Hal ini sejalan dengan perkataan Yesus dalam Injil: “Barang siapa tidak mengakui Aku di hadapan dunia, maka Akupun tidak akan mengakui orang itu di hadapan Bapa-Ku yang di surga.” (Bdk.Mat 10:33). Berada di surga sama dengan kondisi shalom (selamat). Kita tidak akan bisa masuk dan berada dalam surga, jika Yesus Kristus tidak mengakui kita di hadapan Bapa. Yesus tidak mengakui kita, jika kita tidak berani mengakui Dia di hadapan dunia ini. Tidak main-main konsekuensi dari hal itu. Jadi, jangan main-main.

 

banner 336x280