Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
Salah satu konsep teologis Yudeo-Kristiani tentang hubungan manusia dengan Allah ialah kenyataan bahwa Allah membangun dan mengikat sebuah relasi-perjanjian dengan kita manusia. Kata “perjanjian” itu sendiri merupakan terjemahan dari kata “covenant” dalam bahasa Inggris. Kata bahasa Inggris itu sendiri berasal dari akar-kata dalam bahasa Latin, “con-venire”, artinya “datang berkumpul (venire) bersama (con/cum).” Jika Allah membangun relasi-perjanjian dengan manusia, itu berarti Allah mau datang berkumpul bersama kita. Dalam banyak kisah Kitab Suci Perjanjian Lama, kita melihat bahwa Allah tampak sebagai Allah yang membela kita melawan musuh-musuh kita, melindungi kita dari bahaya, dan menuntun kita menuju gerbang kebebasan. Jadi, tampak jelas bahwa Allah adalah Allah-bagi-kita. Tatkala Yesus datang ke dunia ini, muncul juga sebuah dimensi baru dari relasi-perjanjian itu. Totalitas “peristiwa Yesus” menyingkapkan sebuah matra baru dari relasi-perjanjian itu: Dalam diri Yesus Kristus, Allah itu terlahir, dilahirkan, bertumbuh dan berkembang (seperti manusia pada umumnya) menuju kepada kematangan, hidup, menderita, dan akhirnya mati sebagaimana halnya kita manusia pada umumnya. Pada akhirnya, ketika Yesus pergi (yaitu kembali kepada Bapa yang telah mengutus-Nya) Ia pun menjanjikan datangnya Roh Kudus. Dan dalam Roh Kudus, Allah mewahyukan dimensi kedalaman baru yang penuh dari relasi-perjanjian itu sendiri.
Apa itu? Tidak lain ialah fakta bahwa Allah ingin untuk selalu berada sedekat mungkin dengan kita sebagaimana halnya kita begitu dekat dengan hembusan nafas kita. Allah ingin untuk berhembus di dalam diri kita sebagai Roh yang menghidupkan (vivificantem), sehingga semua yang kita katakan, yang kita pikirkan, dan yang kita perbuat seluruhnya dan sepenuhnya diilhami oleh Roh Allah yang mahahadir itu. Allah itu tidak lain ialah Allah-yang-menyertai-kita. Relasi-perjanjian Allah menyingkapkan kepada kita betapa Allah itu sangat mencintai kita. Tatkala Allah membangun sebuah relasi-perjanjian dengan kita, sesungguhnya Allah mau berkata kepada kita, “Aku akan mencintai kamu dengan sebuah cinta yang abadi dan kekal. Aku akan bersikap setia kepadamu, bahkan Ketika kamu semua pergi menjauh dari hadapanKu, ataupun menolak Aku, atau bahkan mengkhianati Aku.” Terkait dengan hal ini, terkenallah ucapan yang mengandung janji setia Tuhan di dalam kitab nabi Yesaya. Itu adalah sebuah teks yang oleh seorang komponis Amerika Serikat digubah menjadi sebuah lagu yang indah. Baiklah saya mengutip sepotong saja syair lagu itu: “I will never forget you, My people. I have carved you on the palm of My hand, I will never forget you, I will not leave orphan, I will never forget My Own. Does a mother forget her baby, or a woman a child within her womb, yet even if this forget, yes even if this forget, I will never forget my own.” (bdk. Yes 49:14-17).
Dalam masyarakat kita sebenarnya mungkin kita tidak terlalu banyak bicara tentang relasi-perjanjian itu. Mungkin yang sering kita bicarakan ialah kontrak. Memang kedua istilah atau konsep itu berdekatan satu sama lain. Tetapi tetap ada perbedaan di antara keduanya. Tatkala kita membuat sebuah kontrak dengan seseorang, biasanya kita akan berkata demikian, “Aku akan melaksanakan kewajibanku dengan syarat engkau juga melaksanakan kewajibanmu. Manakala engkau tidak melaksanakan janji-janjimu, maka saya pun tidak akan mau melaksanakan janji-janjiku juga.” Sering sekali kontrak itu putus karena para pihak yang terlibat di dalamnya tidak mau atau tidak bisa bersikap setia dengan semua syarat yang sudah ditetapkan dalam kontrak tersebut. Tetapi Allah tidaklah membangun sebuah relasi-kontrak dengan kita; mungkin bahasa hukum kanonik paling jelas di sini. Kata yang dipakai ialah “contractus”. Allah membuat sebuah relasi-perjanjian dengan kita; dan kata yang dipakai ialah “foedus”. Ada beda yang sangat besar antara “contractus” dan “foedus” itu sebagaimana sudah dibentangkan di atas tadi. Dan Allah menghendaki relasi-relasi kita dengan satu sama lain pun mencerminkan relasi-perjanjian tersebut. Itulah sebabnya perkawinan, persahabatan, dan hidup di dalam komunitas semuanya adalah jalan untuk memperlihatkan kesetiaan Allah di dalam hidup kita bersama-sama.