Menghargai Sama dengan Mencinta

Jumat, 7 Maret 2025

Kolom115 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Sering dikatakan bahwa jika kita mencintai Allah maka kita harus siap untuk memperluas cakrawala kesadaran cinta kita. Tetapi bagaimana dan kapan kita dapat memperluas cakrawala cinta itu? Kiranya cara terbaik untuk memahami hal itu ialah dengan membaca lebih teliti lagi kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian itu. Barangkali imbauan ini membuat kita bosan dan jemu. Karena teks itu mungkin sering dibaca dan kita merasa akrab dengannya. Walaupun demikian saya tetap mendorong kita untuk membacanya lagi. Sebab membaca, menurut pemahaman filsuf hermeneutik, adalah sebuah proses untuk menciptakan dan merekonstruksi makna. Dalam bahasa Inggris dirumuskan demikian: reading and rereading is a process of creating, recreating, and reconstructing meaning. Mengapa demikian? Karena dalam proses pembacaan itu si pembaca akan mengalami peristiwa penyingkapan, disclosure. Ya, rasa bosan dan jemu terhadap sebuah bacaan kiranya tidak merintangi kita untuk terus membaca dan membaca lagi. Sebab merupakan fakta bahwa dalam proses pembacaan dan pembacaan kembali itu bisa terjadi mukjizat penyingkapan. Ada pemahaman baru. Ada momen-momen perwahyuan. Momen-momen seperti itu terasa sangat istimewa karena rasanya sebelumnya kita seperti tidak memperhatikannya. Tetapi begitu kita menaruh perhatian lebih terhadapnya, terjadilah penyingkapan baru yang bisa menjadi peristiwa rahmat. Yang saya maksud ialah kisah penciptan dalam Kejadian 1 itu.

Di sana kita baca bahwa di akhir hari penciptaan dikatakan Allah melihat apa yang telah Ia ciptakan hari itu. Allah merasa puas. Ia melihat semuanya baik adanya. Luar biasa. Apa maksud ungkapan ini? Bagi saya itu artinya ialah bahwa Allah merasa senang dengan ciptaan-Nya. Allah menghargai nilainya. Ciptaan itu punya nilai intrinsik dalam dirinya. Allah menilai tinggi akan hal itu. Karena itu, saat saya baca teks ini, saya ditantang dan diundang untuk ikut merasakan dan mengalami rasa senang dan rasa bahagia Allah tatkala melihat ciptaan-Nya. Saat teks Kejadian mengatakan bahwa Allah memberi evaluasi positif terhadap seluruh ciptaan-Nya, maka seharusnya kita merasa digerakkan untuk menyetujui dan menghargai apresiasi tinggi itu, bahkan menjadikan sikap apresiatif itu sebagai sikap dasar hati kita. Dengan mengetahui dunia tercipta sebagaimana yang kita tahu saat ini, maka kita bisa masuk ke dalam sikap Allah yang menghargai ciptaan itu. Kita tahu seluruh proses penciptaaan itu berlangsung selama enam hari. Itulah Hexameron yang terkenal itu. Pada hari keenam, Allah menciptakan manusia. Manusia diciptakan terakhir, sesudah semua makhluk ciptaan lain. Tetapi yang menarik ialah bahwa sesudah Allah menciptakan manusia, lalu Allah memerintahkan kepada manusia itu untuk “menguasai” makhluk ciptaan lain. Itu adalah pengajaran bagi kita pembaca modern sekarang. Bukan untuk manusia pertama.

Saat kita mendapat perintah untuk “menguasai”, kita mendapatnya bukan tanpa konteks. Konteks dekatnya bagi kita kini ialah bahwa makhluk ciptaan yang diserahkan itu, bukan ciptaan sembarangan, melainkan ciptaan yang dicintai dan dihargai Allah sendiri. Allah menyerahkan kepada manusia sesuatu yang sangat dihargai dan dicintai Allah. Jadi, penyerahan itu mengandung tanggung-jawab etis, yaitu memelihara, merawat, menjaga, melestarikan. Mengapa begitu? Karena hal yang diserahkan itu adalah sesuatu yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah. Allah mencintai dan menghargainya. Apa yang diserahkan dan dipercayakan Allah kepada manusia, adalah dunia itu sendiri. Dunia itu adalah dunia yang sudah diperkenalkan Allah dalam proses penciptaan lima hari sebelumnya. Saat kita membaca dan mendengar kisah penciptaan itu, sebenarnya kita sudah mulai mengakrabi dunia itu. Karena itu, dalam perspektif ini, kita manusia hanya bisa melaksanakan tugas penguasaan atas dunia itu (dominion), kalau kita sudah belajar menghargai mereka. Sebab tugas dominion itu tidak lain adalah rasa tanggung-jawab yang penuh perhatian atas makhluk ciptaan lain. Dalam konteks ini menghargai berarti mencintai, sebagaimana Allah juga mencintai mereka. Hanya dengan itu cinta kita akan mengalami perluasan wawasan dan mutu cinta. Dengan itu kita pun bisa memahami dengan lebih baik ucapan Paulus: “….(cinta) percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:7).

 

banner 336x280