Hidup Tanpa Menghakimi

Sabtu, 15 Maret 2025

Kolom4 Dilihat
banner 468x60

Oleh Fransiskus Borgias
(Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

 

banner 336x280

Salah satu karunia terbesar yang dinikmati manusia dalam hidup ini ialah kemampuan berpikir dan berkehendak bebas. Dengan kemampuan berpikir itu, manusia bisa memikirkan apa saja, juga bisa merancang dan merencanakan apa saja. Bahkan bisa juga mengoreksi pemikiran itu sendiri agar bisa menjadi lebih baik lagi. Dengan kehendak bebas manusia bisa merayakan kebebasannya sebagai cara untuk mewujudkan dirinya sendiri. Tetapi karunia kemampuan berpikir itu ada juga sisi gelapnya. Sebab dengan kemampuan berpikir itu muncul juga pikiran-pikiran buruk atau prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain atau sesama. Itu adalah sesuatu yang tidak terhindarkan sama sekali. Tanpa diminta pun, prasangka-prasangka itu masuk ke dalam ruang pemikiran dan refleksi kita. Maka di samping menjadi karunia terbaik, ia bisa juga menjadi sebuah celaka besar. Mengapa begitu? Karena memang salah satu tugas yang paling berat dalam perjuangan hidup rohani ialah untuk dapat hidup tanpa prasangka. Dan hal itu tidak mudah. Butuh perjuangan dan latihan terus-menerus. Bahkan sepanjang hidup. Sebab ia tidak sekali jadi. Sedemikian dalamnya prasangka-prasangka itu dalam diri kita sehingga kita bahkan tidak selalu bisa dengan mudah menyadarinya. Kita bahkan tidak selalu sadar seberapa dalamnya prasangka-prasangka kita merengkuh di dalam relung-relung kedalaman hidup personal setiap manusia. Prasangka-prasangka itu berada dalam diri kita seakan-akan sebagai kodrat kedua yang kehadirannya sama sekali tidak terelakkan.

Boleh jadi kita berpikir bahwa kita sedang membangun relasi dengan orang lain yang berbeda dengan kita dalam banyak segi, misalnya dalam hal warna kulit, agama, jenis kelamin (atau dalam bahasa sekarang ini, mohon maaf sekali, yang tidak saya setujui, orientasi seksual), ataupun sekadar gaya hidup sebagai orang yang setara, tetapi dalam situasi lingkungan yang nyata pikiran-pikiran spontan kita, kata-kata keceplosan kita, dan pelbagai reaksi spontan kita sering sekali menyingkapkan bahwa pelbagai prasangka kita sebenarnya masih berurat-berakar di dalam sana. Secara spontan dan alamiah, orang-orang asing adalah orang yang berbeda dari kita, yang tidak kita kenal. Karena itu tidak heran jika ada dan kehadiran mereka membangkitkan rasa takut dan cemas dalam diri kita secara alamiah, menimbulkan rasa tidak nyaman, bahkan menimbulkan kecurigaan dalam diri kita bahkan sampai ke ekspresi rasa permusuhan. Ada dan kehadiran orang-orang seperti itu bisa saja menyebabkan kita kehilangan citarasa keamanan kita hanya karena melihat “sang Liyan” itu. Lalu bagaimana? Akhirnya kita harus berusaha memperluas cakrawala wawasan teologis-etis kita. Itu merupakan suatu keharusan agar kita tidak terjebak di dalam pemikiran sempit dan prasangka buruk kita sendiri.

Mungkin terlalu ideal dan muluk-muluk pandangan yang akan saya ungkapkan berikut ini.  Kita sebaiknya menyadari bahwa Allah mencintai kita dan semua orang lain yang ada di sekitar kita. Hanya ketika kita percaya bahwa Allah mengasihi kita tanpa syarat dan melihat orang-orang lain sebagai pihak yang, sama seperti kita, juga dikasihi Allah yang satu dan sama, maka saat itulah kita bisa menemukan dan menyadari bahwa umat manusia yang sangat beragam di dunia ini merupakan ungkapan atau perwujudan dari kekayaan hati Allah yang sangat luar biasa luas dan dalamnya. Jika kita sudah tiba pada suatu kesadaran etis-teologis seperti itu, kita bisa berharap bahwa tendensi kodrati untuk berprasangka-buruk terhadap orang lain akan perlahan-lahan memudar dan bahkan hilang sama sekali. Jadi, peristiwa ini hanya mungkin dari perspektif Allah saja yang kasih dan kerahiman dan hikmat kebijaksanaan-Nya sangat luas dan dalam. Ada baiknya saya tutup renungan ini dengan kutipan surat Paulus kepada umat di Roma tentang kedalaman hikmat dan pikiran Allah: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” (Rom 11:33-36).

 

 

banner 336x280