SPORT  

Anti Klimaks

Coretan lepas pasca-final Liga Champions 2023/2024 Borussia Dortmund vs Real Madrid 

Avatar of Redaksi Krebadia
IMG 20240603 WA0003

Ditulis oleh Hancel Goru Dolu*

“Yang satu roboh, yang lain tegak megah. Dengan kepala, dengan kaki, ia meloncat. Ia bertahan, dengan menaruh kepala pada kakinya,” tulis Dante Alighieri dalam .

Kata-kata Dante itu langsung melintas dalam pikiran saya, kala laga Borussia Dortmund versus Real Madrid di Stadion Wembley, London-Inggris, dinihari tadi, berakhir. Wembley memang telah berulangkali menjadi panggung teater, dengan air mata dan tawa menjadi prosa di mata para bolamania.

Dari kisah ‘gol hantu’ Geoff Hurst pada laga Jerman-Inggris di final Piala Dunia 1966, sampai tangisan Southgate pada babak adu pinalti Jerman-Inggris di seminal Euro 1996; sejak Jerman 1974 yang berpesta di kandang tuan rumah, hingga ala Leonardo Bonnucci di final Euro 2020.

Juga dini hari tadi, kala Borussia Dortmund dan Real Madrid berjibaku memperebutkan tajhta bola Eropa musim 2023/2024. Dortmund, terutama sekali Marco Reus (dan Matt Hummels) menapaktilasi final Champions musim 2012/2013. Bayern Muenchen, rival klasik mereka di Jerman, berpesta kala itu.

Sepanjang sejarah, tiga kali tim yang memiliki julukan ℎ ini bermain di final Champions, dan dua di antaranya kala Reus (dan Hummels) berada di dalamnya. Berbeda dengan Hummels yang pernah ‘nyeberang’ ke tim bertabur bintang ℎ Muenchen, Reus tetap setia bersama Dortmund meski aneka tawaran menggiurkan silih berganti datang menggoda. Pasca duet lini tengah Moller-Sousa yang mempersembahkan satu-satunya gelar Liga Champions di musim 1996/1997, Reus adalah bintang paling terang klub ini-kini. Kali ini, mereka tak ingin roboh.

Fakta bahwa Wembley adalah ‘rumah’ yang ramah bagi (tim-tim asal) Jerman, mahkota juara Liga Champions akan menjadi cinderamata perpisahan yang indah bagi kesetiaan Reus. Bukan rahasia, selain bagi para pekerja tambang di Ruhr yang menjadi basis suporternya, skuad Dortmund bertekad untuk mempersembahkan gelar juara ini bagi Reus. Jika ada yang tegak megah di akhir laga, itu pasti mereka belaka. Walaupun penghalangnya adalah Goliath bola di Eropa.

“Daud menang melawan Goliath itu persentasenya 1:100 atau 1:1000. Tapi dalam hidup, selalu ada api harapan, betapapun kecilnya peluang akan terwujudnya harapan itu. …” Demikian pesan ℎ saya pada seorang sahabat, ketika laga ini mengisi obrolan kami. Saya memang menjadi salah seorang pendukung Dortmund dinihari tadi.

Kalimat saya di atas berangkat dari melihat keyakinan sang pelatih, Edin Terzik, yang penuh optimistis menatap laga ini via credo klasik: segala sesuatu mungkin terjadi dalam suatu pertandingan. “Jika kami bermain melawan Real Madrid sepuluh kali, mungkin akan sulit untuk menang secara keseluruhan, namun dalam satu pertandingan, dalam 90 menit, atau dalam 120 menit ditambah adu penalti, kami mampu mengalahkan lawan mana pun di dunia,” demikian credo Edin.

Sejarah menujukkan bahwa Real Madrid dan Dortmund tercatat pernah bertemu 14 kali di Piala Eropa/Liga Champions. Dari 14 laga tersebut, Madrid unggul ℎ–ℎ dengan 6 kemenangan, Dortmund 3 kemenangan, lalu sisanya imbang. Statistik yang tampak tak begitu timpang dan memelihara api asa.

Namun, di hadapan pasukan Kuning-Hitam dari Ruhr yang dipimpin duo veteran lapangan hijau: Matt Hummels dan Marco Reus, para – Madrid yang dipimpin para legenda hidup: Toni Kroos, Nacho Fernández, Dani Carvajal, dan Luka Modric, justru menambah koleksi menjadi 15 gelar Liga Champions. Sekaligus melengkapi daftar kemenangannya atas semua wakil Jerman di Liga Champions musim ini: Union Berlin di fase grup, RB Leipzig di babak 16 besar, Bayern Muenchen di semifinal, hingga Borussia Dortmund.

Reus kembali menjadi Sysiphus, yang berulangkali mendorong batu yang sama ke puncak gunung, digulingkan kembali, lalu mendorongnya lagi, dan seterusnya. Seringkali dia berada pada situasi hampir menjadi juara, sekaligus seringkali pula merasakan kegetiran melangkah di samping trofi, mahkota kemuliaan, yang gagal direngkuh.

Seperti Sysiphus pula, kita bisa melihat Reus tersenyum, terutama kala berpelukan dengan Toni Kroos di ujung laga. Bukan senyum kebahagiaan, tentu saja. Dua kali gagal di final Liga Champions; gagal bergabung, karena cedera, ke dalam tim Jerman 2014 yang kelak menjadi juara dunia, ketika berada pada masa prime-nya; dan gagal menjadi juara Liga Jerman musim lalu, ketika kalah di laga terakhir yang digelar di kandang sendiri.

Orang bisa menangis karena bahagia dan terharu; tapi apakah tangisan juga akan muncul ketika kegagalan begitu akrab di setiap perjalanan menuju puncak? Mungkin, senyum Reusz di akhir laga tadi, bisa menjawab pertanyaan ini. Senyum kepasrahan menerima nasib, ketika segala usaha telah ditunaikan.

***

Wembley bisa membuat orang sadar, bahwa dirinya dapat menjadi seorang pahlawan. Demikian kata-kata yang dulu sekali pernah diucapkan legenda bola Inggris, Jackie Charlton. Penampilan spartan Dortmund di babak pertama membuka asa tentang kisah kepahlawanan bola baru, bagi negeri para pekerja tambang di Ruhr. Ada sekitar empat peluang ‘bersih’ yang mestinya bisa dikonversi menjadi gol. Terutama ketika salah seorang pemain Dortmund berada pada posisi berhadapan — dengan kiper Madrid, Thibaut Courtois. Dortmund menutup babak pertama dengan penampilan yang menjanjikan harapan akan kejutan.

Namun, kejeniusan Carlo Ancelotti memadukan individu-individu superlatif Madrid menjadi satu paduan harmoni yang bermain sebagai satu unit yang begitu rapi, membuat racikan Edin Terzic menjadi antiklimaks di babak kedua. Ketenangan skuad Dortmund sepanjang laga yang melakukan – dari belakang, diladeni anak-anak asuh Don Carlo dengan high-pressing yang sangat disiplin dan penuh konsentrasi, seolah-olah tak ada lagi pertandingan bola pasca final ini. Terutama sejak menit 71, ketika Reus masuk lapangan.

Dimainkannya Reus di babak kedua, secara psikologis, menurut hemat saya, bagai pisau bermata dua. Di pundaknya, pertama-tama, diletakanlah asa para pendukung untuk meningkatkan moral juang rekan-rekannya. Namun, dampak yang kedua, adalah bahwa kehadirannya dalam lapangan justru jadi momen pengingat sekaligus pelecut bagi skuad Madrid. Ada semacam dorongan motivasi tersisa bagi rival, bahwa laga di Wembley ini jangan sampai menjadi teater yang ikonik bagi sang bintang; ini adalah pestanya penguasa bola Eropa, bukan perayaan perpisahan romantik ‘hanya’ seorang anak manusia.

Dalam situasi itu, yang melakoni partai terakhirnya bersama klub yang dicintainya ini, gagal tampil laksana , pemain bola jalanan, yang instinktif dan kreatif sebagaimana biasanya dia dikenal. Helai, meminjam istilah dari Sindhunata, ℎ , “perumputan hijau” Stadion Wembley, seolah menjadi ruang sunyi yang menghinggapi suporter tim Kuning-Hitam, kala laga usai.

Romo Sindhu menggambarkan situasi kekalahan Inggris di Wembley tempo dulu dengan kalimat, ℎ ℎ. Di Wembley suasana menjadi sunyi bagaikan suasana di sebuah Katedral pada hari Senin di siang hari. Selain bagi suporter Madrid, saya kira, Wembley dinihari tadi, bisa kita (saya) terjemahkan sebagai impian paling gelap manusia akan kejutan, keajaiban, dan penghormatan akan kesetiaan.

Dengan kalimat lain yang lebih gamblang: jika sepakbola telah ‘membayar utang’ Piala Dunia pada Messi, maka sepakbola pun mestinya ‘membayar utang’ Liga Champions pada Reus. Messi selalu dikelilingi para bintang ke mana pun dia pergi, sedangkan Reus senantiasa ditinggalkan para pemain yang kelak menjadi bintang. Mengapa bola tak adil pada pria yang dua hari lalu baru berulang tahun itu?

Namun, memang begitulah drama bola; ia adalah sebuah lakon kehidupan, di mana tak ada sesuatu pun yang dapat dipastikan. Di mana kalimat bijak “hasil tak mengkhianati proses” hanyalah deretan amunisi quotes bagi para motivator. Dalam hidup, proses dan hasil akhir seringkali bukanlah sesuatu yang linear, lurus, dan ajeg, bagai rel kereta api. Benar belaka Chairil, nasib adalah kesunyian masing-masing.

Sebelum laga, saya membayangkan Edin akan menempatkan Reus sebagai starter, lalu bagai Mozart di lapangan tengah menjadi pengubah kerja bola yang kasar menjadi yang indah dalam balutan hasrat, emosi dan gairah permainan yang kelak menjadi kisah bola yang romantik. Tapi, Reus justru datang dari ℎ, ketika irama permainan hampir mendekati ujung pementasan.

Dua menit setelah Reus masuk, duo veteran dari Madrid yang justru menampilkan klimaks aksi-aksi memikat mereka sepanjang musim ini. Tendangan sudut dari Toni Kroos disambut oleh ℎ Dani Carvajal yang, meminjam istilah Dante “dengan kepala, dengan kaki, ia meloncat” lalu sebuah gol tercipta. Bahkan beberapa menit kemudian, ℎℎ- Madrid berbuah kesalahan di lini pertahanan Dortmund yang sebenarnya hampir tanpa cela sepanjang laga. Vinicius Junior, calon pemain terbaik dunia di masa-masa mendatang itu, tanpa ampun menabhiskan klimaks dari efektivitas permainan Madrid dengan gol penutup pesta.

Tirai teater Wembley ditutup, dengan nasib yang adalah kesunyian masing-masing. Kisah antiklimaks pada Reus dan klimaks bagi para pemain gaek yang akan meninggalkan Madrid. Batu yang telah dengan gemilang didorong hingga berada di puncak gunung itu, kembali terguling. Lalu roboh. Sementara langit London begitu terang bagi mereka yang tegak-megah bermandikan kemuliaan mahkota kemenangan. Di hadapan seorang anak manusia yang perjuangannya selalu berujung dengan: hampir menjadi pahlawan! Bahkan di laga terakhir, ketika ia berkesempatan mengeliminasikan kata ‘hampir’ itu sendiri. Sungguh anti-klimaks.

***

Hari Minggu, tapi pada Reus, tampaknya Wembley menjadi sunyi bagaikan suasana di sebuah Katedral pada hari Senin di siang hari. Namun, dunia belum berakhir.

Dalam hidup, selalu ada api harapan, betapapun kecilnya peluang akan terwujudnya harapan itu. Selalu ada ! Selama, dengan kepala, dengan kaki, ia meloncat; ia bertahan, dengan menaruh kepala pada kakinya.

ℎ’ , Reus?

 

*) Pengasuh rubrik media .

SUMBER