Kelompok Wanita Tani Lestada Mokel Morid: Tanam Bambu Panen Rupiah

Puluhan ibu-ibu yang bergabung dalam Kelompok Wanita Tani Lestada Desa Mokel Morid, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, berhasil menjadikan tanaman bambu penunjang ekonomi keluarga. Mereka tidak dikenal dan tidak disorot media, meski banyak hal baik yang mereka hasilkan sejak tiga tahun terakhir

Avatar of Etgal Putra
anakan bambu kwt lestada desa mokel morid
Anggota Kelompok Wanita Tani Lestada Desa Mokel Morid berfoto bersama di tempat pembibitan anakan bambu hasil kolaborasi bersama Yayasan Bambu Lestari. (Arsip Desa Mokel Morid)

Ditulis oleh Etgal Putra

Krebadia.com — Air seduhannya kuning keemasan. Semakin lama diseduh, semakin kecokelatan, tetapi tidak segelap seduhan teh umumnya.

Begitu pula rasanya. Tidak sekuat rasa teh konvensional, namun tetap memberikan sensasi relaks dan nyaman yang sama.

Cobalah seteguk dan tahan dalam mulut beberapa detik. Akan muncul sedikit rasa manis di atas lidah, tidak dominan. Rasa manis itu berloncatan acak dari satu papil ke papil lain.

Setelah teh diteguk, perlahan rasa manis tadi memudar digantikan sensasi getir yang nyaman di lidah.

Ini kesan yang Krebadia.com rasakan saat pertama kali mencoba teh pucuk bambu yang diproduksi Kelompok Wanita Tani (KWT) Lestada. Produk yang sudah sering dipamerkan dalam festival pemerintah kabupaten setempat, namun belum banyak dikenal.

Sebabnya jelas, kerja keras mereka tidak diwartakan.

Jika kita melakukan pencarian di Google, tak ada satu pun ekspose media tentang KWT Lestada di sana. Baik dari apa yang mereka kerjakan maupun dari produk yang mereka hasilkan.

Fakta ini kontras dengan apa yang telah mereka kerjakan selama tiga tahun terakhir. Kerja sama antara KWT Lestada dan Yayasan Bambu Lestari menghasilkan ribuan anakan bambu yang kemudian disalurkan ke titik-titik rawan bencana dan mata air yang kritis di Kabupaten Manggarai Timur.

Puluhan ibu-ibu kelompok tani ini telah berbuat lebih untuk desa, tanah, dan keluarga mereka.

Mereka layak untuk dikenal.

Penasaran dan ingin tahu lebih banyak, Krebadia.com berangkat menuju Desa Mokel Morid.

Ini desa tempat produk teh pucuk bambu dikembangkan ibu-ibu kelompok tani, yang menjadikan tanaman bambu salah satu sumber penghasilan keluarga mereka.

Desa Mokel Morid berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kota Komba Utara, dan berdiri definitif pada 2011, setelah dimekarkan dari Desa Mokel sebagai desa induk pada 2010.

Desa ini terletak di sisi timur laut, kurang lebih 70-an kilometer dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Dengan kondisi jalan yang saat ini tuntas diperbarui pemerintah, waktu tempuh ke sana cukup singkat.

Setelah perjalanan 1 jam 30-an menit dari Borong, Krebadia.com tiba di Dusun Lada, satu dari empat dusun  di desa ini.

Di dusun ini, empat ibu-ibu berkumpul sambil bertukar cerita di halaman belakang sebuah rumah.

Mereka membahas banyak hal. Mulai dari musim hujan yang tak kunjung datang sampai mimpi mereka semalam.

Beberapa gosip kecil diselipkan dalam obrolan. Diceritakan dengan pelan namun direspons dengan tawa menggelegar.

Mereka adalah anggota KWT Lestada. Kelompok yang Krebadia.com ingin wawancarai.

“Biasanya kalau sore begini kami siram koker bambu,” kata Edelburga Timun. “Sekarang pengaruh kering, kurang air, jadi istirahat dulu untuk siram.”

Edelburga adalah salah satu ketua kelompok pelopor di bawah naungan KWT Lestada Mokel Morid.

“Kami setiap kelompok wajib buat 3.000 koker bambu,” kata Edelburga, menjelaskan tugas kelompok mereka.

Mereka mencari bibit, menyiapkan media tanam, menyiram anakan, dan merawat anakan bambu hingga siap didistribusikan kepada yang membutuhkan.

Jumlah 3.000 anakan bambu per kelompok itu sangat besar. Apalagi jika dikalikan dengan 23 kelompok. Dengan asumsi setiap kelompok menghasilkan 3.000 anakan, maka total anakan bambu yang dihasilkan KWT Lestada Desa Mokel Morid adalah 69.000 anakan.

Namun, jumlah ini disangsikan Edelburga karena beberapa alasan. Salah satunya adalah kekeringan panjang selama 2023.

“Tidak semuanya jadi e, ada yang tidak sampai tiga ribu, banyak juga yang mati.”

Meski demikian, jumlah anakan bambu yang dihasilkan tetaplah fantastis.

Kegiatan pembibitan anakan bambu oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Lestada Desa Mokel Morid Krebadia.com
Kegiatan pembibitan anakan bambu oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Lestada Desa Mokel Morid. (Arsip Desa Mokel Morid)

Kelompok Wanita Tani yang Berdaya Karena Bambu

“Kami di sini totalnya ada 23 kelompok pelopor,” kata Paula Amfoni, ketua umum KWT Lestada Desa Mokel Morid. “Setiap kelompok isinya tiga ibu-ibu.”

Paula menjelaskan, tujuan pembentukan kelompok pelopor adalah untuk mempermudah kerja dan koordinasi oleh ketua umum KWT.

Sedangkan mengapa hanya ibu-ibu yang dilibatkan dalam kelompok pelopor, menurut Paula, itu karena para ibulah yang dianggap paling tahu kondisi sesungguhnya ekonomi keluarga.

“Ada beras atau tidak, ada uang untuk beli ikan atau tidak,” kata Paula, “bapa-bapa jarang atau mungkin tidak ada yang tahu.”

Tanpa bermaksud mendiskreditkan peran para bapak sebagai kepala keluarga, menurut Paula, tidak ada salahnya jika ibu rumah tangga mampu menghasilkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

“Selama ada program ini, kami rasa dampaknya bagus sekali,” kata Paula. “Ini betul bantu kami para ibu, karena cairnya itu pas butuh untuk sekolah anak.”

Lalu, dengan tugas membiakkan 3.000 anakan bambu, berapa total rupiah yang diterima setiap anggota kelompok pelopor?

“Dapat tujuh setengah juta. Bagi tiga orang per kelompok,” kata Edelburga.

Jumlah itu dikonfirmasi Rosalia Maning, anggota salah satu kelompok pelopor.

“Kalau omong pendapatan, benar, kami sudah rasa selama ini,” kata Rosalia Maning. “Kami terima uangnya, langsung ke rekening.”

Edelburga Timun (tengah) bersama anggota kelompok pelopor KWT Lestada Desa Mokel Morid. (Etgal Putra/Krebadia.com)
Edelburga Timun (tengah) bersama anggota kelompok pelopor KWT Lestada Desa Mokel Morid. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Anakan Bambu, Komoditas Baru Desa Mokel Morid 

Kurang lebih 200 meter dari halaman tempat Edelburga dan kelompoknya duduk berkumpul, empat laki-laki sibuk memindahkan puluhan polibag hitam ke dalam sebuah mobil pick up Mitshubishi L300 yang diparkir di halaman sebuah rumah yang lain.

Tiap polibag berisi anakan bambu setinggi 30-an sentimeter. Anakan bambu itu tampak sehat. Tunas segar hijau tumbuh dari sela-sela ruasnya.

“Ini mau bawa ke Rana Kolong, nanti tanam di sana,” kata Patris.

Rana Kolong itu desa di Kecamatan Kota Komba, kecamatan induk sebelum pemekaran. Patris adalah anggota Yayasan Ayo Indonesia.

Hari itu, ia bersama timnya bertugas mengangkut bibit bambu untuk ditanam di Desa Rana Kolong.

Ini bentuk kerja sama antara Yayasan Ayo Indonesia dan Desa Mokel Morid yang dibina Yayasan Bambu Lestari.

Ada kesamaan tujuan dalam kerjasama ini. Mereka fokus pada pemberdayaan masyarakat, khususnya kaum perempuan dan ibu-ibu. Ini juga bentuk antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Yayasan Ayo Indonesia membeli ribuan anakan bambu, yang kemudian disebar ke beberapa lokasi kritis di Manggarai Timur yang membutuhkan penanganan.

“Mereka beli 4.000 anakan. Harganya 2.500 rupiah per anakan,” kata Paula Amfoni, ketua umum KWT Lestada. “Totalnya 10 juta rupiah. Uangnya sudah saya terima.”

Dua puluh menit berlalu. Polibag terakhir telah dimasukkan ke bak mobil. Sopir truk mengingatkan Patris untuk segera berangkat.

Roda pick up perlahan berputar meninggalkan halaman rumah. Terdengar derit besi tanda beratnya muatan.

Patris dan rekan-rekannya  melambai mengucapkan selamat tinggal, diiringi kepulan asap sepanjang jalan yang mereka lewati.

Bersama kepulan asap yang tertinggal di desa itu, turut tertinggal 10 juta rupiah, bukti usaha para ibu-ibu.

Ibu-ibu anggota KWT Lestada Desa Mokel Morid berkumpul bersama Yayasan Bambu Lestari usai kegiatan pembibitan anakan bambu di Desa Mokel Morid. (Arsip Desa Mokel Morid)
Ibu-ibu anggota KWT Lestada Desa Mokel Morid berkumpul bersama Yayasan Bambu Lestari usai kegiatan pembibitan anakan bambu di Desa Mokel Morid. (Arsip Desa Mokel Morid)

Kades Mokel Morid Jeli Melihat Peluang

Bersamaan dengan berangkatnya Patris, seorang pria menghampiri. Ia mengajak Krebadia.com  mampir ke rumahnya.

Nama pria itu Bertoldus Min Dasulastri. Untuk menyapanya, warga desa punya dua opsi. “Pak Kades” saat jam dinas, “Bapa Edo” saat berada di rumah.

Ia adalah kepala desa Mokel Morid. Awal tahun ini, ia terpilih kembali sebagai kepala desa.

“Satu saya punya prinsip Ase, kerja betul-betul dan selalu berdayakan masyarakat,” kata Berto saat ditanya tips kembali menang dalam pemilihan kepala desa periode kedua. Ase itu adik dalam bahasa Manggarai.

Perihal berdayakan masyarakat dijelaskan Berto secara sederhana.

“Uang dana desa harus berputar di desa. Jangan kasih sejahtera orang dari kota,” kata Berto.

Prinsip yang ia pegang selama periode pertama menjabat inilah yang membawanya terpilih kembali. Kali ini dengan selisih suara yang jauh dari lawannya.

Kini, pemberdayaan masyarakat itulah yang ia usahakan bersama Yayasan Bambu Lestari yang memilih Desa Mokel Morid sebagai desa binaan.

“Tahun 2021 orang dari Yayasan Bambu Lestari datang, tawarkan program,” kata Berto. “Saya lihat ini program bagus. Yang dapat manfaat itu masyarakat. Saya langsung setuju.”

Kata setuju yang diucapkan Berto, berbuah manis bagi masyarakat Mokel Morid yang diberdayakan. Secara khusus kaum perempuan.

Terbentuklah 23 kelompok pelopor, terdiri dari puluhan ibu-ibu. Ekonomi berbasis bambu ala KWT Lestada pun menggeliat.

Berto menjelaskan, seiring dengan program pembibitan anakan bambu yang diinisiasi Yayasan Bambu Lestari, KWT Lestada memutuskan mencoba tantangan baru.

Yakni, bagaimana memperoleh tambahan penghasilan dengan memanfaatkan anakan bambu yang sedang dibiakkan.

Ite coba lihat yang ini,” kata Berto sambil meyodorkan beberapa kemasan berwarna hitam. Ite itu Anda dalam bahasa Manggarai.

“Ini teh pucuk bambu. Ibu-ibu kelompok yang bikin,” kata Berto. “Mereka produksi sendiri. Sudah dipamerkan juga waktu festival kemarin.”

Festival yang dirujuk Berto adalah festival produk lokal yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Kemasan produk teh pucuk ini menarik. Berwarna hitam, dilengkapi seal lock.

“Ini kalau sudah dibuka, bisa ditutup rapat lagi,” kata Berto menjelaskan fungsi seal lock. “Jadi tehnya tetap awet.”

Pada bagian depan kemasan yang didominasi warna hijau terdapat tulisan teh pucuk bambu. Gambar batang bambu beserta daunnya dijadikan latar belakang kemasan, mempertegas produk ini benar-benar dibuat dari pucuk bambu.

Kepala Desa Mokel Morid, Bertoldus Min Dasulastri, memamerkan produk teh pucuk bambu yang diproduksi oleh KWT Lestada. (Etgal Putra/Krebadia.com)
Kepala Desa Mokel Morid, Bertoldus Min Dasulastri, memamerkan produk teh pucuk bambu yang diproduksi oleh KWT Lestada. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Teh Pucuk Bambu, Inovasi KWT Lestada

Ide membuat teh pucuk bambu dimulai dari pertemuan kelompok pelopor yang bernaung di bawah KWT Lestada, kata Ketua Umum KWT Lestada Paula Amfoni.

Saat itu terbersit ide bagaimana menciptakan sumber pemasukan baru dengan memanfaatkan pembibitan bambu yang sudah digiatkan selama ini.

Tujuannya, bambu yang sudah dibudidayakan harus punya nilai ekonomis tambahan. Tidak dijual begitu saja sebatas anakan dalam polibag.

Dibuatlah pembagian peminatan yang mewadahi setiap kelompok pelopor untuk menciptakan subkerja baru.

Kelompok peminatan terbagi dalam beberapa unit usaha. Mulai dari pembuatan pupuk hingga produk kerajinan tangan. Semuanya berbahan dasar bambu.

“Kalau kami, bagian yang buat teh pucuk bambu,” kata Paula.

Pucuk bambu yang diolah menjadi teh celup, kata Paula, diambil dari anakan bambu yang selama ini telah dibudidayakan oleh kelompok pelopor.

Soal produksi produk teh pucuk bambu, Paula mengatakan ia telah mengikuti pelatihan produksi yang diselenggarakan Dinas Kesehatan Manggarai Timur.

Pelatihan ini merupakan salah satu syarat wajib untuk memperoleh sertifikat produksi.

Setelah memperoleh sertifikat, masih ada tahapan lain, yaitu validasi yang dilakukan petugas dinas kesehatan kabupaten.

Validasi ini dilakukan untuk meninjau dan menilai sarana dan prasarana yang ada di desa.

Hasil validasi tersebut akan menentukan apakah produk yang diproduksi layak mendapatkan SPP-IRT, singkatan dari Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga.

Namun, meskipun produknya masih dalam proses validasi, kata Paula, kelompoknya telah memproduksi teh pucuk bambu. Telah diedarkan pula dalam beberapa festival yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Dalam festival tersebut, produk teh pucuk bambu ini ternyata memperoleh respons bagus. Yang telah diserap konsumen 400-an bungkus.

“Lumayan uang yang kami dapat,” kata Paula. “Per bungkusnya kami jual 20 ribu rupiah.”

Saat mencermati label kemasan, Krebadia.com menemukan tulisan yang menjabarkan enam khasiat  teh pucuk bambu. Mulai dari menurunkan tensi darah hingga detoks racun tubuh.

Kepada Paula, Krebadia.com pun menanyakan kebenaran klaim khasiat tersebut.

Paula menjelaskan, mengenai klaim tersebut, KWT Lestada beberapa waktu lalu telah menerima koreksi dari Dinas Kesehatan Manggarai Timur.

“Kemarin itu saat ikut pelatihan, dinkes bilang jangan dulu kasih masuk khasiatnya, karena belum ada uji lab,” kata Paula.

Klaim khasiat yang sempat diselipkan pada label produk, kata Paula, tidak bermaksud  menyesatkan calon pembeli.

Kekeliruan saat mencantumkan khasiat pada label ini berawal dari antusiasme kelompok dalam menghasilkan produk, sehingga melewatkan begitu saja prosedur dan perizinan yang diharuskan.

“Kami sudah buat label yang baru, dihilangkan tulisan khasiatnya,” kata Paula. “Kata Ibu Rensi, kalau ada tulisan khasiat maka harus uji lab. Jadinya kita tidak urus SPP IRT saja. Kita juga harus urus lagi izin BPOM.”

BPOM atau Badan Pengawas Obat dan Makanan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017, mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Teh pucuk bambu yang diproduksi oleh KWT Lestada Desa Mokel Morid. (Etgal Putra/Krebadia.com)
Sebuah inovasi: Teh pucuk bambu yang diproduksi oleh KWT Lestada Desa Mokel Morid. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Penjelasan Dinas Kesehatan Manggarai Timur

Rensi yang disebutkan Paula adalah pegawai pada Dinas Kesehatan Manggarai Timur yang selama ini mendampingi KWT Lestada dalam pengurusan izin SPP-IRT produk teh pucuk bambu mereka.

Krebadia.com menghubungi Rensi melalui pesan Whatsapp untuk menanyakan sejauh mana tahapan perizinan produk teh pucuk bambu milik KWT Lestada. Juga, sejauh mana produk itu aman untuk dikonsumsi.

Dalam jawabannya, Rensi mengatakan, sejak lahirnya PP Nomor 5 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan perizinan berbasis risiko, pemerintah telah memberi kemudahan terhadap para pelaku usaha untuk mengakses SPP-IRT yang diikuti dengan pemenuhan komitmen dalam jangka waktu 3 hingga 6 bulan (melalui OSS RBA atau Online Single Submission Risk Based Approach alias Perizinan Berusaha Berbasis Risiko).

“Pengurusan SPP-IRT produk teh pucuk bambu KWT Lestada Desa Mokel Morid saat ini masih dalam tahap koreksi label kemasan,” kata Rensi.

Ini dikarenakan desain label produk yang diajukan KWT Lestada kepada dinas kesehatan belum memenuhi persyaratan minimal yang wajib ada pada label Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP).

IRTP yang dimaksud Rensi adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semiotomatis.

Menurut Rensi, termuatnya khasiat teh pucuk bambu pada rancangan label yang diajukan KWT Lestada bertentangan dengan aturan pemberian SPP-IRT sesuai dengan peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2018 tentang pedoman pemberian SPP-IRT. Dalam aturan tersebut, khasiat tidak boleh dicantumkan pada label produk.

Krebadia.com kemudian menanyakan hasil uji laboratorum produk teh pucuk bambu sebagai jaminan atas khasiat yang diklaim.

Rensi memberikan jawaban bahwa uji laboratorium akan dilakukan apabila produk teh pucuk bambu milik KWT Lestada telah memiliki SPP-IRT.

Jika produk yang diuji ternyata tidak memenuhi syarat maka SPP-IRT dari produk tersebut akan dibekukan oleh dinas kesehatan.

Menurut Rensi, untuk saat ini produk teh pucuk bambu milik KWT Lestada Mokel Morid masih tergolong Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). Dengan demikian, uji lab bukan merupakan sebuah persyaratan.

Meski demikian, dinas kesehatan akan terus melakukan kontrol dalam bentuk pengawasan rutin.

“Terkait dengan teh pucuk bambu terbukti berkhasiat atau tidak, itu adalah nanti ketika teh pucuk bambu sudah tidak tergolong skala rumah tangga lagi. Nanti kita akan dorong ke Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) sehingga khasiat produk bisa dicantumkan pada label kemasan,” kata Rensi.

Berkenaan dengan uji laboratorium, Krebadia.com menanyakan siapa atau pihak mana yang akan bertanggung jawab apabila terjadi hal yang tidak diinginkan pada konsumen pengonsumsi teh pucuk bambu.

Rensi mengatakan bahwa tanggung jawab ini dipegang oleh pelaku usaha. Ini berdasarkan pernyataan komitmen yang ditandatangani pelaku usaha sebelum izin SPP-IRT dikeluarkan.

“Jika ternyata terbukti teh pucuk yang beredar menyebabkan keracunan maka pemerintah daerah akan menarik produk teh pucuk dari peredarannya,” kata Rensi.

Namun untuk memitigasi terjadinya hal tersebut, kata Rensi, pemerintah daerah dalam hal ini dinas kesehatan akan melakukan pengawasan rutin post market  terhadap produk melalui uji laboratorium serta pengawasan sarana produksi.

Terlepas dari itu semua, kelompok ibu-ibu Desa Mokel Morid telah membuktikan mereka luar biasa.

Selain menggairahkan  ekonomi keluarga, mereka menghasilkan sesuatu yang baru, yang patut dibanggakan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Sore menjelang. Krebadia.com pamit, kembali ke Borong, sambil membawa oleh-oleh sebungkus teh pucuk bambu, diberikan kepala desa dengan satu pesan:

“Tolong ceritakan perjuangan Ite punya mama-mama di sini.”

 

Baca juga artikel terkait Manggarai Timur atau tulisan menarik Etgal Putra lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com