Petani Pisang Kehilangan Rp60-an Miliar Setahun, Forkoma PMKRI Matim: Eradikasi Total Perlu Jadi Gerakan Masif

Diskusi Forkoma PMKRI Matim bersama Krebadia.com dan Matimpedia.com memperlihatkan, betapa penting dan mendesaknya eradikasi total tanaman pisang dan rotasi tanaman serealia menjadi gerakan masif-sinergis, di bawah kendali penuh bupati bersama DPRD, guna menolong para petani pisang, pelaku UMKM, dan konsumen terdampak wabah layu bakteri

pisang, petani pisang, manggarai timur, wabah pisang manggarai timur

Krebadia.com — Singkong rebus dan kopi hitam menandai rembang petang di Coffee for Rest, sebuah kedai keren di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur (Matim).

Hari itu, Sabtu 30 September 2023, anggota Forum Komunikasi Alumni  (Forkoma) PMKRI Matim bersama mitra media berkumpul diskusi.

Mereka santai. Tapi topik bahasannya bikin pilu. Topik, tentang sesuatu yang dulu pernah menemani seruput kopi mereka di kedai ini, tapi sekarang tinggal kenangan, karena pohonnya telah mati oleh layu bakteri, pemangsa tanaman pisang yang setahun belakangan merugikan petani Matim puluhan miliar rupiah.

Puluhan miliar rupiah? Hitung-hitungannya bagaimana?

“Kita bermain angka sedikit,” kata Marianus Supriadi. Dia angggota Forkoma, pemilik Coffee for Rest yang lebih dikenal dengan Adi Ama.

Pada Agustus 2023 dia ke Bali. Dia menyempatkan diri ke tempat pemasok pisang. Gudangnya seluas stadion. Mobil keluar masuk.

“Saya tanya dia, dia buka semua,” kata Adi, merujuk seorang pemasok pisang.

Si pemasok menangani 1.250 petani pisang dari 4 kecamatan di Matim, meliputi Borong, Rana Mese, Kota Komba, dan Kota Komba Utara.

Rata-rata 1 petani pisang menjual 30 tandan per minggu. Harga per tandan  Rp35 ribu. Dikalikan dengan 1.250 petani pisang, maka pasokan per minggunya 37.750 tandan. Dikalikan Rp35 ribu, maka per minggu yang diterima 1.250 petani pisang Matim senilai Rp1,5 miliar. Per bulannya, dikalikan empat, Rp5,2 miliar. Jika dikalikan 12 bulan, maka setahun nilainya tembus Rp62,4 miliar.

Menurut forum diskusi, kurang lebih demikianlah gambaran nominal kerugian yang diderita petani pisang di Matim. Kalaupun nominalnya lebih dari itu, lebihnya tidak signifikan. Kalaupun kurang, kurangnya pun tidak signifikan.

Diskusi yang diinisiasi Forkoma ini dipandu Erik Jumpar. Hadir sebelas  peserta, terdiri dari anggota Forkoma yang diketuai Yustinus “Tino” Rani, Sekretaris Dinas Pertanian Matim Ade Manubelu yang juga anggota Forkoma serta unsur media. Ada Marianus Supriadi, Markus Makur, Kanis Lina Bana, Adrianus Hariadi, Jomes Konal, Yergo Gorman (matimpedia.com) serta Andre Babur dan Frans Anggal (Krebadia.com).

Dasar Peliputan Media

Sebagai pancingan awal diskusi, Frans Anggal dan Andre Babur dari Krebadia.com menyampaikan kilasan peliputan wabah pisang di Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba.

Hasil peliputan telah dipublikasikan dengan judul “Petani Pisang Menjerit, Pemkab Matim Jangan Berkelit“, ditulis Etgal Putra.

Dalam liputan tersebut, berdasarkan wawancara dengan Kepala Dinas Pertanian Matim John Sentis, nama penyakit layu tanaman yang menyerang pisang di Matim adalah “layu bakteri”—untuk tidak disamakan dengan “layu fusarium”.

Dalam obrolan awal Krebadia.com dengan Forkoma di Coffee for Rest jauh sebelum peliputan dimulai, wabah pisang sebetulnya bukan lagi isu baru. Ini isu lama, untuk tidak mengatakannya basi. Banyak media sudah memberitakannya, bahkan sudah sejak setahun lalu.

Namun, melihat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Matim terpersepsikan kurang serius dalam penanganan dan pengendalian—persepsi yang bisa saja salah—maka Krebadia.com mengangkat lagi isu yang sama, tetapi secara lebih mendalam dan lengkap melalui “peliputan berkeringat” terjun langsung ke lapangan, menemui petani pisang dan menapakkan kaki di lahan bekas kebun mereka yang sudah berubah jadi “gurun”.

Dalam diskusi Forkoma kali ini terungkap, ternyata dinas pertanian sudah mengambil beberapa langkah, sejak penyakit datang menyerang setahun lalu. Kasus pertamanya di Desa Compang Ndejing, Kecamatan Borong.

Penyebaran dan Penanganan

“Sejak tanggal 12 Juli 2022, laporan dari PPL, penyuluh pertanian lapangan, bahwa pisang di Desa Compang Ndereng, Kecamatan Borong, terserang penyakit,” kata Ade Manubelu mengawali paparannya dalam diskusi.

Esok harinya, tim dinas pertanian langsung turun ke lapangan. Teridentifikasilah, setelah ditebang, batang pisang berbau busuk dan cokelat seperti berdarah.

Seminggu kemudian, dinas pertanian melakukan sosialisasi penanganan dan  pengendalian. Waktu itu khusus di Compang Ndejing saja.

Disosialisasikan, cara paling efektif mengendalikan penyakit ini adalah eradikasi total. Basmi musnahkan tanaman pisang sampai ke akarnya, agar bakterinya mati di tempat, tidak menyebar.

Tak dinyana, penyebaran penyakit ternyata cukup cepat. Ini antara lain, bukan satu-satunya, gegara kebiasaan petani pisang. Mereka mempersilakan pembeli memotong sendiri pisang di kebun. Alat potong yang digunakan pun berpindah dari pohon ke pohon. Melalui alat itulah bakteri pesiar bebas dari kebun ke kebun, dari kecamatan ke kecamatan.

Dua minggu kemudian datanglah tim Unit Pelaksana Teknis Proteksi dari Dinas Pertanian Provinsi NTT. Mereka melakukan gerakan pengendalian. Ada yang menggunakan insektisida. Ternyata tidak efektif. Akhirnya rekomendasinya kembali ke eradikasi total.

Sebulan kemudian, mengingat penularan penyakit ini cepat, dinas pertanian bekerja sama dengan lembaga agama menyampaikan sosialisasi penanganan melalui mimbar gereja dan masjid, khususnya di wilayah Kecamatan Borong.

Tetap tak terbendung. Dari wilayah Kecamatan Borong, penyakit semakin masif menyebar ke wilayah Kecamatan Kota Komba dan Kota Komba Utara. Pada November 2022, keluar surat edaran bupati Matim. Isinya sosialisasi penanganan. Eradikasi total harus dilakukan petani sendiri. Jangan tunggu PPL yang  datang basmi pisang. Langkah lain yang sudah dilakukan, dinas pertanian mendata petani pisang terdampak, khususnya dari 4 wilayah kecamatan yang paling parah, meliputi Borong, Rana Mese, Kota Komba, dan Kota Komba Utara.

“Kita fokus ke sini,” kata Manubelu, merujuk 4 kecamatan itu. “Kita belum bicara tempat lain, yang berdasarkan laporan teman-teman ada juga, tapi tidak sebesar pada 4 kecamatan itu.”

Menurut data, yang terdampak meliputi 4.788 kepala keluarga, tersebar pada 47 desa dan 4 kecamatan, dengan jumlah jiwa 22.447.

Yang diharapkan, dengan data sodoran dinas pertanian ini, dinas terkait bisa bertindak sesuai dengan kewenangannya.

Pada 31 Januari 2023, Kementerian Pertanian Dirjen Hortikultura membalas surat dinas pertanian perihal rekomendasi pengelolaan penyakit layu pada tanaman.

Apa yang direkomendasikan sudah disosialisasikan dinas. Salah satunya, rotasi atau pergiliran tanaman.

“Bahwa kita harus katakan kita tidak bisa budi daya pisang lagi sekarang,” kata Manubelu. “Kita harus ganti dengan komoditas lain. Harus berani.”

Ada juga cara yang ia uji coba secara pribadi dan ternyata berhasil. Ketika sisir terakhir keluar, jantung pisang dipotong. Itu mengandaikan pisangnya berbuah dan benar-benar diperhatikan rutin dari pohon ke pohon, serta tidak terlambat memotong jantungnya.

Kenyataannya sekarang, belum sampai berbuah, pohonnya layu duluan, karena bakterinya sudah menginfeksi tanah.

Cara lain, kondomisasi. Buah pisang dibungkus pakai karung, karena bakteri bisa ditularkan melalui serangga yang mengisap nektar di jantung pisang. Tapi, mau kuat berapa juga kalau harus panjat dari pohon ke pohon untuk memasang karung.

Belum lama berselang, datang tim Direktorat Pengendalian Hama dan Penyakit. Rekomendasinya tidak jauh berbeda. Yang sedikit berbeda hanyalah ini: setelah pangkal rumpun pisang dibongkar, masukkan sekam lalu bakar agar bakteri yang sudah menginfeksi tanah benar-benar mati.

Cara lain, budi daya pisang tanpa jantung (tanjung). Tapi mendatangkan varietas ini tidaklah mudah, harus melalui karantina dan lain-lain.

Juli 2023 dua orang dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang datang. Ada yang lakukan penelitian tentang kerugian secara ekonomis dan upaya pengendalian.

Oktober 2023 mereka akan datang lagi mempresentasikan hasil penelitiannya.

“Tapi saya pikir, tidak (akan) berbeda jauh dengan (rekomendasi) dari kementerian,” kata Manubelu.

Jangan Sampai Seperti Pisang Sumba

Forum diskusi menyadari penuh, wabah tanaman pisang bukan kasus baru di Indonesia. Wabah serupa pernah menimpa beberapa daerah. Salah satunya Pulau Sumba.

Selama ini, pisang kepok alias marmi dari Matim dibawa ke Sumba selain ke Surabaya. Mengapa ke Sumba? Karena di Sumba tanaman pisang ini sudah tidak ada lagi.

Penyakit pisang menyerang Sumba 10 tahun lalu. Sejak itu Sumba harus mendatangkan pisang kepok dari luar, antara lain dari Matim.

Saat wabah 10 tahun lalu, penanganan di Sumba kurang lebih sama seperti yang dilakukan di Matim sekarang ini. Tidak masif dan tidak sinergis melakukan eradikasi total dan rotasi tanaman.

Setelah pisang dibasmi, semestinya kebun ditanami serealia seperti jagung atau padi. Jangan buru-buru ditanami pisang lagi sebelum pemastian oleh pihak berkompeten bahwa kondisi sudah benar-benar aman.

Itu tidak dilakukan di Sumba. Padahal, berdasarkan literatur yang ada, pengendalian paling efektif cuma satu: eradikasi total. Tanaman pisang harus dibasmi habis, agar mata rantai penyebaran dan pembiakan bakterinya benar-benar terputus.

Matim tidak boleh tersesat pada jalan yang sudah lurus ini. Tanpa eradikasi total disertai rotasi tanaman serealia secara masif semisal jagung, kisah pilu di tanah Sumba akan terulang di tanah Matim dan Flores seluruhnya.

Jangan Sampai Seperti Apel Timor

Menurut penelusuran pustaka Krebadia.com, jauh sebelum cerita pisang Pulau Sumba, cerita apel Pulau Timor sudah duluan memilukan.

Apel ini dikenal dengan nama Manatuto apple atau apel Manatuto.

Manatuto apple merupakan jenis apel yang tumbuh alami di wilayah Manatuto, Timor Leste. Apel ini mempunyai tingkat keunikan tinggi karena memiliki tekstur dan rasa yang berbeda dengan apel-abel lain. Apel Manatuto berkulit hijau kekuningan ketika matang, daging buahnya putih bening, dan rasanya manis sedikit asam.

Pada awal abad ke-21, apel Manatuto teracam punah. Perubahan iklim, perambahan hutan, dan penggunaan pestisida yang tidak terkontrol mengakibatkan populasi apel ini berkurang drastis.

Kala itu apel Manatuto belum diteliti mendalam. Harganya pun relatif murah, membuat petani kurang tertarik membudidayakannya. Bahkan, bukan isapan jempol, apel ini dijadikan makanan ternak babi kala itu.

Belakangan, berdasarkan penelitian ahli, apel Manatuto ternyata memiliki sifat adaptabilitas tinggi terhadap iklim panas dan kering serta resisten terhadap penyakit tertentu. Apel ini berpotensi dikembangkan sebagai sumber pangan dan komoditas ekspor.

Lha, mau ekspor apa sekarang, apelnya sudah nyaris lenyap seperti pisang di Sumba.

Untuk menyelamatkan apel Manatuto dari kepunahan, Pemerintah Timor Leste bersama lembaga penelitian dan organisasi non-pemerintah lokal melakukan konservasi dan pembudidayaan ulang. Kerja yang tidak mudah.

Kisah apel di Pulau Timor dan pisang di Pulau Sumba kiranya membangkitkan kesadaran bersama. Matim tidak boleh seperti itu.

Wabah pisang sudah sebegitu genting, dengan kerugian nyata di depan mata yang tak bisa ditutup-tutupi.

Ruang kewenangan dan ruang fiskal dinas pertanian sendiri sangat terbatas. Sementara itu, sinergi lintas sektoral tidak terlihat. Tiap dinas berkerja dalam “ghetto”-nya masing-masing—”ghetto” adalah distrik-distrik dalam kota, sering kali tertutup, yang digunakan Jerman untuk mengumpulkan  warga Yahudi dan memaksa mereka hidup dalam kondisi menyedihkan.

Halo Dinsos dan Ketahanan Pangan

Cermatan Krebadia.com, juga tersingkap dalam diskusi Forkoma, penyikapan dan penanganan wabah pisang di Matim masih sektoral. Dinas pertanian pusing sendirian.

Ke mana dinas sosial? Ke mana dinas ketahanan pangan?

Di dinas sosial ada cadangan beras pemerintah (CBP) 100 ton. Itu disimpan buat siapa?

Petani pisang itu jual pisang untuk beli beras. Sekarang pisang mereka sudah mati. Berarti mereka kesulitan beras.

Apa tindakan dinas sosial dengan 100 ton CBP terhadap 22.447 jiwa terdampak wabah pisang yang disodorkan dinas pertanian?

Demikian juga dengan dinas pangan. Liputan lapangan Krebadia.com yang juga terkonfirmasi dalam diskusi Forkoma memastikan bahwa pisang pada empat kecamatan paling berdampak merupakan pangan, meski dalam nomenklatur pemerintah digolongkan sebagai hortikultura buah-buahan.

Sebab, selain jual pisang untuk beli beras, petani pisang pada empat kecamatan itu juga terbiasa makan pisang sebagai ganti beras.

Apa tindakan dinas ketahanan pangan terhadap 22.447 jiwa terdampak yang de facto kini kesulitan pangan sebagai akibat krisis daya beli?

Forum diskusi mengharapkan, data sodoran dinas pertanian bisa menjadi dasar bagi dinas-dinas terkait untuk segera bertindak.

Berkaitan dengan ini, tugas dinas pertanian adalah memberikan data. Selanjutnya dinas penerima data, dalam hal ini dinas ketahanan pangan misalnya, melakukan analisis kerawanan pangan untuk memastikan intervensi apa yang perlu dilakukan.

“Masyarakat ini juga, menurut saya, perlu diberi bantuan modal,” kata Tino Rani.

Ketua Forkoma Matim ini menjelaskan, hal yang perlu disadari betul adalah bahwa khusus di wilayah Kisol dan Bamo di Kecamatan Kota Komba serta di sebagian Kecamatan Rana Mese, pendapatan petaninya 60-70 persen dari pisang.

Itu baru dari segi pendapatan. Kalau masuk ke keseharian mereka, kita akan menemukan bahwa salah satu alternatif makanan mereka adalah pisang, sebagai pangan lokal, kata Tino Rani.

Musnahnya pisang benar-benar pukulan berat buat mereka. Mereka perlu dimodali, selain tentu di-tanggap-darurat-i dengan bantuan beras.

Meraba-raba Skema Bantuan

Hari beranjak malam ketika materi diskusi mengulik skema bantuan yang bisa menolong para petani pisang, sebagai pihak yang paling berdampak langsung, tanpa menafikan kerugian yang menimpa pelaku usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) kripik dan pisang goreng, buruh pemanen pisang, sopir pengangkut, pengepul, dan tentu konsumen penikmat pisang.

Salah satu skemanya bisa mengadopsi apa yang dilakukan di Sumba Timur dulu saat serangan hama belalang. Petani menangkap belalang lalu ditukar dengan beras. Hasilnya bagus. Petani ramai-ramai menangkap belalang.

Untuk mengatasi wabah pisang di Matim, petani sendiri yang harus melakukan eradikasi total. Mereka yang melakukan itu diberi bantuan bibit jagung untuk keperluan rotasi tanaman.

Skema lain, mengadopsi skema TJPS, tanam jagung panen sapi. Uang untuk beli bibit jagung dan pupuknya berupa pinjaman di Bank NTT, tanpa bunga, tanpa agunan. Petani tinggal tanam dan rawat.

Syaratnya, setelah panen, uangnya dikembalikan ke bank. Ada asuransinya pula. Apabila terjadi kegagalan maka bank mengklaim komoditas yang dibudidayakan.

Forum diskusi memandang, skema apa pun yang diambil, peran bupati dan DPRD merupakan kunci utama.

“Kita berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur dan unsur DPRD-nya memiliki satu pemahaman bahwa wabah pisang ini membutuhlan perhatian dan penanganan serius,” kata Tino Rani.

Menurut Forum diskusi, DPRD perlu terlibat karena mereka mempunyai hak (budgeting) mengalokasikan anggaran, apakah dalam bentuk skema bantuan sosial atau bantuan darurat.

Adapun bupati sangat sentral dan strategis perannya. Dialah yangi menyatupadukan derap langkah semua unsur. Terutama agar edukasi, eradikasi total, dan rotasi tanaman benar-benar menjadi gerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Ada anggota diskusi yang nyeletuk, keras sedikit juga bagus dalam urusan sepenting dan semendesak ini. Misalnya, yang tidak mau melakukan eradikasi total tanaman pisang di kebunnya tidak diperkenankan menerima bantuan ini dan itu.

Kuncinya, kembali lagi, ada pada bupati. Kalau didukung DPRD pula, mantap sudah. Apalagi bupati mempunyai hak melakukan diskresi.

Dalam konteks pemerintahan, diskresi terkait dengan kebijakan dan keputusan yang diambil pejabat pemerintah berdasarkan pertimbangan kepentingan publik dan tujuan yang ingin dicapai.

Bupati memiliki kebebasan menggunakan diskresi dalam membuat keputusan perihal alokasi anggaran, regulasi, pengawasan, dan kebijakan lainnya.

Apa Kabar Pokir DPRD Matim

Kunci penting lain yang tersorot dalam diskusi adalah DPRD, yang jelas-jelas memiliki  hak legislasi, budgeting, dan kontrol.

Temuan Krebadia.com, tak satu pun pokir anggota DPRD Matim periode sekarang mengenai pemberdayaan petani pisang. Dalam perubahan anggaran yang lalu pun tidak ada. Padahal, sudah setahun lebih penyakit menggegerogoti tanaman pisang para konstituen.

Hakikat pokir alias pokok pikiran adalah aspirasi masyarakat yang dititipkan kepada anggota dewan untuk diperjuangkan dalam pembahasan anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD.

Masa iya, anggota dewan tidak tahu petani pisang sedang semaput. Masa iya juga petani pisang terdampak tidak menyuarakan aspirasinya kepada wakilnya di DPRD.

Usut punya usut, ketemu jawabannya. Pokir pemberdayaan itu tidak seksi. Ribet urusannya, tipis ceperannya. Beda dengan pokir proyek fisik. Mudah. Set sat set selesai. Sekian persennya jelas, kasih di muka pula.

Tak heran, di bidang pertanian, pokir dewan penuh dengan jalan tani, irigasi, dan traktor. Semuanya proyek fisik. Pemberdayaannya nyaris kosong melompong.

Perlunya Gerakan Sinergis dan Masif

Sudahlah. Pokir sudah lewat untuk tahun anggaran berjalan. Tapi pasti masih ada cara lain yang bisa dilakukan DPRD untuk membantu para petani pisang yang adalah konsituennya juga.

DPRD punya kewenangan mendesak bupati melakukan gerakan sinergis dan masif untuk edukasi, eradikasi total, dan rotasi tanaman.

Dinas pertanian, dinas ketahanan pangan, dinas bencana alam, dan bappeda dari segi anggaran perlu didudukkan bersama.

Jangan buru-buru berkelit tidak ada anggaran. Proyek fisik gedung “Sentra Pisang” bisa tuh, meski dari dana pusat. Kenapa pemberdayaan petani pisang tidak? Karena tidak seksi?

“Bantu Rp20 miliar itu kecil untuk intervensi petani pisang,” kata Adi Ama, dibandingkan dengan uang yang telah masuk ke Manggarai Timur melalui keringat para petani pisang.

Menyadari penting dan strategisnya kedudukan serta tugas pokok dan fungsi DPRD, sebagai langkah tindak lanjut forum diskusi bersepakat akan melakukan audiensi alias hearing alias dengar pendapat dengan DPRD Matim.

Kesepakatan akan beraudiensi dengan DPRD Matim pun mengakhiri diskusi dua jam lebih di Coffee for Rest malam itu.

Saat semuanya pamit, rembang petang telah lama menghilang. Seperti terbangnya peruntungan para petani pisang. Yang entah kapan akan kembali pulang.

EDITOR: Redaksi Krebadia.com