Petani Pisang Sudah Menjerit, Pemkab Matim Jangan Berkelit

Kabupaten dengan lahan tanaman pisang 1.300 hektare dan menjadi nomor urut dua di NTT itu seakan mati langkah oleh wabah layu bakteri, yang membuat impiannya tentang "sentra pisang" akhirnya layu sebelum berkembang

Avatar of Etgal Putra
Petani pisang, pisang manggarai timur
Batang pisang kering yang dipotong itu adalah yang tersisa dari ribuan batang pisang milik Sabinus dan keluarganya yang musnah akibat wabah layu bakteri. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Ditulis oleh Etgal Putra

Krebadia.com — “Dulu, ini kebun isinya pisang semua, ribuan pohon,” kata Sabinus Sera (41) sambil menunjuk sebidang tanah di pesisir pantai Bondei.

Bidang tanah yang ditunjuk Sabinus terlihat seperti gurun, alih-alih sebuah kebun.

Hampir tidak ada tanaman yang hidup di sana. Yang tampak hanya beberapa pohon kelapa dan gundukan serat batang pisang yang sudah mengering dan terkapar di tanah.

Di tengah bidang tanah itu, enam batang pisang yang telah mengering masih berdiri tegak, seperti menolak untuk tumbang.

Batang-batang pisang itu adalah batang yang tersisa dari ribuan pohon yang pernah tumbuh di gurun yang pernah disebut kebun itu.

Belasan ekor sapi milik Sabinus berkeliaran. Tampak kurus, karena tidak ada hijauan yang bisa dimamah. Mereka bergerombol mengais sisa-sisa akar pisang yang masih mengeluarkan getah berair.

Bagi Sabinus dan keluarganya, musnahnya pisang merupakan momen terburuk mereka sepanjang 2023.

Meski demikian, jika dibanding dengan pemilik kebun lain, ia merasa beruntung karena telah menikmati masa jaya saat setandan pisang menyentuh harga tertinggi.

“Sudah lima tahun kami panen,” kata Sabinus.

“Kalau yang lain ada yang belum sempat panen, sudah mati semua.”

Sabinus Sera adalah satu dari puluhan pemilik kebun pisang di Tanah Rata, sebuah kelurahan dalam teritori Kecamatan Kota Komba di Kabupaten Manggarai Timur  yang semua tanaman pisangnya kini rata dengan tanah.

Sabinus menjadi narasumber sekaligus bersedia pemandu bagi Krebadia.com saat mengunjungi lokasi kebunnya di Bondei pada Senin 18 September 2023.

“Ini, penyebabnya, karena penyakit layu bakteri,” kata John Sentis, kepala Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur. John Sentis diwawancarai di ruang kerja kantornya di Lehong Borong pada Rabu 20 September 2023.

“Undana juga timnya sudah turun dan identifikasi kalau penyakitnya ini layu bakteri. Sampel yang kita kirim ke laboratorium juga (menunjukan hasil yang) sama,” kata John Sentis. Undana yang dimaksudkannya adalah Universitas Nusa Cendana, sebuah perguruan tinggi negeri di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut John Sentis, penyakit layu bakteri yang menyerang tanaman pisang di Manggarai Timur tidak mampu dikontrol dan telah masuk kategori wabah.

Wabah ini menurutnya tidak hanya menyerang tanaman pisang di wilayah tertentu di Manggarai Timur, tetapi tersebar merata dari wilayah utara, tengah, hingga selatan.

“Kalau (pisang) kepok hampir semua kena. Di Buntal, Pota, Lambaleda Utara. Kalau lewat di jalur tengah juga, saya lihat sudah terinfeksi semua,” kata John Sentis.

“Saya kira 1.300 hektare pisang sudah kena semua.”

Kondisi kebun pisang milik Sabinus Sara yang hancur akibat wabah layu bakteri. (Etgal Putra/Krebadia.com)
Kondisi kebun pisang milik Sabinus Sera yang hancur akibat wabah layu bakteri. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Manggarai Timur, kabupaten yang 86% penduduknya terdata sebagai petani, menurut data yang disampaikan John Sentis memiliki total 1.300 hektare lahan yang ditanami pisang.

Data ini dikatakannya mengacu pada data luas lahan yang telah dikirim oleh Dinas Pertanian Manggarai Timur pada Kementerian Pertanian, sebelum direktur Perlindungan Tanaman Dirjen Holtikultura mengunjungi Desa Compang Ndejing pada Juli 2023.

Penyakit layu bakteri, lebih dikenal dengan nama Blood Disease Bacterium (BDB) atau penyakit darah, disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum yang punya nama lain Pseudomonas solanacearum.

Bakteri ini dibawa oleh serangga seperti kepik dan lebah yang hinggap pada jantung pisang dan menyebar ke bagian tanaman yang lain. Bukan hanya menyerang tandan dan buah, bakteri ini juga menyerang akar, bonggol, dan batang pisang.

Serangan penyakit ini dapat terjadi pada semua fase pertumbuhan pisang, dan telah menyebar hampir di seluruh pertanaman pisang di Indonesia.

Infeksi penyakit ini diawali dengan gejala yang khas.

“Kalau daun pisang sudah (terlihat mulai berubah warna menjadi) kuning, berarti sudah kena, selesai sudah,” kata Sabinus.

Ciri lainnya adalah keluarnya cairan berwarna cokelat kemerahan dari bagian tandan dan buah pisang, yang jika dibiarkan akan sangat berpengaruh pada produktivitas dan bahkan dapat menyebabkan gagal panen.

Permasalahan ini diperparah dengan kebiasaan petani dalam memotong jantung, tandan, atau memangkas daun dengan menggunakan parang atau pisau yang sama. Ini dapat mempercepat penularan penyakit ini.

Penularan melalui peralatan kerja yang tidak disucihamakan memperburuk penyebaran bakteri dari pohon yang terinfeksi menuju pohon yang sehat.

Bakteri ini bisa bertahan lama hingga 40 tahun pada suhu 20–25 °C dalam air murni.

Penyakit layu bakteri bukan penyakit yang bisa dianggap remeh. Efek penghancurannya jelas dirasakan oleh para pemilik tanaman pisang di Tanah Rata.

Jika sudah tertular penyakit layu bakteri, tanaman pisang sulit ditolong. Dalam waktu singkat, layu bakteri dapat menghabiskan tanaman pisang dalam areal luas.

Sejarah Mencatat Pisang yang Punah

Wabah Fusarium pada varietas Gros Michel adalah satu contoh soal sejarah buruk  penyakit yang menyerang tanaman pisang.

Pada era 1960-an, pisang jenis ini menjadi primadona, persis Kepok atau Marmi di Manggarai Timur.

Pisang Gros Michel berkembang pesat di perkebunan-perkebunan besar di berbagai negara berkembang seperti Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Tingginya permintaan akan Gros Michel berujung pada pembabatan berhektare-hektare hutan tropis di Amerika Latin demi meluaskan kebun baru.

Kejayaan Gros Michel di Amerika Selatan pada akhirnya berujung saat wabah Panama Disease menyerang dan mengakhiri masa kejayaan Gros Michel dalam sekejap, dan nyaris membuat varietas pisang ini punah.

Sistem penanaman dan pendistribusian Gros Michel saat itu serupa dengan Pisang Kepok atau Marmi di Tanah Rata, yaitu dengan gaya monokultur.

Saat jamur Fusarium menggerogoti akar dan bagian dalam batang pisang, kematian akan menyebar dari satu pohon ke pohon yang lain.

Fusarium sangat susah dikontrol. Ia mampu menyebar dengan mudah di tanah, air, dan menginfeksi bagian-bagian tanaman.

Penanggulangan secara kimiawi di tanah atau batang pohon pisang terbukti tak efektif untuk menekan mewabahnya jamur.

Fusarium juga mampu bertahan di dalam tanah selama bertahun-tahun dan membuat kawasan perkebunan lama tak bisa ditanami lagi.

wabah penyakit layu bakteri pisang manggarai timur
Kebun milik Wiliam Engga yang hancur akibat wabah. Sekitar 700-an pohon dari 140 rumpun pisang yang ia tanam kini tidak menghasilkan tandan yang layak dijual. (Etgal Putra/Krebadia.com)

 

Petani Rugi Berapa?

Menurut Sabinus, sebelum tanaman pisang di kebunnya terinfeksi penyakit layu bakteri, setiap panen rata-rata ia mampu memperoleh hingga 300-an tandan pisang. Jumlah ini termasuk yang terbesar di wilayah Tanah Rata.

Tidak mengherankan, Sabinus memiliki tanah seluas kurang lebih 2 hektare. Seluruhnya ditanami pisang.

“Dulu tanam sekitar 300 rumpun. Satu rumpun bisa 5-6 batang pohon,” kata Sabinus.

Panen biasanya dilakukan setiap dua minggu, dan jika musim hujan telah tiba, jumlah tandan yang layak dipanen akan meningkat hampir dua kali lipat.

“Satu tandan harganya 25 ribu (rupiah). Sekarang sudah hancur banyak (pendapatan) kita,” kata Sabinus.

Dengan hitungan sederhana, 25 ribu rupiah dikalikan 300-an tandan sekali panen, maka total rupiah yang dikantonginya setiap panen berkisar 7,5 juta rupiah.

Jika dalam sebulan ia dua kali melakukan panen, maka pendapatan kotor  yang ia dapatkan dari pisang adalah 15 juta rupiah. Jumlah yang besarnya 7 kali lipat dari upah minimum Provinsi NTT.

Selain menyerang tanaman pisang dan merusak hasil panen, penyakit layu bakteri juga menyerang pendapatan pihak lain yang terlibat dalam proses panen.

Salah satunya, buruh pikul.

Sejak wabah menyerang, tidak ada penghasilan tambahan bagi warga sekitar yang bekerja sebagai buruh pikul.

Upah menggiurkan ditawarkan bagi mereka yang bekerja memikul pisang dari kebun menuju kendaraan yang disediakan oleh pengepul pisang.

Menurut Sabinus, setiap panen ia akan mempekerjakan 10 orang sebagai buruh pikul dengan upah 100 ribu rupiah per harinya.

Jumlah bayaran ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah buruh harian di Tanah Rata yang berkisar 50 hingga 80 ribu rupiah per hari.

“Mereka senang kalau saya minta bantu panen pisang,” kata Sabinus.

Wiliam Engga, wabah pisang manggarai timur
Sejak wabah layu bakteri menyerang, Wiliam Engga (78) mengatakan bahwa ia tidak sekalipun dikunjungi petugas dari Dinas Pertanian Manggarai Timur. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Dinas Pertanian Bikin Apa?

Abainya pemerintah dalam mengatasi wabah layu bakteri dikeluhkan oleh Wiliam Engga (78) saat ditemui Krebadia.com di kebunnya di Bondei.

Wiliam memiliki dua bidang tanah. Luasnya kurang lebih satu hektare. Di tanah tersebut terdapat 140-an rumpun pisang yang ia tanam sejak 2020. Saat musim hujan tiba, sekali panen Wiliam bisa memperoleh 100 tandan.

Kini pemasukan dari pisang tidak lagi diperoleh Wiliam. Ia mengatakan tidak punya komoditas lain yang memiliki harga jual dan permintaan tinggi seperti pisang.

“Beras sudah 15 ribu (rupiah per kg), pisang tidak ada, uang tidak ada, ” kata Wiliam.

Abainya pemerintah terhadap penanganan wabah layu bakteri, menurutnya, turut berperan terhadap kesulitan ekonomi yang ia rasakan sekarang.

Wiliam mengatakan, sejak wabah layu bakteri menyerang, tidak sekalipun ia dikunjungi petugas dari Dinas Pertanian Manggarai Timur.

Keluhan Wiliam tentang tidak hadirnya pemerintah saat wabah pisang ini disangkal oleh Kadis Pertanian John Sentis.

“Sejak awal tahun kan kita sebenarnya sudah sosialisasi, melalui PPL kita, melalui lurah,  melalui camat, termasuk di gereja kita pernah umumkan. Termasuk di Kisol juga,” kata John Sentis.

PPL yang disebutkan John Sentis adalah penyuluh pertanian lapangan, tenaga teknis yang  bekerja untuk dinas pertanian dalam memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendampingan kepada petani, peternak, dan masyarakat di bidang pertanian.

John Sentis mengatakan ia heran pada pemberitaan media sebelumnya yang memojokkan pemerintah seolah tidak memiliki kepedulian terhadap wabah layu bakteri yang menyerang tanaman pisang di Manggarai Timur.

Berita yang dimaksud  John Sentis adalah berita lansiran Voxntt.com pada Selasa 19 September 2023 berjudul “Pisang Mati secara Masif, Pemkab Matim Diminta Lakukan Penyuluhan dan Kajian”. Berita tersebut memuat pernyataan Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Manggarai Timur Sebastianus Anggal bahwa pemerintah tidak fokus pada bidang pertanian.

“Saya ingat persis Om Sebas Anggal itu, jangan dia bicara dari pandangan sebagai seorang SPI, kita menghargai tapi sebenarnya upaya kita sudah buat,” kata John Sentis.

Pernyataan John Sentis “sebenarnya upaya kita sudah buat” dibantah oleh Sabinus si petani pisang.

Menurut pengalaman Sabinus, dinas pertanian fokus menggarap program yang tidak perlu, namun abai pada permasalahan serius yang butuh penangan tepat.

Ia mempertanyakan peran apa yang sebenarnya dimainkan pemerintah dalam hal ini dinas pertanian.

“Saya heran, dulu waktu kami masih ada kakao, pisang, dinas datang bagi bibit kakao, padahal kami belum butuh. Saat yang ekstrem sekali seperti ini, mereka mana? Tidak ada yang datang,” kata Sabinus.

WhatsApp Image 2023 09 24 at 22.22.58 e1695743729573
Baltasar Sebastinus Anggal: Pisang mati, ubi juga sudah kena penyakit. Kita mau makan apa? (Sebas Anggal)

 

Kemarau Panjang, Pisang Hilang, Krisis Pangan

Jauh sebelum program beras-isasi dikampanyekan Orde Baru sebagai pilihan karbohidrat utama Indonesia, masyarakat Manggarai (meliputi tiga kabupaten: Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur) telah memiliki banyak alternatif karbohidrat yang diwarisi turun-temurun.

Pisang adalah penyangga pangan masyarakat Manggarai selain ubi jalar, talas, singkong, dan jagung. Berbagai alternatif karbohidrat ini saling mengisi, membentuk ketahanan pangan bagi masyarakat Manggarai.

Penderitaan petani yang sudah kehilangan pendapatan akibat wabah layu bakteri yang menyerang tanaman pisang diperparah kemarau panjang yang telah diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak awal 2023.

Gagal panen karena kemarau panjang pada beberapa sentra beras di Manggarai Timur berimbas pada kenaikan harga beras yang makin melambung tinggi.

“Sekarang beras sudah naik 15 sampai 16 ribu (rupiah per kg). Pisang mati, ubi juga sudah kena penyakit. Kita mau makan apa?” kata Baltasar Sebastianus Anggal kepada Krebadia.com saat diwawancarai melalui sambungan telepon.

Baltasar Sebastianus Anggal, aktivis, petani, sekaligus ketua SPI Manggarai Timur mengatakan bahwa di wilayahnya, potensi krisis pangan sudah jelas tampak di depan mata.

Ia menilai pemerintah abai dan lamban dalam membuat kebijakan cepat untuk memitigasi ini.

Berbeda dengan Sebastianus, saat diwawancarai Krebadia.com terkait potensi krisis pangan di wilayah Manggarai Timur, Kepala Dinas Pertanian Manggarai Timur John Sentis justu berpendapat sebaliknya.

“Untuk krisis pangan sih tidak. Saya meyakini tidak. Yang penting semua komponen daerah jeli melihat masalah, maka harus cekatan,” kata John Sentis.

John Sentis meminta masyarakat agar proaktif dan mau bekerja sama dengan pemerintah.

Kepada petani yang pisangnya terkena wabah layu bakteri, ia mengimbau agar lahan mereka segera dibersihkan secara manual sambil menanti datangnya hujan.

Dinas Pertanian Manggarai Timur, menurutnya, telah melakukan antisipasi melalui proposal bantuan benih jagung kepada anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan NTT.

“Kita (Dinas Pertanian) kemarin ada kirim data 2.800 hektare untuk terima bantuan benih jagung,” kata John Sentis.

Sikap optimistis John Sentis ini diragukan dasarnya oleh Sebastianus.

“Bagaimana kalau itu bantuan terlambat datang, atau tidak datang sama sekali?” kata Sebastianus.

“Kalau John Sentis bicara jagung, lihat saja itu program TJPS, sukses atau tidak?”

TJPS atau Tanam Jagung Panen Sapi yang disinggung  Sebastianus adalah program  Pemerintah Provinsi NTT yang diluncurkan 2019 silam.

Program ini menelan biaya 25 miliar rupiah hasil pemfokusan ulang (refocusing) ABPD NTT Tahun Anggaran 2019.

Targetnya muluk. Ketahanan pangan masyarakat menguat, pakan sapi tersedia, hingga berujung pada rakyat yang lebih sejahtera.

Sejumlah kerja sama dengan berbagai pihak dilakukan guna mendukung kelancaran program ini. Salah satunya, menandatangani nota kesepahaman dengan Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Brigjen Samuel Petrus Hehakaya untuk  pelibatan TNI dalam mendukung peningkatan ekonomi masyarakat NTT di bidang pertanian.

“Pertanian harus bisa jadi supply chain (rantai pasokan) pembangunan NTT. Kita yang memutuskan dan saling bersinergi. Kita punya anggaran, sumber daya manusia, masyarakat dan lahan, serta lembaga tinggi. Kalau kita sinergi, pada 2021–2022 bisa jadi kebangkitan pertanian NTT. Sehingga, mendukung kedaulatan pangan sebagai martabat bangsa ini,” kata Laiskodat dilansir Indonesia.go.id.

Hasilnya, gagal total.

Hanya 412 ekor sapi yang dihasilkan dari total investasi sebesar 25 miliar tersebut. Bila seekor sapi dibandrol dengan harga standar Rp5 juta rupiah, maka hasil yang didapat hanya sebesar 2,06 miliar rupiah.

“Kami menilai program TJPS itu gagal total kalau Pemprov NTT tanam uang 25 miliar (rupiah) untuk TJPS tapi hasil panen jagungnya hanya bisa membeli 400-an ekor sapi. Kalau seperti ini yah jelas gagal total. Anak kecil pun akan menilai gagal total,” kata anggota DPRD Provinsi NTT Viktor Mado, dilansir Voxntt.com.

Sebastianus meminta dinas pertanian fokus mendata petani yang menderita akibat wabah layu bakteri, alih-alih menciptakan program baru yang sudah terbukti gagal dan tidak bermanfaat bagi masyarakat.

“Saya pernah omong soal ini dengan John Sentis itu dalam forum diskusi. Kosong melompong mereka itu. Kita ini akhirnya hanya pasrah dengan alam saja,”  kata Sebastianus.

Sentra pisang
Sentra Pisang Manggarai Timur yang dibangun menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2021 sebesar 2,8 miliar rupiah. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Proyek Miliaran Atas Nama Pisang

Data yang diperoleh Krebadia.com dari website Badan Pusat Statistik (BPS) tentang produksi pisang di Manggarai Timur menunjukkan bahwa sejak 2020 hingga 2022, Manggarai Timur digolongkan sebagai salah satu kabupaten penghasil pisang terbanyak di NTT.

Manggarai Timur menghasilkan rata-rata 300 ribu kuintal pisang per tahun, berada di bawah Kabupaten Malaka yang terdata sebagai pemimpin dengan produksi rata-rata 600 ribu kuintal pisang per tahun.

Krebadia.com mendatangi Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Manggarai Timur pada Rabu 20 September 2023 pukul 10.15 Wita untuk mencari data nominal rupiah yang beredar dalam bisnis pisang yang sempat berjaya sebelum hancur berantakan oleh wabah layu bakteri.

Sayangnya, Kepala Dinas Perindagkop Fransiskus Petrus Sinta yang akan diwawancarai ternyata tidak berada di tempat.

“Pak Kepala lagi pergi acara syukuran di rumahnya Pak Ande,” kata Sekretaris Dinas Perindagkop Vinsensius Mahus. Pak Ande yang dimaksudkan adalah Agas Andreas bupati Manggarai Timur.

Ini kali kedua Krebadia.com gagal menemui Kadis Perindagkop Fransiskus Petrus Sinta–lebih dikenal dengan nama Frans Malas.

Sebelumnya, pada 12 September 2023, Krebadia.com telah mencoba mewawancarai sang kadis saat melakukan investigasi isu besi non-SNI yang beredar di Manggarai Timur, namun yang bersangkutan tidak berada di kantornya.

Dalam kaitannya dengan bisnis pisang, Kadis Perindakop Fransiskus Petrus Sinta beberapa kali mengeluarkan pernyataan di media terkait potensi dan niat Perindagkop untuk mengelola bisnis pisang di Manggarai Timur.

Oktober 2021 kepada media Fransiskus Petrus Sinta mengatakan akan menutup akses penjualan pisang ke Bali dan Surabaya.

Kesejahteraan petani pisang menjadi alasan Perindagkop memblokir dan memonopoli akses hasil produksi petani.

Fransiskus mengatakan bahwa semua pisang kepok yang dihasilkan petani di Manggarai Timur akan diserap sebagai bahan baku kripik pisang yang pengolahannya terpusat di Borong.

Harga pisang yang dibeli pedagang luar dari tangan petani, dinilai Fransiskus terlalu murah. Hanya sebesar 35 ribu rupiah per tandan.

Fransiskus mengatakan bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) yang dibina Perindagkop akan menyerap pisang produksi petani dengan harga lebih tinggi.

Nilainya dua kali lipat harga yang tawarkan pedagang kepada petani. Kadis Perindagkop itu mengatakan UKM binaan dinasnya akan membeli pisang petani dengan harga 50 ribu rupiah per tandan.

Sentra Pisang lalu didirikan tepat di belakang rumah jabatan bupati Manggarai Timur dengan anggaran sebesar 2,8 miliar rupiah yang pendanaannya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2021.

Tambahan 4,5 miliar rupiah juga dialokasikan pada tahun anggaran 2022 untuk pembelian berbagai jenis mesin pengolahan kripik pisang, seperti mesin pengiris, penggorengan, dan kemasan.

Sentra Pisang ini direnacanakan dikelola oleh 5 sampai 6 UKM binaan yang khusus memproduksi keripik pisang, begitu pernyataan Fransiskus.

Anggaran digelontorkan dan pelatihan pun diadakan.

Awal 2023, wabah layu bakteri menyerang. Menghancurkan hampir seluruh kantong produksi pisang di Manggarai Timur.

Pisang lenyap, kadis Perindagkop tidak lagi bersuara. Impian itu pun layu sebelum berkembang.

Sentra Pisang Manggarai Timur
Nama Sentra Pisang tetap dipakai, meski sebagian gedungnya dialihfungsikan menjadi Kantor Badan Layanan Umum Daerah Sistem Penyediaan Air Minum alias BLUD SPAM Manggarai Timur. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Sebuah Ironi, Sentra Pisang Tanpa Pisang

Gedung Sentra Pisang Manggarai Timur yang dibangun dengan anggaran miliaran rupiah tidak pernah dimanfaatkan untuk mengelola pisang seperti tujuan awal pendiriannya.

Kepada Diana Baru selaku kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindagkop, Krebadia.com menanyakan alasan tidak dimanfaatkannya fasilitas tersebut.

“Baru selesai bangun, langsung wabah,” kata Diana.

Ditanyai Krebadia.com mengenai apa tindak lanjut Dinas Perindagkop agar pembangunan fasilitas pengolahan bernilai miliaran rupiah di Sentra Pisang tidak mubazir karena ketidaktersediaan bahan baku, Sekretaris Dinas Koperindag Vinsensius Mahus mengatakan Sentra Pisang akan berproduksi menggunakan bahan baku pengganti.

“Ganti sukun, ganti keladi, dan kelompok IKM akan mengelola itu di sentra,” kata Vinsensius.

Pernyataan penggunaan bahan baku selain pisang di tempat yang bernama Sentra Pisang, seperti yang disampaikan oleh Vinsensius, terdengar ganjil di telinga Krebadia.com.

Untuk memastikan itu, Krebadia.com kembali bertanya apakah sentra pengolahan yang terlanjur diberi nama Sentra Pisang dapat diubah menjadi Sentra Sukun atau Sentra Keladi, Vinsensius memberikan jawaban normatif.

“Kalau untuk ganti papan nama sudah tidak bisa, karena dulu nomenklaturnya Sentra Pisang,” kata Vinsensius.

Pernyataan Vinsensius terbukti benar adanya.

Saat Krebadia.com mengecek langsung ke lokasi, frasa Sentra Pisang yang disusun dalam barisan huruf dari bahan logam dan berukuran besar tetap terpasang seperti sediakala.

Nama Sentra Pisang tetap dipakai, meski sebagian gedungnya dialihfungsikan menjadi Kantor Badan Layanan Umum Daerah Sistem Penyediaan Air Minum alias BLUD SPAM Manggarai Timur.

Sekali Sentra Pisang, tetap Sentra Pisang, walau tanpa pisang.

 

Baca juga artikel terkait Manggarai Timur atau tulisan menarik Etgal Putra lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com