“Di Sini Hanya Ada Air Kematian”

Ada proyek air minum bersih tapi gagal, warga Kampung Translok di Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, akhirnya tidak punya sumber air minum yang jelas entah sampai kapan

Avatar of Etgal Putra
air bersih, air, air kematian, kampung translok
Avelina (kiri) dan Merlinda adalah bagian dari ratusan warga Kampung Translok yang kesulitan mengakses air bersih selama satu dekade terakhir. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Ditulis oleh Etgal Putra

Krebadia.com—Pukul 13.00 Wita, udara panas yang berembus di pesisir utara Pulau Flores terasa begitu menyengat.

Sudah terbiasa atau memang mengabaikan sengatan pada Sabtu 30 September 2023 itu, dua wanita berpakaian sederhana berjalan keluar dari sebuah rumah di Blok A Dusun Translok.

Masing-masing mereka membawa jeriken berukuran lima liter. Dari bentuk dan sobekan label yang masih melekat, dipastikan itu jeriken bekas wadah minyak goreng.

Nama wanita itu Avelina Ifan, usianya 37 tahun. Siang itu ia bersama tetangganya, Merlinda Siti, berkaki menuju utara, menyusuri jalan tanah selebar tiga meter untuk memperoleh air bersih.

Jalan itu sangat natural. Belum tersentuh pembangunan. Berdebu saat kemarau dan licin berlumpur saat hujan.

Belum jauh mereka melangkah, sebuah sepeda motor melintas. Pengendaranya lelaki paruh baya. Ia berhenti lalu menyapa Avelina dan Merlinda. Mereka berbincang sejenak sebelum lelaki itu kembali melaju, meninggalkan debu yang membubung dan menyesakkan dada.

“Kalau musim kering, di sini banyak yang batuk dan gatal-gatal,” kata Merlina.

Avelina dan Merlinda adalah bagian dari ratusan warga yang mendiami area transmigrasi lokal (translok) yang terletak di Desa Golo Lijun, desa di pesisir utara Flores dan masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur (Matim).

Secara resmi, nama wilayah ini adalah Dusun Translok. Satu dari empat dusun yang ada di Desa Golo Lijun.

Namun, warga di sana lebih memilih nama Kampung Translok saat menyebut nama permukiman tempat mereka tinggal.

Kampung Translok dibagi menjadi tiga rukun tetangga (RT) yang tersebar dalam dua blok permukiman. Blok A dan B.

Setiap rumah warga di dalam blok ini dibangun terpisah, dan dibatasi jejeran pohon kelapa serta kaplingan sawah.

Kaplingan sawah dibagi merata kepada setiap keluarga yang bersedia pindah dan bermukim di sana.

“Kami pindah di sini sejak 2005, Nana,” kata Avelina.

Kata pindah yang disebut Avelina merujuk pada program transmigrasi lokal yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Manggarai pada 2005, dua tahun sebelum Manggarai Timur resmi berdiri 17 Juli 2007.

Sumber air yang dituju Avelina dan Merlinda adalah sebuah sumur yang berjarak  700-an meter dari rumah mereka.

Dalam sehari mereka dua kali menimba air di tempat itu. Pagi dan sore. Semuanya dilakukan dengan berjalan kaki.

Sumur itu adalah sumur pribadi milik warga di luar Kampung Translok. Jika warga lain hendak menimba air dari sumur tersebut, maka izin dari pemilik sumur merupakan keharusan.

Saat kemarau dan debit airnya kurang, kadang pemilik sumur melarang warga lain menimba air di situ.

“Mau tidak mau, kami pergi timba air kali,” kata Avelina.

Kali yang dimaksud Avelina adalah kali Wae Buntal. Sebuah kali yang berjarak dua kilometer ke arah utara dari Kampung Translok.

Dua kilometer tentu bukan jarak yang dekat. Butuh tenaga ekstra untuk menimba air dari sana.

Avelina punya tips sederhana agar tidak dilarang  menimba air sumur dan harus menempuh jarak begitu jauh menuju Wae Buntal.

“Daripada pergi ke kali, kita mending hidup baik-baik. Harus selalu tegur (sapa) dan minta izin pemilik sumur. Biar air (sumur debitnya) kurang, mereka tetap kasih (izin untuk menimba air),” kata Avelina.

Avelina, Merlinda, dan warga yang lain seharusnya tidak perlu berkaki menimba air sejauh itu, jika saja jaringan air bersih yang disediakan pemerintah mengalir lancar.

IMG 1588 scaled
Sumber air yang ditimba Avelina dan Merlinda adalah sebuah sumur yang berjarak  700-an meter dari rumah mereka. Dalam sehari mereka dua kali menimba air di tempat itu. Semuanya dilakukan dengan berjalan kaki. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Air Kematian di Kampung Translok

Rumah, sawah, dan air jaringan air bersih telah disiapkan Pemerintah Kabupaten Manggarai bagi setiap keluarga yang bersedia untuk pindah ke wilayah translok, kata Robert Gadur (47), salah satu warga yang bersedia diwawancarai.

“Tahun 2005 pas pindah di sini, memang sudah ada air,” kata Robert.

Menurut Robert, setelah tujuh tahun berlalu, sekitar tahun 2012, aliran air mulai tersendat hingga akhirnya berhenti mengalir.

Saat itulah babak derita warga Kampung Translok dimulai.

Tahun 2015,kata Robert, Pemerintah Desa Golo Lijun berinisiatif membangun bak penampung serta tonggak pengalir air.

Proyek desa itu ternyata gagal total. Tidak ada air yang mengalir dari tonggak tersebut.

“Mereka itu (pemerintah desa) bikin bak, tapi tidak ada sumber air,” kata Robert.

Tahun 2018, harapan akan air bersih kembali hadir di Kampung Translok melalui proyek air Pamsimas.

Harapan itu tidak berlangsung lama.

“Itu air hanya keluar tiga bulan. Habis itu semua pipa hilang,” kata Robert.

Robert mengatakan, hingga kini belum ada respons apa pun dari pemerintah kabupaten, meski keluhan terkait krisis air selalu disampaikan saat reses anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Gagalnya proyek air desa tahun 2015 dan program Pamsimas tahun 2018 menghadirkan satu kenyataan pahit bagi warga Kampung Translok. Tidak ada sumber air yang jelas hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

“Kami tidak percaya air kehidupan. Di sini hanya ada air kematian,” kata Yoseph Jelamu (46), warga lain yang bersedia diwawancarai.

Air kematian, istilah yang diucapkan  Yoseph Jelamu, merujuk pada genangan air pada selokan yang berada di depan rumah mereka.

Selokan itu adalah bagian dari jalan tanah yang membelah Kampung Translok.

Selokan itu dibuat untuk mengalirkan air, agar saat musim hujan air tidak menggenangi jalan serta rumah warga.

Namun, seperti proyek air yang tidak mengalirkan air, selokan yang dirancang agar mengalirkan air justru menjadi pusat genangan air.

Genangan air inilah yang akhirnya dikonsumsi warga pada musim hujan dari Desember hingga Mei.

“Kami di sini terpaksa harus kebal,” kata Yoseph.

IMG 1603 scaled
Tonggak pengalir air yang dibangun Pemerintah Desa Golo Lijun tahun 2015. Proyek ini gagal dan tidak ada air yang mengalir dari tonggak ini. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Janji PUPR dan Sibuknya Ketua DPRD Manggarai Timur

Kepala Desa Golo Lijun, Yovita Mbaju, saat dihubungi melalui sambungan telepon mengonfirmasi keluhan warga desanya.

“Apa yang disampaikan masyarakat itu betul,” kata Yovita.

Yovita mengatakan,  pada 2022 Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Matim telah melakukan survei sumber mata air.

Survei dilakukan pegawai PUPR Manggarai Timur bernama Abdul Karim.

Hasil survei merekomedasikan hulu Wae Buntal sebagai sumber air yang ideal bagi Desa Golo Lijun.

Menurut Yovita, saat itu Abdul Karim mengatakan bahwa mengalirkan air dari hulu kali Wae Buntal adalah proyek yang membutuhkan anggaran besar.

“Harus dari dana APBD kabupaten dia bilang. Kalau pake APBDes susah karena susah dan jauh mata airnya,” kata Yovita.

Berdasarkan hasil survei tersebut, Yovita mengusulkan bantuan proyek air minum bagi desanya kepada Dinas PUPR Kabupaten Manggarai Timur.

Yovita mengatakan, saat itu, Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya PUPR Matim Ivan Mbula berjanji akan berjuang, sehingga Desa Golo Lijun masuk dalam daftar penerima manfaat proyek air minum bersih untuk tahun anggaran 2023.

Namun janji yang disampaikan Kabid PUPR Ivan Mbula tidak terealisasi hingga saat ini.

Untuk mengonfirmasi pernyataan Yovita, Krebadia.com menghubungi Ivan Mbula melalui pesan Whatsapp pada 4 Oktober 2023 pukul 18.12 Wita.

Pesan Whatsapp tersebut masuk, bercentang dua, namun tidak dibaca dan dibalas.

Krebadia.com kembali menghubungi Ivan Mbula. Kali ini melalui panggilan telepon sebanyak tiga kali pada pukul 19.10 Wita, namun panggilan telepon Krebadia.com tidak direspons oleh yang bersangkutan.

Ada tiga hal vital menurut Yovita yang dibutuhkan Desa Golo Lijun dan terus ia perjuangkan, yaitu air bersih, puskesmas, dan jaringan listrik.

“Puskesmas gagal, air juga gagal (untuk) tahun (anggaran) 2023. Katanya nanti tunggu 2024, tidak tahu jadi atau tidak,” kata Yovita.

Terkait jaringan listrik, Yovita meminta pemerintah dan PLN mempertimbangkan perluasan jaringan dari Desa Sambinasi Barat yang masuk wilayah administratif Kabupaten Ngada.

“Tidak bisa andal (jaringan listrik) dari Manggarai Timur. Pota saja belum ada listrik,” kata Yovita.

IMG 1618 scaled
Yoseph Jelamu: Kami tidak percaya air kehidupan. Di sini hanya ada air kematian. (Etgal Putra/Krebadia.com)

Terkait keluhan warga Desa Golo Lijun, Krebadia.com menghubungi Agustinus Tangkur yang kini menjabat ketua DPRD Kabupaten Manggarai Timur, menggantikan Heremias Dupa yang mengundurkan diri karena bertarung dalam pemilihan wakil bupati Manggarai Timur sisa masa jabatan 2022-2024.

Agustinus Tangkur adalah anggota DPRD dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan duduk sebagai anggota dewan mewakili daerah pemilihan (dapil) 4 yang meliputi Kecamatan Elar, Elar Selatan, dan Sambirampas. Kecamatan yang menaungi Desa Golo Lijun.

Agustinus Tangkur dihubungi Krebadia.com melalui pesan Whatsapp pada 04 Oktober 2023, pukul 18.11 Wita.

Dalam pesan tersebut, Krebadia.com meminta waktu Agustinus Tangkur untuk diwawancarai terkait permasalahan air bersih yang dialami masyarakat dari daerah pemilihannya.

Agustinus membalas singkat, “Saya sedang sibuk ….”

Saat ditanya kapan ia punya waktu untuk diwawancara, Agustinus kembali membalas singkat, “Nantilah saya kabar.”

Hingga liputan ini rilis, tidak ada kabar dari Agustinus Tangkur, ketua DPRD sekaligus wakil rakyat dari dapil Elar, Elar Selatan, dan Sambirampas.

“Saya tanggal 10 atau belasan (akan) ke Borong itu untuk bertemu mereka,” kata Yovita saat ditanyai apa langkah yang akan ia lakukan sebagai kepala desa.

“Sebaiknya ketemu mereka saja. Biar ribut dengan mereka. Mereka itu tidak dengar kita (yang ada) di bawah.”

Ketegasan Yovita, yang lahir tumpukan kekecewaan, membuat udara panas yang berembus di pesisir utara Pulau Flores siang hari itu terasa semakin menyengat.

 

Baca juga artikel terkait Dampak Perubahan Iklim atau tulisan menarik Etgal Putra lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com