Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun

Dibangun sejak 2019 dengan dana awal lebih dari Rp3 miliar, disusul tambahan dua kali swakelola, proyek di sempadan Pantai Borong ini masih mangkrak. Diklaim Dinas PUPR untuk pengembangan pariwisata, meski belum ada pembicaraan dengan Dinas Pariwisata

Avatar of Redaksi Krebadia
Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun  
Anak-anak kampung Golput bermain sepak bola di tepi tembok penahan tanah proyek Jalan Lingkar Luar Kota Borong. Gambar diambil pada 14 Januari 2014. (Etgal Putra/Krebadia)

Penulis Etgal PutraEditor Anastasia Ika dan Ryan Dagur

Krebadia.com — Januari 2024 belum lewat separuh kalender, tapi kekeringan mulai tampak di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.

Di Kampung Golput, sekitar 200 meter dari Pantai Borong yang terhubung dengan Laut Sawu, enam anak berpeluh mengejar sebuah bola.

Satu gawang, enam pemain. Tanpa alas kaki dan aturan.

“Main baik-baik!” teriak seorang laki-laki yang ikut menonton.

“Kalau besar nanti bisa masuk Persematim,” lanjutnya, mengacu pada Persatuan Sepak Bola Manggarai Timur.

Yang diteriaki makin bersemangat menendang bola. Debu mengepul bersama sepakan mereka, melambung hingga menyeberangi sebuah tembok.

Setinggi lebih dari satu meter, tembok itu mengitari kawasan mangrove yang tumbuh di sempadan Pantai Borong.

Seorang anak yang ditunjuk teman-temannya mengambil bola memandangi tembok itu, sebelum mengucap, “Tidak bisa e. Terlalu tinggi. Saya tidak bisa naik.”

Seorang teman sepermainan yang lebih tua datang mendekat. “Biar saya saja yang panjat dan ambil bola,” katanya sebelum dengan gesit menaiki tembok, melompat dan membawa kembali bola.

Tembok yang dinaiki anak itu adalah penahan tanah pada proyek jalan yang dikerjakan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Manggarai Timur.

Berada di sisi timur Kampung Golput, tembok penahan tanah ini punya dua sisi dengan lebar 15 meter, membentang kira-kira 1.200 meter.

Dimulai dari area Dermaga Borong, tembok ini melingkari hutan mangrove dan berakhir di wilayah Kampung Golput yang berada di bantaran Kali Wae Bobo.

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun  
Kondisi tembok penahan tanah pada proyek Jalan Lingkar Luar Kota Borong yang belum tuntas. Gambar diambil pada September 2023. (Etgal Putra/Krebadia)

Polemik Pembangunan Jalan Lingkar Luar

Tembok itu menjadi saksi proyek jalan yang telah dikerjakan sejak 2019, namun hingga kini belum juga selesai.

Proyek tersebut dikerjakan CV Chavi Mitra dengan anggaran Rp3.017.082,00 yang bersumber dari dana alokasi umum (DAU).

Sejak awal pengerjaannya, proyek dengan nomenklatur Peningkatan Jalan Lingkar Luar Kota Borong itu telah menuai polemik.

Sejumlah pihak mengkritiknya karena merusak hutan mangrove yang tumbuh di sempadan Pantai Borong, lokasi jalan tersebut dibangun.

Ada juga warga setempat yang mempersoalkannya dengan menempuh gugatan hukum karena menuding kebunnya dirusak.

Front Rakyat Manggarai Timur Bergerak (FRMTB) menggelar unjuk rasa di Lehong, pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur, pada 28 November 2019.

Front ini merupakan gabungan anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Ruteng dan Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Manggarai.

Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Timur menunjukkan surat izin upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL) serta analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal).

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun  
Sisa-sisa batang mangrove yang mati setelah digusur untuk membuka jalan lingkar luar. Gambar diambil September 2023. (Andre Babur/Krebadia)

Tuntutan FRMTB ketika itu ditolak Kepala Dinas (Kadis) PUPR Manggarai Timur Yosep Marto dengan alasan, “Pemerintah bertindak sesuai mekanisme.”

Menurutnya, UPL dan UPK serta amdal telah disiapkan. Namun tidak untuk ditunjukkan ke massa aksi, kecuali di hadapan persidangan.

“Semua dokumen saya bawa. Kami tidak takut dan gentar. Kita akan sampaikan dan buka-bukaan di persidangan jika hal ini lanjut ke proses hukum,” kata Yosep Marto.

Sementara itu Darmayanti, warga setempat, melaporkan Pemkab Manggarai Timur ke Kepolisian Sektor (Polsek) Borong.

Dalam laporan polisi nomor LP/28/X/2019/ RES M.RAI/SEK Borong, ia menuding pemkab telah merusak hutan mangrove dan kebun kelapa milik mendiang ayahnya, Haji Umar Ba,–yang menjadi lokasi pembangunan jalan itu.

Yoseph Sunardi P. Dani merupakan pejabat sementara (pjs) Kelurahan Kota Ndora saat Darmayanti menyerahkan laporan polisi.

Ia sempat dimintai keterangan di Polsek Borong.

Kepada polisi, ia mengklaim telah “melakukan semua tahapan sesuai aturan.” Tahapan yang disebutkannya mulai dari pendataan hingga menginisiasi pertemuan antarpemangku kepentingan.

Protes pembabatan mangrove juga dikritisi aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Cabang Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT).

“Kalau kita mau kaji mangrove, sebenarnya salah satu yang dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda) itu pidana lingkungan,” kata Yuvensius Nonga, deputi Walhi NTT. 

Ia juga  mempertanyakan alasan pembangunan infrastruktur pada kawasan hutan mangrove yang menjadi “‘sabuk hijau’ dan harus dijaga.”

Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah Bali Nusa Tenggara sempat turun tangan mengecek kasus pembabatan mangrove itu.

Pada 2021, kasus ini kemudian diambil alih oleh Polres Manggarai Timur. Namun, hingga kini perkembangan proses penanganannya belum diketahui.

Pemerintah sempat menanggapi kritikan para aktivis lingkungan dengan menanam anakan mangrove baru, namun nyaris tak satupun yang bertahan hidup.

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun  
Kepala Dinas PUPR Manggarai Timur, Yosep Marto. (Dokumentasi Diskominfo Manggarai Timur)

Belum Bisa Dimanfaatkan Meski Dana Terus Digelontorkan

Sejak kontroversi 2019 proyek jalan itu didiamkan, baru pada akhir 2022 pemerintah kembali mengerjakannya.

Dinas PUPR mengucurkan Rp300 juta melalui skema swakelola.

Dana itu, menurut dinas tersebut, digunakan untuk membiayai pengurukan tanah di lokasi proyek.

Perihal pembiaran jalan itu bertahun-tahun dan baru dikerjakan lagi hampir tiga tahun kemudian, Kadis PUPR Manggarai Timur Yosep “Yos” Marto beralasan pandemi.

Hal itu, kata dia, membuat “anggaran macet” sehingga pekerjaan lanjutan tidak bisa dilakukan pada 2020 hingga 2021.

Ia juga menyebut alasan teknis bahwa pembangunan infrastruktur di area rawa memerlukan waktu cukup lama untuk fase pengerasan secara alamiah sebelum dilakukan penimbunan material.

“Kalau langsung timbun, pasti akan turun.”

Floresa sempat menyoroti kejanggalan dalam penggunaan dana swakelola penimbunan tanah tersebut.

Dalam liputan tersebut, termuat informasi bahwa tanah yang digunakan untuk menimbun lokasi tersebut diambil dari lahan milik warga secara cuma-cuma.

Selain itu, Floresa menyoroti tidak adanya papan informasi proyek di lokasi pekerjaan tersebut.

Pada akhir 2023, pengurukan tahap kedua dilakukan, dengan anggaran lebih besar, Rp400 juta.

Tak ubahnya dengan tahap pertama, pengurukan tahap kedua menggunakan dana swakelola dan tanpa papan informasi proyek.

Yos punya alasan, adanya penganggaran untuk pengurukan tahap kedua “supaya bisa cepat dimanfaatkan jalannya.”

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun  
Pengurukan tahap kedua Proyek Jalan Lingkar Luar Kota Borong yang belum tuntas. Gambar diambil pada 14 Januari 2024. (Etgal Putra/Krebadia)

Alasan peningkatan anggaran swakelola untuk pengurukan tahap kedua ini dibenarkan Wilibrodus Adeputra Lama, pejabat pembuat komitmen (PPK) Bidang Bina Marga PUPR Matim.

“Kami pakai swakelola karena lebih cepat,” kata Wilibrodus.

Wilibrodus menolak menjelaskan lebih detail alasan penambahan anggaran terus-menerus pada proyek jalan yang belum juga dimanfaatkan. Ia beralasan penjelasan rinci bukan wewenangnya.

“Saya memang PPK, tapi waktu itu (2019) yang urus Kaka Anton,” kata Wilibrodus.

“Kalau bicara mundur ke belakang, jujur saya tidak tahu.”

Anton yang ia maksud adalah Antonius Firmus Dapoto, mantan PPK Bidang Cipta Karya PUPR Matim yang telah menjadi tersangka dan disidang di Pengadilan Negeri Kupang dalam kasus korupsi proyek air minum bersih Desa Rana Masak, Kecamatan Borong, tahun anggaran 2020.

Ditanyai tentang pekerjaan lanjutan pada jalan tersebut, Wilibrodus mengatakan, “Tahun ini tidak ada anggaran untuk lanjut kerja.”

“Kalau tahun depan belum tahu juga, karena belum dibahas,” katanya,

Hingga liputan ini ditulis, total Rp3,7 miliar telah digelontorkan pemerintah untuk membangun tembok dan menguruk tanah di dalamnya.

Saat Krebadia mengunjungi lokasi proyek tersebut pada 14 Januari 2024, pengurukan belum juga selesai. Masih tersisa puluhan meter bagian jalan yang penuh gundukan tanah dan belum diratakan.

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun  
Sebagian Jalan Lintas Luar yang berada di Kampung Golput, sisi timur Kali Wae Bobo. Gambar diambil pada 14 Januari 2024. (Etgal Putra/Krebadia)

Proyek Jalan Miliaran untuk Wisata Buatan

Pemerintah Manggarai Timur menyebut proyek jalan itu dalam rangka pengembangan sektor pariwisata.

Yos mengatakan, “Ini pilot project Manggarai Timur untuk sektor pariwisata buatan.”

Krebadia menemui Yos di rumah pribadinya di Toka, Kota Borong, pada 23 Oktober 2023.

Menurut Yos, pariwisata Borong “berpotensi menambah pendapatan daerah, tetapi pengelolaannya belum maksimal.”

Sebaliknya, “Pertanian terus diandalkan sebagai sumber utama pendapatan daerah,”–paradigma yang menurutnya “harus diubah.”

Ia mencontohkan Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang “maju dengan pesat meninggalkan kota lain karena pariwisatanya.”

Borong, katanya, bisa menyamai Labuan Bajo lantaran “alam kita (Borong) sama bagusnya.”

“Bayangkan bila Borong jadi waterfront city, bakal maju kota kita ini,” katanya.

Meski berbahasa Inggris, waterfront city bukanlah istilah umum yang berlaku secara internasional. Dalam “Pedoman Kota Pesisir” yang terbit pada 2006, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil–kini menjadi Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil–di Kementerian Kelautan dan Perikanan mendefinisikan waterfront city sebagai “pengembangan kawasan yang berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau.”

Ditanya apakah itu harus dicapai dengan membuat jalan baru di sempadan pantai, Yos menjawab, “Yang penting siapkan sarana dan prasarana dulu. Nanti dinas pariwisata yang akan kelola.”

Tanpa memberi jawaban pasti soal waktu penyelesaian pengerjaan jalan itu, ia melanjutkan, “Semua tergantung dana, tapi pelan-pelan kita kerjakan.”

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun  
Ternak milik warga yang diikat di sisi timur Jalan Lingkar Luar Kota Borong. Gambar diambil pada 14 Januari 2024. (Etgal Putra/Krebadia)

Dibangun PUPR, Tidak Diketahui Dinas Pariwisata

Angan-angan Yos menjadikan Borong waterfront city rupanya belum tersampaikan ke Kadis Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur, Rofinus Hibur Hijau.

Ditemui Krebadia pada 14 November 2023, Rofinus mengaku “belum berkomunikasi dengan dinas PUPR” terkait pengembangan daerah pesisir Borong.

Apalagi, katanya, “Saya baru menjabat kadis.”

Rofinus diangkat sebagai kadis pariwisata oleh Bupati Andreas Agas pada 29 Desember 2022.

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Timur, Rofinus Hibur Hijau (tengah). (Dokumentasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Timur)

Ia mengatakan wewenangnya sebagai kadis pariwisata terbatas pada pengelolaan aset wisata “sesuai regulasi pemerintah daerah.”

“Kami punya banyak ide kreatif,” katanya sebelum melanjutkan, “tetapi terhambat regulasi.” Ia tak lebih lanjut menjabarkan ganjalannya.

“Kami hanya kelola apa yang jadi bagian dinas kami,” katanya.

Mengaku belum pernah menyambangi lokasi proyek, Rofinus “mengetahui polemik pada awal pembangunan jalan itu.”

“Waktu itu, teman-teman penegak hukum sempat ke situ karena ada masalah. Saya belum tahu perkembangan lanjutannya,” katanya.

Bupati Tidak Merespons

Krebadia telah berupaya mengajukan jadwal bertemu Bupati Manggarai Timur Andreas Agas untuk wawancara tentang proyek ini.

Upaya itu dilakukan melalui Jeany Wajong, kepala Bagian Protokoler dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Manggarai Timur.

Jeany ditemui Krebadia pada 11 Desember 2023 di ruang kerjanya, lantai satu kantor bupati di Lehong, Borong.

“Pak Bupati belum bisa dikontak karena masih di Jakarta,” kata Jeany saat itu. “Baru pulang mungkin sekitar Sabtu.”

Jeany lalu memberikan perkiraan tanggal  wawancara. “Nanti kita berkabar saja, di atas tanggal 18. Nanti Ite (Anda) bisa WA saya tanggal 18,” katanya.

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun
Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas. (Dokumentasi Diskominfo Manggarai Timur)

Kepada Jeany, Krebadia menyampaikan dua topik wawancara, termasuk soal proyek jalan ini.

Informasi dua topik wawancara itu lalu direspons, “Berarti nanti saya laporkan dua agenda itu ya,” kata Jeany.

Saat dimintai konfirmasinya pada 18 Desember 2023 sesuai dengan janji seminggu sebelumnya, Jeany memberikan jawaban bahwa jadwal kegiatan bupati sedang padat dan wawancara belum bisa dilakukan.

Selain melalui prokopim, Krebadia telah berupaya menghubungi Andreas Agas melalui pesan WA ke nomor ponsel pribadinya pada 26 Januari 2024.

Pesan WA tersebut terkirim, bercentang dua dengan warna biru tanda telah dibaca, namun tidak dibalas hingga liputan ini rilis.

“Tidak Ada Bagi-Bagi Proyek”

Terbengkalainya proyek jalan lingkar luar itu menjadi perhatian Siprianus Edi Hardum, pengamat dan dosen hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Dihubungi melalui sambungan telepon pada 21 Januari 2024, lelaki asal Reok Barat, Kabupaten Manggarai, itu mengatakan, “Masyarakat memiliki kekuatan untuk mempertanyakan kejelasan proyek milik pemerintah.”

“Dasar kekuatan itu,” lanjut Edi, “adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.” Keterbukaan informasi publik diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008.

Ia menjabarkan tiga alasan pentingnya kejelasan proyek itu “harus dibuka ke publik.” Pembangunannya menggunakan pajak rakyat; pengerjaannya merusak daerah sempadan pantai; dan “pembangunannya patut diduga korupsi karena mangkrak.”

Selain diduga akibat korupsi, terbengkalainya proyek itu diduganya sebagai “imbas dari permainan ‘bagi-bagi proyek’.”

“Mengapa mangkrak, karena itu bisa saja proyek bagi-bagi, kan?” katanya sebelum melanjutkan, “Sekian persen untuk pihak yang punya kepentingan. Dananya kurang, akhirnya mangkrak.”

Dihubungi secara terpisah, Yos Marto membantah proyek itu bagian dari politik “bagi-bagi jatah”.

“Saya tidak tahu soal itu,” katanya. “Tidak ada bagi-bagi proyek.”

Ia mengklaim, “Saya kadis yang sama sekali tidak berhubungan dengan kontraktor.”

“Sebagai pengajar hukum pemerintahan daerah,” kata Edi Hardum, “saya mengetahui di daerah-daerah itu ada organisasi yang tujuannya justru korupsi, namanya muspida. Dan itu sudah dari dulu.”

Menurut Edi, forum musyawarah pimpinan daerah (muspida) pada awalnya dibentuk untuk tujuan positif seperti memudahkan koordinasi antarinstansi.

Namun dalam praktiknya, “Ini menjadi forum untuk bagi-bagi proyek.”

“Forum muspida telah tahu sama tahu soal penyimpangan keuangan negara,” kata Edi. “Bisa saja itu politik kongkalingkong. Bisa saja anggarannya sudah pas, tapi karena telah dibagi-bagi akhirnya tidak jalan.”

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan, Proyek Jalan Miliaran Rupiah yang Babat Mangrove di Manggarai Timur Mangkrak Bertahun-tahun
Siprianus Edi Hardum: Masyarakat memiliki kekuatan untuk mempertanyakan kejelasan proyek milik pemerintah. (Istimewa)

Edi menjelaskan, “praktik kongkalingkong” di daerah umumnya melibatkan aparat penegak hukum. “Ada sekian persen untuk jaksa, sehingga jaksanya tidak menuntut.”

“Contohnya itu di kasus Terminal Kembur. Jaksa malah menjadikan Gregorius tersangka untuk menyelamatkan oknum pejabat yang telah membayar,” kata Edi, merujuk pada Gregorius Jeramu.

Gregorius telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung pada November 2023, setelah dalam pengadilan sebelumnya ia divonis penjara karena menjual tanah yang tidak bersertifikat untuk terminal.

Para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab untuk bangunan fisik terminal, kata Edi, “sampai sekarang tidak tersentuh, padahal namanya sudah disebut.”

“Jaksa dengan senang hati jadikan (pejabat seperti itu) sebagai ATM berjalan. Peras terus dan setor terus.”

Praktik seperti ini, lanjut Edi, “menunjukkan betapa tengil dan luar biasa pembangkangan hukum yang terjadi di daerah.”

“Manggarai Timur itu bupatinya tengil, apalagi Manggarai,” kata Edi.

Kata tengil, kata dia, juga merujuk pada sikap “tidak responsif pada masukan masyarakat.”

“Mengapa tidak responsif? Karena tidak ada yang memberi sanksi,” sehingga “aman-aman saja meski suka main proyek.”

Edi juga mengkritisi bungkamnya legislatif terhadap apa yang ia sebut “pembangkangan.”

“Apakah ada dari mereka yang berani mengkritisi penyakit ini?” tanyanya.

Padahal, kata dia, legislatif punya tiga fungsi yaitu kontrol, fungsi anggaran, dan fungsi legislasi.

“Fungsi kontrol ini 100 persen tidak digunakan. Justru fungsi kontrol ini jadi sarana kongkalingkong,” kata Edi.

“Praktik kongkalingkong itu akhirnya sejalan dengan fungsi anggaran, bagaimana anggota dewan minta persentase dari proyek gorong-gorong atau jalan misalnya.” 

Imbasnya, lanjut Edi Hardum, “mereka tidak bisa melahirkan regulasi yang bersifat kontrol.”

“Masyarakat seperti berteriak di padang pasir. Sendirian dan tidak didengar.”

IMG 20240114 142438 641@ 2047863016 scaled
Deker penahan tanah di sisi barat Jalan Lingkar Luar Kota Borong yang telah amblas. Gambar diambil pada 14 Januari 2024. (Etgal Putra/Krebadia)

Yang Sudah Dikerjakan Mulai Rusak

Empat tahun berlalu sejak proyek jalan itu dikerjakan, sementara urukan kembali dikerjakan, banyak bagian tembok penahan tanah yang retak dan diselimuti belukar.

Deker penyalur air di sisi barat jalan telah amblas, besi beton penyangga deker mencuat dan diselimuti karat.

Tidak sampai beberapa meter dari deker amblas itu, seorang bapak duduk di sebuah bale-bale. Bertelanjang dada, ia tampak santai menonton anak-anak bermain bola.

Sesekali ia berteriak, “Jangan main kasar!” Sesekali ia juga memperingatkan mereka dengan seruan, “Awas, jangan tendang batu!” dan “Hati-hati, banyak paku di situ!”

Nama bapak itu Thomas, warga Kampung Golput, yang berada dalam area pembangunan proyek jalan itu.

Ia enggan berkomentar banyak terkait proyek jalan itu yang tembok penahan tanahnya hanya berjarak tiga meter dari pintu rumahnya.

“Kami hanya orang kecil yang menumpang di sini,” kata Thomas, “tidak enak kalau cerita, takut salah.”

“Kami tidak mau ikut campur urusan pemerintah.”

 

Laporan ini merupakan artikel pertama dari dua artikel liputan terkait proyek jalan yang babat mangrove di sempadan Pantai Borong. Liputan dikerjakan Krebadia dalam kolaborasi dengan Floresa, bagian dari program penguatan kapasitas jurnalis di Flores. Program ini didukung hibah dari Alumni Thematic International Exchange Seminar [TIES] Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.