Tinggi-Pendek; Panjang-Rendah

tinggi, pendek, panjang, rendah

Empat kata, “tinggi, pendek, panjang, rendah” yang tertulis sebagai judul untuk ulasan ini sering dipakai dalam praktik berbahasa. Penulisan dua pasangan kata untuk judul ini tampaknya tidak lazim. Penulisan bentuk berpasangan yang lazim adalah “tinggi-rendah; panjang-pendek”. Jika dipasangkan seperti yang lazim ini, maka kita menyebutnya sebagai pasangan kata yang maknanya berlawanan (antonim).

Kamus atau leksikon mengelompokkan keempat bentuk itu berkategori sebagai kata sifat (ajektif). Kata berkategori ajektif umumnya dijadikan sebagai atribut atau kata yang menerangkan kata benada (nomina). Dalam konteks semantik, kata sifat dapat dipakai sebagi penciri kata benda. Salah satu cara untuk memastikan apakah satu kata berkategori benda (nomina) adalah apakah kata itu bisa diperluas atau ditambahkan dengan bentuk “yang ditambah kata sifat”. Kata “hujan” pasti berkategori nomina karena bisa diperluas dengan bentuk “yang ditambah kata sifat”, misalnya, hujan yang lebat.

Kata “panjang” dibatasi atau didefinisikan sebagai dimensi suatu benda yang menyatakan jarak antar-ujung. Dalam hampir semua sistem pengukuran, “panjang” dijadikan sebagai satuan fundamental yang digunakan untuk menurunkan satuan-satuan lainnya. Sebagai sistem pengukuran dasar untuk satuan lainnya, kata “panjang” dengan sendirinya mencakup kata tinggi, pendek, rendah, dalam walaupun semunya harus dideskripsikan secara lebih tegas.

Panjang dapat dibagi menjadi tinggi dan rendah yang menyatakan jarak secara tegak (vertikal), serta lebar/jauh dan sempit/dekat yang menyatakan  jarak dari satu sisi ke sisi yang lain, diukur pada sudut tegak lurus terhadap panjang benda. Karena itu, dalam konteks ilmu fisika dan teknik, kata “panjang” biasanya digunakan secara sinonim dengan “jarak”.

Jarak jauh antara titik atau ujung terbawah dan ujung teratas suatu benda secara vertikal merujuk pada kata tinggi. Jarak dekat antara titik terbawah dengan titik teratas suatu benda secara vertikal merujuk pada kata pendek.  Sebaliknya, jarak jauh antara titik awal/pangkal dengan titik akhir/ujung suatu benda secara horizontal  identik dengan kata panjang. Dan, jarak dekat antara titik awal/pangkal dengan titik akhir/ujung suatu benda secara horizontal identik dengan kata pendek.

Dengan demikian, “tinggi-rendah” itu berkaitan dengan jarak diukur secara vertikal (tegak) dan “panjang-pendek” itu berkaitan dengan jarak yang diukur secara horizontal. Untuk lebih jelasnya sebaiknya cermati ilustrasi berikut.

Sandro diminta agar mengukur tinggi dan panjang tiang bendera. Untuk mengukur dan mengetahui tinggi tiang bendera Sandro bisa memanjat tiang bendera yang berdiri tegak. Sebaliknya, kalau Sandro mengukur untuk mengetahui panjang tiang bendera maka Sandro harus mencabut tiang bendera itu dan meletakkannya secara horizontal di tanah.

Selain, tinggi, rendah, panjang, pendek kita jumpai pula penggunaan kata “dalam” yang berkaitan dengan ukuran ini. Saat banjir melanda, orang biasanya mengukur intensitas air yang memunculkan pasangan kata “tinggi-dalam”. Orang sering gunakan kata “dalamnya” air atau “tingginya” air saat banjir. Manakah yang benar?

Mengukur intensitas air saat banjir biasanya diukur dari permukaan air ke dasar air. Alat pengukurnya dimasukkan ke dalam air itu airnya memastikan kedalaman air. Jarang, mungkin aneh, kalau orang mengukur air banjir mulai dari dasar ke permukaan air. Mengukur kedalaman air itu sesungguhnya untuk mengetahui tingginya air. Karena hal itu dilakukan secara vertikal maka dalamnya air itu sama dengan tingginya air. Melihat proses mengukurnya maka yang benar adalah “dalamnya” air. Mengukur dari atas ke bawah (air) berkaitan dengan persoalan dalamnya. Sementara itu, mengukur dari bawah ke atas itu berkaitan dengan tingginya.

Mencermati penjelasan sebelumnya, kita mestinya membiasakan diri menggunakan “tinggi-rendah” dan “panjang-pendek” itu sebagai pasangan antonim yang benar. Memang kemungkinan kedengarannya aneh karena tidak lazim kalau dikatakan, misalnya, tubuh Andri lebih rendah dibandingkan dengan tubuh kakaknya. Kita lebih suka mengatakan tubuh Andri lebih pendek dibandingkan dengan tubuh kakaknya.

Perasaan ‘aneh’ karena tidak lazim itu kami alami ketika suatu kesempatan berkhotbah tentang tokoh Zakheus yang dikisahkan di dalam Injil (Lukas, 19,1–10). Saat berkhotbah tentang tokoh Zakheus yang dikisahkan sebagai orang bertubuh “pendek” kami ganti dengan kata “rendah”. Pada ayat 3 tertulis, “Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya “pendek”. Kata pendek dalam ayat ini kami ganti dengan kata “rendah”.

Setelah berkhotbah, di luar dugaan, ada beberapa orang yang menyatakan bahwa kata “pendek” yang diganti menjadi “rendah” itu kedengaran aneh karena tidak biasa.  Bagi mereka, ukuran karena kebiasaan itu harus menjadi patokan. Hal yang “tidak biasa” dianggap sebagai sesuatu yang salah. Tentu saja, ini cara berpikir yang menyesatkan. Kebiasaan tidak membenarkan apa yang salah. Justru sebaliknya, kebiasaan yang salah mestinya diperbaiki sesuai dengan ketentuan dan pedoman yang berlaku.

Mungkin memang awalnya terkesan aneh tetapi lama-lama menjadi kebiasaan yang benar. Pasangan kata “tinggi-pendek dan panjang-rendah” yang menjuduli ulasan ini jelas pasangan antonim yang tidak lazim dan tergolong aneh. Pasangan yang benar sebagai antonim adalah “tinggi-rendah dan panjang-pendek”. Lalu mengapa, orang berbadan “tinggi” harus diperlawankan dengan orang berbadan “pendek”? Bukankah yang benar itu rendah? Memang perlu dan masalah pembiasaan saja.

“Tinggi-rendah” hasil pengukuran secara vertikal dan “panjang-pendek” hasil pengukuran horizontal. Manusia yang masih hidup diukur secara vertikal mendapatkan pasangan antonim tinggi-rendah. Sementara itu, panjang pendek pasangan antonim yang digunakan untuk mengukur manusia yang tidur (atau tidur abadi alias mati).

Semasa hidup kita mengenal ukuran manusia yang tinggi dan rendah; begitu berstatus almarhum (mah) ukurannya menjadi panjang dan pendek. Jangan dibalikkan!

 

Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, simpulan, pergerakan, walau punBonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *