Terima Kasih: Banyak, Tinggi, Besar, Dalam

Avatar of Ditulis oleh Bonefasius Rampung
WhatsApp Image 2023 05 13 at 01.23.51 e1683912904469

Dalam kesempatan menghadiri berbagai acara selalu ada ucapan terima kasih dan ucapan permohonan maaf. Dalam pertemuan seperti itu, orang tidak terhindarkan dari interaksi berbahasa. Semua jenis pertemuan bertali-temali dengan tindak berbahasa.

Pemakaian kata “terima kasih”  dalam berbagai bentuk interaksi sosial biasanya dimaknai sebagai indikator keberbudayaan seseorang.  Berkebiasaan mengucapkan terima kasih dipredikati sebagai orang berbudaya karena kata ‘terima kasih’ diidentikkan dengan sopan-santun.

Sebagai ekspresi sopan-santun, kata ‘terima kasih’ selalu diucapkan. Kesempatan yang terbaik orang memakai kata ini adalah saat berpesta, hajatan yang dihadiri banyak orang. 

Ketika menghadiri sebuah yukuran,  kami pernah iseng menghitung frekuensi pemakaian ‘terima kasih’ ini, yang disampaikan ketua panitia. Banyak pihak disebutkan dan sepantasnya diingat dengan ucapan terima kasih ini. 

Mengejutkan, dalam rentang waktu 20 menit ketua panitia perayaan syukur menghabiskan waktu 13 menit  mengucapkan ‘terima kasih’ kepada semua pihak yang terlibat menyukseskan acara syukuran itu.

Rentetan terima kasih itu disampaikan bervariasi dan terkesan tidak terkendali. Ada kesan, rentetan ucapan terima kasih itu menjadi sesuatu yang biasa, spontan, dan mengalir begitu saja. Akibatnya, terima kasih bukan lagi ekspresi sopan santun tetapi bergeser arah menjadi sekadar basa-basi.

Mengapa? Pertama, frasa ‘terima kasih’ itu disampaikan berulang-ulang sehingga membosankan. Kedua, ‘terima kasih’ itu diembel-embeli kata sifat seperti besar, tinggi, dalam. Cermati empat contoh penggalan pemakaian bentuk ‘terima kasih’ yang diembeli kata tinggi, besar, dalam ini!

(a) kepada … kami sampaikan terima kasih setinggi-tingginya,

(b) untuk itu, kami lambungkan terima kasih sebesar-besarnya,

(c) kepada … juga kami tak lupa sampaikan terima kasih sedalam-dalamnya,

(d) dari hati yang paling dalam kami haturkan terima kasih setinggi-tingginya.

Pada empat penggalan tersebut, frasa ‘terima kasih’ yang diatributi kata sifat (adjektif) tinggi, besar, dan dalam dimunculkan sebagai bentuk yang telah melewati proses morfologis pengimbuhan (afiksisasi) dan pengulangan (reduplikasi).

Proses morfologis afiksisasi terjadi melalui penggunaan bentuk dasar kata sifat  (tinggi, besar, dalam) yang diulang disertai pelekatan konfiks se-/-nya sehingga muncul bentuk setinggi-tingginya, sebesar-besarnyasebesar-besarnya, dan sedalam-dalamnya.

Penambahan kata sifat dengan proses morfologis seperti  ini diucapkan berulang-ulang dalam suatu sambutan sungguh membosankan. Selain itu, bentuk-bentuk seperti ini perlu dicermati secara kebahasaan terutama terkait makna muatan dan niatan dalam bentuk-bentuk itu.

Makna penggunaan harus menjadi kriteria pertama dan utama karena berbahasa itu berkomunikasi dan berkomunikasi berkaitan dengan proses memaknai ujaran.

Membaca bentuk ujaran penggunaan ‘terima kasih’ yang diperluas seperti yang dicontohkan melahirkan pertanyaan: apa maknanya jika mengucapkan ‘terima kasih’ setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya?

Seberapa tinggi, seberapa banyak, seberapa dalam suatu ucapan ‘terima kasih’ itu? Setinggi, sebanyak, sedalam, dan sebesar apa ‘terima kasih’ itu?

Berhadapan dengan pertanyaan ‘nakal’ ini kita dipaksa menemukan makna ujaran itu. Dalam kesadaran mencari makna ujaran inilah tampak bahwa rumusan-rumusan seperti itu menurunkan derajat makna kata ‘terima kasih’ sebagai ekspresi keberadaban dan keberbudayaan seseorang melalui praktik berbahasa.

Lalu, bagaimana konstruksi  ‘terima kasih’ sebagai cerminan sopan santun itu ditempatkan pada makna sebenarnya? Jawabannya harus kembali pada praktik penggunaan kata itu dengan maknanya yang mencerminkan budaya, perilaku sopan-santun, dan bukan mengeksploitasinya dalam ujaran sekadar berbasa-basi.

Terima kasih itu jelas bukan basa-basi karena itu tidak perlu diembeli unsur penggusur makna.

Unsur yang lazim dan berterima untuk disandingkan dengan frasa terima kasih  adalah penggunaan kata sifat yang menyatakan kuantitas yakni kata ‘banyak’. Kita biasa berujar: “terima kasih banyak” atau “banyak terima kasih”.

Janggal jika  kita berujar atau menulis:

  • terima kasih tinggi atau tinggi terima kasih,
  • terima kasih besar atau besar terima kasih,
  • terima kasih dalam atau dalam terima kasih.

Bentuk bertanda bintang tidak sesuai  dan tergolong bentuk bahasa yang salah. 

Lalu, pilih yang mana?  Bentuk “terima kasih banyak” atau “banyak terima kasih”?

Keduanya berterima dan benar. Pilihannya bergantung pada unsur yang diutamakan, dipentingkan (topikalisasi).

Pada pilihan “banyak terima kasih”, yang dipentingkan adalah jumlah, sedangkan pada pilihan “terima kasih banyak”, yang dipentingkan adalah aksi, tindakannya.

Mengakhiri ulasan ini kami ucapkan, “banyak terima kasih”.

Editor: Redaksi KrebaDi’a


sosok romo bone e1683867442101

Bonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.