Petrus Selestinus Dorong Jurnalis Manggarai Timur Bersatu Bangkit Lakukan Somasi Balik

Avatar of Redaksi Krebadia
WhatsApp Image 2023 05 30 at 23.06.04 e1685465347527

DORONG SOMASI  — Petrus Selestinus, S.H., ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPID). Dia mendorong jurnalis Manggarai Timur mensomasi sekdinkes dan bupati Manggarai Timur.
FOTO: Antara

KrebaDi’a.com — Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, S.H. mendorong jurnalis di Manggarai Timur bersatu dan bangkit melakukan somasi kepada Sekretaris Dinas Kesehatan (Sekdinkes) Kabupaten Manggarai Timur Pranata Kristiani Agas (Ani Agas) karena sebagai pejabat publik yang bersangkutan menolak dikontrol.

Dihubungi KrebaDi’a.com,  Senin 29 Mei 2023, Petrus Selestinus mengatakan bahwa somasi yang dilayangkan Sekdinkes Ani Agas kepada jurnalis Damianus “An” Babur dari Indometro.id merupakan bukti bahwa si pejabat publik tidak mau diawasi oleh media sebagai wakil publik.

Menurut Selestinus, berita berupa video pernyataan Ani Agas kepada Kapolda NTT Johni Asadoma yang diunggah An Babur ke Tiktok merupakan berita yang berkenaan dengan urusan publik, melibatkan  pejabat publik, terjadi di ruang publik, di hadapan jurnalis pelayan publik.

“Kalau wartawan memberitakan yang sifatnya serba-publik, apa yang salah?” kata Selestinus.

Kalaupun peristiwanya  terjadi di ruang privat, kata Selestinus, lihat dulu konteksnya. Kalau  urusannya menyangkut publik, maka tidak ada yang salah bila wartawan memberitakannya.

“Jadi, kalau tidak mau dikontrol publik, jangan jadi pejabat publik!” kata Selestinus.

Menurut Selestinus, berita berupa video itu tidak ada unsur fitnahnya. Tidak ada unsur pencemaran nama baiknya. Tidak ada ujaran kebenciannya. Berita dalam video itu sesuatu yang faktual, apa adanya. Diunggah tanpa editan. Jadi, apa yang salah?

Menghadapi pejabat publik yang tidak mau dikontrol dan ketika dikontrol malah melakukan somasi, Selestinus mengingatkan jurnalis tidak boleh gentar. Kalau pejabat lakukan somasi, jurnalis harus somasi balik.

“Lawan somasi dengan somasi. Somasi balik, desak dia cabut somasinya dan minta maaf kepada jurnalis dan publik,” kata Selestinus.

Menjawab KrebaDi’a.com perihal kapasitas pensomasi dan tersomasi dalam urusan ini, Selestinus mengatakan kapasitasnya bukan pribadi ke pribadi, tapi profesi ke profesi, pelayan publik ke pejabat publik, jurnalis ke aparatur negara.

“Dalam konteks ini, yang patut turut disomasi oleh jurnalis Manggarai Timur adalah atasan si sekdinkes, dalam hal ini bupati Manggarai Timur,” kata Selestinus.

Tidak cukup hanya somasi, kata Selestinus. Sekdinkes itu perlu diadukan secara langsung ke Menteri Kesehatan di Jakarta.

Untuk itulah, kata Selestinus, jurnalis Manggarai Timur perlu bersatu, himpun kekuatan, lakukan perlawanan.

Diberitakan sebelumnya, lantaran merekam dan mengunggah di Tiktok video pernyataan Sekdinkes Ani Agas kepada Kapolda NTT Johni Asadoma, An Babur disomasi oleh Ani Agas. Dalam video itu Ani Agas menawarkan tanah-tanah puskesmas di Manggarai Timur kepada kapolda untuk dijadikan tempat pos polisi (pospol).

“Dia lancang!” kecam  Petrus Selestinus.

Perihal hibah atau jual beli aset daerah, semua sudah ada regulasi dan mekanismenya, kata Selestinus.

“Kalau polda butuhkan tanah, polda bisa minta kepada atau beli dari pemkab. Ada mekanismenya. Kalau bupati mau hibahkan tanah ke polres, juga ada mekanismenya. Itu urusan bupati dan kapolres, bukan urusan seorang sekdinkes,” kata Selestinus.

Diberitakan, memenuhi semua tuntutan Ani Agas dalam somasinya, An Babur sudah mencabut (take down) video dari akun Tiktok-nya. Sudah melakukan klarifikasi di media massa. Sudah pula menyampaikan permohonan maaf kepada Ani Agas lewat beberapa media.

WhatsApp Image 2023 05 30 at 23.03.32 e1685465366535

DUGAAN NIAT BUSUK — Markus Makur, jurnalis Kompas.com. Dia menduga ada niat busuk oknum Pemkab Manggarai Timur membungkam kebebasan berekspresi jurnalis An Babur.  
FOTO: Dok. Markus Makur

Jurnalis Belum Kompak

Dalam pengamatan KrebaDi’a.com, jurnalis di Manggarai Timur belum kompak dalam banyak urusan publik.

Untuk hal yang membutuhkan sinergi, terutama dalam mengontrol laku kekuasaan, banyak media berjalan sendiri-sendiri dengan agenda setting (pengaturan agenda) masing-masing.

Teori agenda setting ditemukan oleh Profesor Maxwell McCombs and Donald Shaw tahun 1968, lalu diperkenalkan ke publik tahun 1972.

Teori komunikasi massa ini berasumsi bahwa media memiliki kemampuan mentransfer isu kepada publik. Memilki kemampuan menentukan isu mana yang penting bagi publik. Dengan demikian, yang dianggap penting oleh media dianggap penting juga oleh publik.

Atas dasar teori ini, media penganutnya harus menentukan, dari sekian banyak isu (hal, peristiwa, masalah) di dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, beragama, berbudaya, mana yang penting dan diutamakan untuk dijadikan fokus berita.

Lazimnya, media penganut teori agenda setting selalu tematik pemberitaannya. Dalam durasi yang panjang, beritanya berfokus pada isu tertentu dengan sudut pandang (angle) yang berbeda-beda. Isu itu didalami lewat studi pustaka, penelusuran dokumen, wawancara, pengamatan lapangan, diskusi, sebelum digodok menjadi berita yang berkelanjutan, mendalam, lengkap, dan (harus) memikat.

Dengan metode kerja agenda setting seperti ini, akan lahir kesadaran masyarakat (public awareness). Kesadaran itulah yang nantinya akan membuahkan perubahan dalam hidup bernegara, bermasyarakat, beragama, berbudaya.

Sejauh kajian sementara KrebaDi’a.com, khusus di Manggarai Timur,  tidak adanya agenda setting bersama merupakan  salah satu sebab media di kabupaten ini meski banyak dan sudah lama berkiprah belum cukup andal menjadi agen perubahan.

Dalam kondisi seperti ini dorongan dari Petrus Selestinus agar jurnalis di Manggarai Timur bersatu dan bangkit melawan kesewengan penguasa bukanlah sesuatu yang mudah, meskipun tidak mustahil untuk dilaksanakan.

“Kalau mau jujur, jurnalis di Manggarai  Timur belum kompak,” kata Frans Anggal pemimpin redaksi KrebaDi’a.com.

Jangankan untuk agenda abstrak menyangkut pihak lain, kata Anggal, untuk agenda konkret menyangkut diri sendiri sebagai jurnalis saja kekompakan belum cukup terlihat.

“Buktinya dalam kasus jurnalis An Babur. Ada jurnalis yang  menganggap kasus ini kasus privat antar-dua pribadi An Babur vs Ani Agas. Bukan kasus seorang jurnalis vs seorang pejabat daerah,” kata Anggal.

Markus Makur jurnalis Kompas.com melihatnya dari perspektif lain. Yaitu dari penyikapan berbeda Sekdinkes Ani Agas tehadap jurnalis yang mengunggah video yang sama.

“Mengapa Andre (An Babur) saja yang disomasi, sementata wartawan yang unggah di Tiktok dan mempublikasikan berita itu, walaupun sudah di-take down, tidak disomasi oleh sekdinkes. Diduga ada niat busuk dan buruk untuk membungkam kebebasan berekspresi dari si Andre,” kata Markus Makur, Jumat 26 Mei 2023.

Diskriminasi yang disoroti Markus Makur memperlihatkan para jurnalis tidak seiring sejalan, alias tidak kompak.

Kenapa tidak kompak, karena dibuat tidak kompak oleh kekuatan dari luar. Caranya lewat kooptasi (penjinakan) yang sudah berlangsung lama dan bertahan karena saling menguntungkan.

Dalam atmosfer itulah kemudian kasus An Babur vs Ani Agas diperlakukan sebagai kasus privat (pribadi vs pribadi), bukan sebagai kasus publik (jurnalis vs pejabat pemerintah). Teori komunikasi mengenalnya dengan istilah framing.

Framing adalah pembingkaian sebuah peristiwa, yang menggambarkan cara pandang jurnalis atau media ketika menyeleksi isu dan menulis berita.

Dalam pembingkaian kasus tersebut sebagai kasus privat, An Babur dijadikan single wolf, serigala yang berjuang seorang diri. Sebagian samanya seprofesi, karena sudah lama miring ke sebelah, cuma menonton dari jauh. Begitulah kondisi di Manggarai Timur. Maka dorongan dari Petrus Selestinus agar para jurnalis bersatu dan bangkit melawan kesewenangan penguasa sangatlah relevan.

WhatsApp Image 2023 05 30 at 23.03.321 e1685465389340

TIDAK PERLU MINTA IZIN — Damianus “An” Babur, jurnalis Indometro.id. Sebagai jurnalis-cum-warga dia tidak perlu meminta izin merekam peristiwa yang sifatnya publik. 
FOTO: Dok. Andre Babur 

Jurnalisme Warga Pilar Demokrasi

Yang menyedihkan, kata Frans Anggal, bahkan media tempat An Babur bekerja pun terkesan memandang kasus yang menimpa jurnalisnya ini dalam bingkai yang sama, bahwa kasus ini seolah kasus pribadi An Babur vs Ani Agas.

Itu terlihat dari tidak adanya berita tentang somasi Ani Agas kepada An Babur dalam media tersebut. Padahal, seperti disampaikan An Babur kepada KrebaDi’a.com, dia sudah melaporkan kasusnya ke medianya dan mengirim kopian somasi.

Menurut Frans Anggal, saat merekam video yang kemudian viral itu An Babur adalah jurnalis dari sebuah media. Tindakannya merekam video saat itu adalah tindakan jurnalistik.

Rekaman video itu tidak An Babur kirim ke medianya karena medianya bukan portal TV online. Video itu dia langsung unggah ke akun pribadi Tiktok.

Mengunggah ke Tiktok itu sama dengan mempublikasikan, kata Anggal. Ini termasuk tindakan jurnalistik juga dalam apa yang dinamakan jurnalisme warga (citizen journalism). Jurnalisme warga menyata praktiknya dalam media sosial (medsos) Tiktok, Twitter, Facebook, Instagram.

“Banyak media online, media elektronik, bahkan media cetak merujuk bahkan mengutip unggahan yang ada di medsos, terlebih apabila unggahan itu jadi trending topic. Ini bukti pengakuan bahwa unggahan di medsos itu produk jurnalistik juga, bukan sekadar sampah di ruang publik,” kata Anggal.

Itu jugalah yang dilakukan An Babur sebagai jurnalis. Isi videonya yang sudah menjadi produk jurnalisme warga pada Tiktok itu dia ambil, dia olah jadi berita berupa teks digital, lalu dia kirim ke media tempat dia bekerja, dan dimuat. Judulnya, “Sekretaris Dinkes Manggarai Timur Ani Agas Menawarkan Tanah Hibah Masyarakat untuk Pembangunan Pospol kepada Kapolda NTT”.

Pertanyaan Anggal, mengapa media tempat An Babur bekerja yang telah memuat berita yang isinya sama dengan isi dalam video viral itu tidak disomasi oleh Ani Agas?

“Ini menguatkan dugaan Markus Makur bahwa ada niat busuk dan buruk untuk membungkam kebebasan berekspresi dari An Babur,” kata Anggal.

Jurnalis Markus Makur dan An Babur dalam surat terbuka permohonan maaf mereka yang dilansir KrebaDi’a.com tegas-tegas menyatakan bahwa jurnalisme warga sudah diakui sebagai pilar kelima demokrasi.

Markus Makur menulis, selain menjalankan tugas jurnalistik, sebagai warga (citizen) yang adalah jurnalis, dia menulis juga berbagai persoalan di Manggarai Timur di media sosial Facebook dan sebagainya.

Sebab dia tahu bahwa sebagai wartawan sekaligus warga negara, dia memiliki hak dan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat baik di media online tempatnya bekerja maupun di media sosial .

Dia memandang  publikasi di media sosial sebagai bentuk berdemokrasi.

“Kegiatan bermedsos telah melahirkan apa yang dinamakan jurnalisme warga (citizen journalism). Ini telah menjadi salah satu pilar demokrasi,” tulis Markus Makur.

An Babur  menulis, saat mengambil video percakapan Sekdinkes Ani Agas dan Kapolda NTT Johni Asadoma, dia benar-benar paham dan sadar dia sedang mengambil video yang subjeknya adalah dua pejabat publik (kapolda dan sedinkes). Keduanya bercakap-cakap tentang aset publik (tanah puskesmas yang ditawarkan untuk pembangunan pos polisi). Dan percakapan itu dilakukan di ruang publik.

Sebagai jurnalis yang melekat padanya juga status warga negara Indonesia ber-KTP Manggarai Timur, An Babur merekam peristiwa serba-publik itu tanpa perlu meminta izin kepada kedua pejabat publik.

Sebagai jurnalis dan warga (citizen) dia  berhak mengunggah rekaman peristiwa itu lewat platform medsos Tiktok.

“Di era digital, jurnalisme warga merupakan pilar kelima demokrasi,” tulisnya. Sudah umum diketahui, pilar demokrasi terdiri dari eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR, DPRD, MPR, DPD), yudikatif (kejaksaan, pengadilan), media cetak – elektronik – online, dan media sosial.

kapolda dan ani agas e1685466282265

SERBA-PUBLIK — Kapolda NTT Johni Asadoma dan Sekdinkes Manggarai Timur Ani Agas. Dua pejabat publik, berbicara di ruang publik, tentang hal publik, direkam oleh jurnalis pelayan publik.
FOTO: Dok. Andre Babur

Mindset Penyelenggara Pemerintahan

Dalam telaah KrebaDi’a.com, kasus jurnalis vs pejabat pemerintah yang terpersonifikasi pada diri An Babur vs Ani Agas bukanlah kasus baru di daerah yang masih megap-megap belajar berdemokrasi.

Tahun 2010, di Kabupaten Nagekeo, terjadi hal yang—tidak sama kasusnya dgn kasus An Babur vs Ani Agas, tapi—sama persis mindset oknum penyelenggara pemerintahannya.

Seorang staf Dinas Pekerjaan Umum (PU) mengancam dan memaki jurnalis karena memberitakan rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay, ibu kota Nagekeo (Flores Pos Rabu 24 Maret 2010).

Tidak seperti di Manggarai Timur yang solidaritas jurnalisnya belum kuat, di Nagekeo 13 tahun lalu itu Persatuan Jurnalis Nagekeo (PJN) mengecam tindakan si staf PU.

Mereka datangi kantor PU, minta klarifikasi. Mulanya si staf mengelak, tapi kemudian mengakui kesalahan dan minta maaf. Ini bedanya dengan di Manggarai Timur. Si oknum belum mengakui kesalahannya, belum minta maaf, langsung bikin somasi.

PJN mendesak Bupati Nani Aoh menindak tegas PNS staf PU itu secara adminstratif. Di Manggarai Timur, ini jadi soal: bisakah bupati menindak tegas putrinya sendiri?

Rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay itu mencuat di media pekan sebelumnya. Pemberitaan didasarkan pada pengaduan masyarakat Danga ke DPRD.

Intinya, belum sampai lima bulan, hasil proyek Rp5 miliar dari DAK 2009 itu sudah rusak. Jalannya retak-retak. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam, agar tampak seperti hotmiks.  

Masyarakat mengecam rekanan dan instansi teknis PU. DPRD kroscek ke lapangan. Terbukti, pengadukan masyarakat benar. DPRD pun memanggil kadis PU. Sang kadis mengakui mutu pengerjaan jalan itu buruk.

Jadi, yang diberitakan media tentang kasus di Mbay itu sebuah kebenaran faktual. Sama persis seperti yang divideokan An Babur di Borong. Sebuah kebenaran faktual.

Si staf PU di Nagekeo mengancam dan memaki jurnalis justru karena kebenaran itu disingkap. Sama persis, sekdinkes di Manggarai Timur mensomasi jurnalis justru karena kebenarannya disingkap.

Dalam kedua kasus ini, baik oknum penyelenggara pemerintahan di Nagekeo saat itu maupun di Manggarai Timur saat ini sama dan sebangun mindset-nya.

Kedua oknum penyelenggara pemerintahan menganggap penyingkapan kebenaran oleh media sebagai tindak kejahatan.

Karena itulah, di Nagekeo saat itu jurnalis dianggap wajar untuk diancam dan dimaki. Dan di Manggarai Timur saat ini jurnalis dianggap wajar untuk disomasi. 

Dalam optik sejarah jurnalisme, mindset para penyelenggara pemerintahan seperti ini ketinggalan kereta berabad-abad.

Mereka hidup saat ini di abad 21, namun mindset-nya masih menghuni rumah kuno, bahkan rumah hantu, awal abad 18, ketika baru seabad jurnalisme modern lahir di Inggris. 

Seperti ditulis Bill Kovach dan Thom Rosentiel (2001), pada saat itu, hukum adat Inggris berbunyi: kritik terhadap pemerintah adalah tindak kejahatan. Benar sekalipun, kritik itu tetaplah jahat.

Malah, semakin besar kebenarannya, semakin besar pula pencemaran nama baik yang ditimbulkannya. Mengapa? Karena kebenaran dianggap punya daya rusak yang lebih dahsyat ketimbang kesalahan.

Pada tahun 1720, dua orang dari sebuah surat kabar London, yang menulis dengan nama samaran Cato, memperkenalkan ide yang membalikkan dalil hukum adat Inggris itu.

Menurut Cato, kebenaran harus bisa menjadi pembuktian utama untuk menentukan sebuah pemberitaan itu pencemaran nama baik atau bukan.

Dari ide Cato-lah lahir dalil “Truth is the defense of libel“. Kebenaran merupakan pertahanan melawan pencemaran nama baik.

Konsep ini kemudian mengilhami lahirnya pers bebas di Amerika Serikat. Dalam konstitusi Negara Bagian Massachusetts kala itu, misalnya, pers bebas menjadi klaim pertama publik atas pemerintah mereka.

Artinya, kalau mau pemerintah diakui legalitas dan legitimasinya oleh rakyat maka persnya harus bebas. Jangan coba-coba ditekan. Kalau si oknum yang mensomasi jurnalis hidup di sana pada masa itu, sudah pasti dia dipecat dengan tidak hormat.

Dua abad kemudian, pengertian pers sebagai benteng kebebasan menyatu dalam doktrin hukum Amerika Serikat.

Di Indonesia, hukum adat Inggris awal abad 18 itu masih berlaku jelang akhir abad 20. Puncaknya, era Orde Baru. Kala itu, kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai tindak kejahatan.

Baru pada era Reformasi, dengan UU Nomor  40 Tahun  1999 tentang Pers, anggapan tersebut mulai terkikis. Namun, residunya masih melekat pada mindset banyak penyelenggara pemerintahan.

Contohnya, si staf PU di Nagekeo 13 tahun lalu, dan si sekdinkes di Manggarai Timur tahun 2023.

“Apa yang sudah menjadi masa lalu di Nagekeo, masih menjadi masa kini di Manggarai Timur. Betapa tertinggalnya!” kata Frans Anggal.

Editor: Redaksi KrebaDi’a.com