Prefiks Di-  dan Preposisi Di

Avatar of Ditulis oleh Bonefasius Rampung
pngtree dilarang parkir di depan pintu png png image 6093763 e1698411274951

Setiap kali membaca tulisan mahasiswa baik berupa lembaran jawaban ujian, naskah makalah, skripsi, maupun pengumuman tertulis yang dilekatkan pada tembok dan papan pengumuman hampir pasti tidak luput dari kesalahan berbahasa. Salah satu bentuk kesalahan yang dilakukan sebagian mahasiswa berkaitan dengan penulisan bentuk prefiks di- dan preposisi di.  

Salah satu contoh kesalahan berbahasa yang bisa dilihat hampir setiap hari adalah penulisan kata “*DI TUTUP” yang pernah dipajangkan di atas meja pelayanan peminjaman buku di ruangan perpustakaan Unika Santo Paulus Ruteng. Di sana kita bisa membaca pemberitahuan atau pengumuman pihak perpustakaan bahwa untuk sementara pelayanan berupa peminjaman dan pengembalian buku tidak dilakukan.  

Bentuk pemberitahuan dan pengumuman seperti itu dinyatakan secara tertulis : “PERPUSTAKAAN *DI TUTUP”. Pengumuman ini sebenarnya secara lengkap bisa ditulis, “Perpustakaan ditutup petugas, pelayan, karyawan” atau jika menggunakan bentuk aktif, “Petugas menutup perpustakaan”. Bentuk ditutup dan menutup merupakan bentuk yang benar. Pertanyaannya, “Mengapa penulisan “Perpustakaan *di tutup” itu salah?

Salah satu jawaban klasik yang biasanya disampaikan dalam nada enteng, “Ya, itu kan sudah menjadi kebiasaan”. Jawaban yang enteng dan tampaknya menyepelekan masalah seperti ini, jelas-jelas bukan jawaban yang sepatutnya diterima karena kebenaran tidak bisa dibenarkan hanya atas nama dan karena kebiasaan. 

Kebiasaan salah atau perilaku buruk dalam berbahasa tetaplah kesalahan. Tidak patut seorang manusia yang bisa berpikir dan mampu mengubah kebiasaan justru meneruskan dan mewariskan kebiasaan yang salah. Kebiasan salah dan perilaku buruk tetaplah buruk dan tidak bisa dihapus hanya karena hukum kebiasaan. 

Kebiasaan buruk dan kesalahan berbahasa harus dibenahi kalau benar ada niat dan harapan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bermartabat di kawasan ASEAN.

Kembali pada persoalan mengapa orang begitu latah menyamakan saja penggunaan dan penulisan prefiks di- dengan penggunaan dan penulisan preposisi di sesungguhnya lahir dari ketidaktahuan pemakai bentuk itu tentang kategori kata dalam bahasa Indonesia. 

Setiap bahasa, termasuk, bahasa Indonesia mengenal penggolongan atau kategori kata. Pengetahuan tentang kategori kata membantu pengguna bahasa ketika menulis dan menempatkan kata dalam suatu struktur kalimat (pola sintaksis). Pemahaman akan kategori kata membantu pengguna bahasa untuk menempatkan kata secara tepat sesuai dengan fungsi kata dalam struktur sintaksis. 

Verhaar (1996) mengaskan bahwa struktur kalimat yang terbentuk dari kata-kata menempatkan kata-kata itu dalam apa yang diistilahkannya kategori, fungsi, dan peran kata. Ketiga unsur ini penting diperhatikan dalam kaitannya memahami sebuah konstruksi sintaksis. Konstruksi, “Anjing menggigit kucing di halaman” misalnya dapat diuraikan berdasarkan kategori, fungsi, dan peran kata. 

Dari contoh itu secara kategori, anjing itu berkategori kata benda (nomina), menggigit itu berkategori kata kerja (verba), kucing itu kata benda (nomina), di berkategori kata depan (preposisi), dan halaman berkategori kata benda (nomina). 

Dilihat dari fungsi setiap kata dalam konstruksi sintaksis itu menduduki fungsi berbeda. Anjing sebagai nomina menduduki fungsi subjek, menggigit sebagai verba menduduki fungsi predikat, di sebagai preposisi belum menduduki fungsi sebelum ditempatkan di depan kata halaman sebagai nomina yang menjadikan frasa itu menduduki fungsi keterangan (tempat). 

Dilihat dari peran setiap kata, anjing berperan sebagai pelaku (agens/aktor), menggigit berperan menyatakan tindakan (aksi), kucing berperan sebagai penderita (pasien), dan di halaman menerangkan tempat (lokatif). 

Konstruksi “Anjing menggigit kucing di halaman” merupakan bentuk aktif yang bisa dipasifkan menjadi,”Kucing digigit anjing di halaman”.  Bentuk digigit adalah bentuk pasif dari verba yang menduduki fungsi predikat dalam kalimat tersebut. Dalam kalimat pasif ini ditemukan dua model bentuk di yaitu di- sebagai prefiks pada kata kerja pasif dan di sebagai kata depan (preposisi) yang berada di depan kata benda. 

Hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan cara penulisannya. Bentuk di- sebagai imbuhan awal (prefiks) disatukan dengan kata kerja (verba) yang menduduki fungsi predikat sedangkan di sebagai kata depan ditulis terpisah dari kata benda yang mengikutinya. Penggunaan di sebagai kata depan yang diikuti dengan kata benda (nomina) menjadikan gabungan itu menduduki fungsi keterangan tempat dalam konstruksi kalimat.

Berdasarkan penjelasan ini diketahui aturan dan kaidah kebahasaannya bahwa di- sebagai imbuhan selalu dilekatkan pada kata kerja (kategori verba) berbentuk pasif untuk predikat sebuah kalimat. Sementara itu, di sebagai kata depan dituliskan terpisah di depan kata benda (berkategori nomina) yang menduduki fungsi keterangan. 

Singkatnya, jika bentuk di diikuti kata kerja maka penulisannya disatukan dengan kata kerja yang dilekatisedangkan jika bentuk di diikuti kata benda maka penulisannya harus dipisahkan. Dengan demikian, bentuk di untuk pengumuman “PERPUSTAKAAN *DI TUTUP “merupakan bentuk yang salah karena kata “TUTUP” berkategoti kata kerja bukan kata benda. Penulisan yang benar adalah “PERPUSTAKAAN DITUTUP” 

Cara yang paling mudah untuk menentukan apakah itu prefiks (imbuhan) atau preposisi (kata depan) dengan menjawab pertanyaan apakah bentuk itu bisa diubah menjadi bentuk aktif (berimbuhan me-) atau tidak. Konstruksi ditutup itu ada bentuk aktifnya yakni menutup sedangan di tutup (tidak ada bentuk aktifnya). Karena itu, ditutup itu prefiks (dilekatkan pada bagian depan) sedangkan di tutup itu bentuk yang salah. 

Ulasan sederhana ini, hendaknya menjadi perhatian siapa saja yang menulis agar menulis secara sadar dan benar membedakan di- sebagai imbuhan dan di sebagai kata depan. Hanya dengan kesadaran dan niat untuk berubah, bertobat dari praktik berbahasa  yang salah seperti inilah niat, harapan, dan kerinduan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa bermartabat baik tingkat ASEAN maupun dunia internasional akan menjadi kenyataan. 

Jangan pernah mengharapkan bangsa lain yang memartabatkan bahasa kita, kalau kita sendiri menurunkan martabatnya dengan perilaku dan praktik berbahasa yang salah.Kesalahan seperti ini bayak mengotori media-media kita. 

Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, simpulan, pergerakan, walau punBonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.