Wisata Jurnalistik di Thailand (1): Nikmat di Mata, Siksa di Lidah

Avatar of Etgal Putra
IMG 7230 scaled e1685866868834

AL MEROZ BANGKOK — Saya dan istri saya Indah Jemidin, berfoto bersama di depan lobi hotel tempat kami bermalam. Nama hotelnya Al Meroz. Hotel ini terletak di Distrik Suan Luang, Bangkok Thailand.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

KrebaDi’a.com — Wisata jurnalistik saya di Thailand dilakukan bersama istri, Indah Jemidin. Dari Jakarta kami terbang bersama 400-an rombongan HWI.

Thailand adalah negara yang wilayahnya menyatu dengan Benua Asia. Praktis, pesawat terbang jadi pilihan utama jika kita ingin melancong ke sana.

Kami berdua terbang dari Bandara Soekarno Hatta (Soetta) Jakarta menggunakan maskapai Air Asia dengan tujuan Bandara Don Mueang Bangkok.

Ada beberapa maskapai yang punya rute langsung dari Soetta Jakarta menuju Don Mueang Bangkok. Salah satunya Air Asia.

Air Asia, maskapai milik Tony Fernandez, sudah cukup lama melayani rute Jakarta-Bangkok.

Saking populernya rute ini, pada tahun 2003 Air Asia Co Ltd bekerja sama dengan Shin Corporation dari Thailand membentuk satu anak maskapai lagi yang bernama Thai Air Asia.

Thai Air Asia melayani rute domestik Thailand dan negara tetangga seperti Kamboja, Vietnam, Malaysia hingga China.

Perjalanan udara dari Jakarta menuju Bangkok berlangsung kurang lebih tiga setengah jam.

Terbang ke Bangkok itu waktu tempuhnya sama seperti Labuan Bajo ke Jakarta.

Kami mendarat di Bangkok sekitar pukul 19.00. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok. Kedua ibu kota ini masih berada dalam zona waktu yang sama.

IMG 7967 scaled e1685862299296

DON MUEANG AIRPORT — Don Mueang adalah bandara pertama sekaligus tertua di Thailand.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Ada enam bandara internasional di Thailand. Dua di antaranya berlokasi di Bangkok.

Yang pertama, bandara Suvarnabhunmi yang berada di timur kota Bangkok. Bandara ini diresmikan tahun 2006.

Suvarnabhunmi memliki arti yaitu Tanah Emas dalam bahasa Thai.

Yang kedua adalah Bandara Don Mueang. Bandara ini jadi bandara pertama di Thailand dan mulai beroperasi sejak 27 Maret 1914, atau sekitar 109 tahun yang lalu.

Bandara Don Mueang dimiliki oleh Angkatan Udara Kerajaan Thailand dan dikelola oleh Airport of Thailand PCL, sebuah perusahaan yang mengelola transportasi udara Thailand. Serupa dengan Angkasa Pura di Indonesia.

Meski dibangun 109 tahun yang lalu, tidak ada satupun tanda bahwa ini adalah bandara tertua di Thailand. Semuanya tampak modern dan terawat dengan baik.

IMG 7194

GERBANG IMIGRASI — Pelayanan imigrasi Bangkok ramah dan care pada wisatawan asing
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Setelah mendarat, kami masuk melalui pintu kedatangan internasional kemudian diarahkan untuk menuju gerbang imigrasi.

Pelayanan imigrasi Bangkok ramah dan care pada wisatawan asing.

Mereka melayani setiap wisatawan dengan baik, menggunakan bahasa Inggris baku dan mudah dipahami.

Bagi Pemerintah Thailand, keramahan adalah kunci utama untuk membuat wisatawan betah di Thailand.

Bagaimana tidak, sektor pariwisata menempati peringkat kedua bagi pemasukan negara setelah sektor industri.

Untuk tahun 2022 saja, sektor pariwisata sendiri menyumbang sekitar 16 milyar dollar bagi kas negara. Jika dikonversi ke rupiah, nilainya kurang lebih mendekati 250 triliun rupiah.

Pemerintah Thailand tentu tidak ingin kehilangan uang sebesar itu hanya karena hal konyol seperti petugas bandara atau imigrasi yang tidak bisa tersenyum.

Thailand memudahkan sekaligus memanjakan siapa pun yang berkunjung pasca-pandemi Covid 19.

Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Pemerintah Thailand sejak 2020 untuk merangsang pertumbuhan sektor wisata yang sempat ambruk hingga 95% pada tahun 2020.

Ada kebijakan seperti program Rao Tiew Duay Gun (We Travel Together) pada tahun 2020 di mana pemerintah mensubsidi total enam juta kamar hotel hingga 40% harga normal.

Selain itu, ada juga kebijakan Phuket Sandbox pada tahun 2021 yang bertujuan merangsang minat pelancong asing dengan berbagai diskon dan aturan karantina yang ketat namun tetap rasional.

Berbeda jauh dengan Indonesia, tidak ada kebijakan menginstal aplikasi apa pun yang membuat repot para pelancong.

Serapan vaksin yang tinggi juga jadi alasan pemerintah thailand untuk membuka pintu masuk selebar-lebarnya.

Covid 19 seolah tidak pernah hadir di thailand.

Swadhii Krap, Saya Kun Arun

Tepat sebelum pintu keluar imigrasi, kami sudah ditunggu oleh pemandu lokal kami.

Namanya Kun Arun.

Kun adalah sapaan bagi laki-laki Thailand. Sama seperti Mas bagi Orang Jawa atau Kraeng bagi orang Manggarai.

Kun Arun asli Bangkok. Sudah tiga belas tahun ia jadi pemandu wisata. Bahasa Indonesianya fasih, lengkap beserta dialeg Jakarta yang tidak terdengar kaku di telinga.

Kalau dilihat sekilas, penampilan Kun Arun terlihat seperti mayoritas orang Indonesia Timur. Posturnya tinggi, kulitnya kecokelatan, rambutnya ikal dan dipangkas cepak.

Pertama kali mendengar dia berbicara, saya tidak akan menyangka kalau dia asli Thailand.

Arun bercerita, mengucapkan kata yang mengandung huruf “r” adalah momok bagi orang Thai yang ingin belajar bahasa indonesia.

Saat belajar mengucapkan semua kata yang memiliki huruf “r”, Arun bercerita dia menghabiskan waktu sampai tiga bulan.

“Semua kata Indo mungkin bisa diucapkan oleh orang Thai, tapi tidak semua orang Thai yang belajar bahasa Indo bisa bilang ‘er’. Saya sendiri sampai tiga bulan belajar ngomong ‘er’,” kata Arun.

IMG 7517 scaled e1685862476717

KUN ARUN — Kun adalah sapaan bagi laki-laki Thailand. Kun Arun menjadi pemandu, sumber informasi sekaligus teman merokok selama di Thailand.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Menurut Arun, pelancong berpaspor hijau Indonesia adalah tamu idaman setiap tour guide di Bangkok.

“Kalau saya selama tiga belas tahun jadi guide, saya senang kalau ditunjuk oleh kantor untuk jadi guide tamu dari Indo. Orang Indo selalu asyik. Saya seperti lagi jalan-jalan bersama keluarga sendiri,” kata Arun.

Dari bandara, kami dipandu menuju hotel tempat kami bermalam.

Nama hotelnya Al Meroz.

Ini adalah hotel bintang empat yang jadi favorit tamu dari Indonesia.

Desainnya megah ke arab-araban dan didominasi oleh warna emas dan cokelat tua.

Lobi utama hotel ini luasnya sekitar 50 x 50 meter persegi. Lantai marmer mengkilap bercorak kuning gading dan cokelat muda memenuhi seluruh lobi.

Ada empat tiang penyangga utama di lobi. Enam buah lukisan berukuran jumbo digantung di dinding, tepat di bawah sofa kulit yang ukurannya seperti tempat tidur orang dewasa.

Banyak bunga segar ditata dalam vas keramik seukuran ember 10 liter dan ditempatkan hampir di setiap titik dalam lobi. Mulai dari pintu masuk, sudut ruangan, di samping sofa, di atas meja sofa, di meja lobi bahkan di depan lift.

Bunga didominasi oleh Anggrek ungu dan putih, Lili kuning dan putih serta Mawar merah dan putih.

IMG 7219

LOBI AL MEROZ — Al Meroz adalah hotel bintang empat yang jadi favorit tamu dari Indonesia.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Saat masuk kamar, suasananya tidak jauh berbeda dengan lobi. Mewah dan cerah.

Ranjangnya king size, ada smart tv 40 inch diletakkan berhadapan langsung di depan ranjang. Internetnya 100Mbps, dan kamar mandinya dilengkapi bathtub.

Setelah menyimpan koper dan turun ke lobi untuk makan malam, saya iseng bertanya pada Arun soal berapa sih biaya menginap semalam di Al Meroz.

“Kalau kamar yang Bapak tempati itu harganya 3.800 bath semalam. Itu sudah termasuk sarapan dan self service seperti kopi, cemilan, dan apa pun yang disediakan hotel di dalam kulkas,” katanya.

Nilai 3.800 bath kalau dikonversi ke rupiah dengan kurs 450 rupiah/bath, maka biaya menginap untuk satu malam di hotel ini kurang lebih 1.710.000 rupiah.

IMG 7897

KAMAR AL MEROZ — Suasana kamar di hotel Al Meroz. Nyaman, lengkap dan menyenangkan.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Kasus Lidah Indonesia

Saya pencinta kuliner. Kanal yang mengulas soal masakan di Youtube jadi tontonan wajib kala senggang.

Ada beberapa kanal Youtube yang jadi favorit saya. Guga Food untuk steak. Tasty untuk beragam menu terkenal dari seluruh dunia, serta Food Insider kalau kepo soal gimana makanan dibuat.

Sewaktu diberi tahu oleh istri bahwa kami berdua mendapat dua tiket dari HWI perusahaan tempat dia bekerja untuk jalan-jalan gratis ke Thailand, maka sekejap kolom pencarian di Youtube saya penuh dengan pencarian apa saja menu masakan Thailand.

Saya penasaran. Dilihat dari video yang saya tonton, Thai food terlalu menarik untuk tidak dicoba.

Berbagai jenis seafood, ayam serta sapi diolah dengan rempah asing yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.

Thai food identik dengan kombinasi warna yang memanjakan mata. Cabai merah, sayuran hijau, paprika kuning, bawang bombai yang dirajang kasar, lalu diguyur saus berwarna emas kecoklatan. Terlihat benar-benar sedap!

Saya penasaran untuk mencicipi racikan bumbu yang menurut Arun diwariskan turun-temurun selama beberapa dinasti.

“Satu dinasti itu periodenya bisa ratusan tahun. Jadi Pak bayangkan saja sudah berapa lama masakan ini menyatu dengan lidah orang Thai,” kata Arun.

Mendengar penjelasan Arun yang antusias menjawab pertanyaan saya soal kuliner Thailand, saya pun makin tak sabar menunggu jam makan malam tiba.

Pukul 19.30 kami diarahkan menuju restoran di seberang lobi Hotel Al Meroz.

Restorannya unik, karena letak dapur tepat berada di samping pintu masuk.

Praktis, semua kegiatan koki dapat saya lihat saat berjalan menuju meja makan.

IMG 7220

RESTORAN AL MEROZ — Restoran Al Meroz menyajikan bukan hanya masakan khas Thailand, namun hampir semua jenis menu dari berbagai negara.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Saat para tamu lewat, para koki seperti sudah paham apa saja atraksi yang harus mereka tampilkan.

Mulai dari mengeluarkan jurus memotong wortel dengan cepat dan tanpa melihat, hingga jurus pamungkas yang dalam dunia dapur profesional disebut flambe.

Flambe adalah teknik “membakar” makanan dengan cara menuangkan cooking wine, sejenis anggur dengan kadar alkohol sedang.

Melihat effort yang ditampilkan koki, saya makin yakin kalau makan malam ini akan spesial dan berkesan.

Tiba di dinner hall, ternyata hidangan sudah ditata rapi di atas meja.

Kami diarahkan oleh Arun untuk duduk mengelilingi meja bundar besar dengan kapasitas delapan kursi per meja.

Untuk menu malam itu, hidangan yang disajikan adalah ikan bumbu, tom yum, ikan asin, sup ayam, beberapa jenis sambal, beberapa jenis bumbu tabur serta telur dadar yang diameternya kurang lebih 40 senti meter.

Saya dan istri saling bertukar pandang. Kenapa harus ada telur dadar saat makan malam pertama di Bangkok.

“Telur dadar adalah menu khas Thai ya Bapak Ibu. Jadi kalau di Indo Bapak Ibu makan telur dadar saat istri lagi malas memasak, di sini telur dadar dihidangkan sebagai menu utama,” kata Arun setelah melihat ekspresi keheranan kami.

IMG 7567

TELUR DADAR — Telur dadar jadi menu utama dalam kuliner Thailand.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Makan malam pun dimulai. Saya dengan antusias mulai memindahkan lauk dari piring saji ke dalam piring makan yang sudah diisi sesendok nasi hangat.

Saya sengaja hanya mengambil sedikit nasi, agar tersedia ruang yang cukup dalam perut untuk diisi oleh berbagai lauk yang menggoda mata.

Setelah mengucapkan doa dan kalimat selamat makan kepada teman semeja, saya dengan percaya diri memulai suapan pertama.

Duar!!!

Berbagai kombinasi rasa menyerang papil lidah saya. Spontan dan tanpa tunggu waktu lama.

Apa ini? Saya membatin terkejut, lidah saya meronta.

Bayangkan saja, rasa asin yang sedikit dominan diikuti rasa asam yang mengisi seluruh rongga mulut, dan ditambah rasa pedas dari cabai segar.

Semua ekspetasi saya pada Thai food spontan meredup.

Terngiang testimoni food vloger yang saya tonton sebelum tur ke Thailand.

Mereka selalu melabeli Thai food dengan kata “Man, this is so refreshing” atau “Damn! My mouth so full of flavor”.

Tentu setelah mendengar testimoni mereka, siapa pun pasti tergoda dan penasaran ingin mencoba. Termasuk saya. Dan kini, saya menyesal menonton review mereka soal masakan Thai.

Jika dipikir lagi, masakan bule bumbunya rata-rata cuma garam, lada, dan rempah sederhana seperti oregano dan thime.

Jadi tidak heran saat mereka mencicipi masakan Thailand, mereka menemukan rasa baru yang belum pernah mereka kecap sebelumnya.

Sedangkan saya sebagai orang Indonesia, punya lidah yang terbiasa dimanja oleh bumbu yang gradasi rasanya tidak tumpang tindih, namun berjalan selaras sejak ujung hingga pangkal lidah.

IMG 7572

MAKAN MALAM — Bersama istri mencicipi kuliner khas Thailand.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Selesai makan malam, saya mencari Arun. Dia sedang duduk di teras restoran sambil mengobrol dengan beberapa peserta tur lain. Saat saya hampiri, ia tersenyum.

“Bagaimana Thai food Pak? Cocok?” dia bertanya.

“Cocok apanya Pak. Rasanya cuma asin, asam, dan pedas. Berminyak pula,” saya menjawab.

Sambil tertawa Arun bercerita kalau reaksi itu sudah sering ia terima dari orang Indonesia yang pertama kali mencoba Thai food.

Arun menjelaskan bahwa karakter makanan Thai memang seperti itu. Orang Thai sangat suka rasa asin, pedas, dan sedikit asam.

Rasa asam khas Thailand terdapat dalam berbagai jenis masakan. Baik yang berkuah maupun masakan yang ditumis. Rasa asam ini kebanyakan berasal dari tamarin atau buah asam.

“Kenapa harus asam? Ya orang Thailand sukanya seperti itu. Nanti kalau Pak Etgal sudah tinggal setahun di Bangkok, pasti akan suka,” jelas Arun.

Menurut Arun, ciri khas makanan Thailand sebenarnya tidak berbeda jauh dengan masakan asli Indonesia, yakni banyak menggunakan rempah.

Bumbu dan rempah yang digunakan pun cukup beragam. Mulai dari lengkuas, jahe, ketumbar, serai, jeruk, cabai, dan berbagai jenis daun aromatik.

IMG 7568

TOM YUM — Tom yum adalah sup yang berasal dari Thailand. Sup ini merupakan salah satu makanan Thailand yang terkenal. Di Thailand, tom yum biasanya dibuat dengan udang, ayam, ikan, atau makanan laut yang dicampur dan jamur. Tom berarti mendidih, dan Yum berarti sayur.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Selain untuk menambah cita rasa masakan agar jadi lebih enak, rempah biasanya sengaja digunakan untuk menghilangkan bau amis masakan.

“Kalau ke Thailand ya harus coba seafood. Seafood itu harus pakai saus asam pedas. Makin asam dan pedas, makin nikmat,” jelas Arun.

Perbincangan kami soal makanan pun terhenti karena seorang peserta tur menghampiri untuk meminjam korek api.

Setelah orang itu pergi, Arun mengajak saya berjalan menuju parkiran mobil.

“Pak Etgal merokok kan? Kalau mau merokok, jangan disini. Nanti kita kena denda. Kita merokok di parkiran saja,” kata Arun.

Saya menyambut ajakannya tanpa banyak komentar, mengingat sejak check in di Soekarno Hatta saya sama sekali belum merokok. Enam jam tanpa rokok saya rasa sudah cukup menyiksa.

“Di sini memangnya tidak ada smoking area Pak?” tanya saya.

“Dulunya ada, tapi sekarang smoking area sudah dilarang oleh pemerintah. Nanti saya cerita sampai di parkiran. Ayo kita ke sana,” ajak Arun. (Bersambung)

Baca Selanjutnya: Wisata Jurnalistik di Thailand (2): Merokok di Dalam Rumah Setara dengan KDRT

EDITOR: Redaksi KrebaDi’a.com