PADA PIPI
pada lesung pipimu aku melukis rindu
seperti halnya bulir embum memberikan tekstur pada daun
sejukkkk, sejukkkkk
kesegaran di bumi adalah rona pipi lesungmu
kadang aku melupakannya seperti halnya kelelawar melengket pada pohon besar
sambil bergumam bahwa rasamu dan rasaku sesungguhnya kembaran
PADA GUNUNG
pada gunung aku ingin berguru
tentang menyimpan dan merawat rindu bertahun-tahun
tentang kepundan yang mengandung magma
ialah rindu yang disimpan
yang tahu kapan saatnya bicara
yang tak pernah berontak pada waktu yang memendamkannya
PADA PULAU
pada pulau tanpa penghuni
aku melihat partitur nada pada hamparan pasir
ketika buih-buih perak berkejaran dengan gelombang lunak
rinduku padamu segera menyeberang melibas dinding-dinding samudera
pada sunyi di pulau tanpa penghuni
awan-awan dan ikan membentuk komposisi
pada mereka aku belajar bahwa alam semesta adalah orkestra sunyi
PADA JARAK
pada jarak yang terbentang
engkau dan aku jauh dalam raga
bersemai di antara kita bunga-bunga karang yang mengembus aroma kasih
isyarat kasih yang selalu mengalir
pada air yang jernih mengelilinginya
aku belajar bahwa sentuhan-sentuhan bunga karang pada tumit
adalah ungkapan yang hanya bisa kumaknai saat engkau dan aku berjauhan satu sama lain
cita-cita kita menyentuh kaki langit tidak mati
PADA SENJA
aku takjub pada senja
yang memainkan gradasi di antara taram dan terang
gumpalan awan tebalnya, kukira adalah hujan yang telah menggenangi matamu
dan halilitar ini, kukira adalah gema ke udara senja
benar-benar merangsek rindu untuk terlampiaskan bersamamu
pada senja aku terperangah
betapa ia telah menciptakan komposisi merdu
menjadi lagu yang mengendalikan badai di laut
aku menduga senja-lah yang berada di belakang rembang petang yang redup
PADA KABUT
pada kabut yang mengelabu
aku menduga ia menenangkan pikiranmu
padahal kerinduanmulah yang menjadikan semesta hening
merajut peristiwa-peristiwa kita yang warna-warni
PADA TUBUH
pada tubuhmu aku telusuri setiap ceruk tebing karang
untuk merasakan cinta yang sering menjelma api
untuk memadamkan birahi yang selalu membuatku terpana
untuk menjelajahi kemolekanmu dengan jiwa telanjang dan hati bening
untuk merasakan keajaiban getaran-getaran rasa
akhirnya aku paham bahwa keindahanmu tak harus kasat mata
dengan mata terpejam, kumasuki belantara yang bernama tubuhmu
akhirnya aku tahu
bahwa engkau adalah engkau
PADA ANGIN
pada angin yang berembus kencang
aku belajar betapa ia meniup perahu kertas sampai lupa jalan kembali
tidak, kataku kepada angin
aku tidak ingin seperti angin
aku hanyalah kertas terang dan putih
tempat menulis kisah senang dan sedih
PADA BULAN
wajahnya yang bundar menyinari gubug-gubug gelandangan
di kota metropolitan
dan lapak-lapak kaki lima
di emperan jalan ibu kota
sinar itu datang dari bulan
yang terbit dari lautan
pada bulan, aku berkaul:
untuk selalu berkemilau
agar rasamu bergetar sepanjang waktu
PADA MALAM
rintik hujan di kesunyian malam
membasuh wajahku dalam senyap
merembes dalam kesepian
pada malam, aku belajar bahwa di antara air hujan, terselip air mata
mengalir pelahan di antara kedua pipiku
hingga pengujung dagu
Baca juga artikel terkait NARASI PUITIK atau tulisan menarik Gerard Bibang lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com
Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.