Bentuk Kecolongan

bentuk kecolongan
FOTO: (aplikasi-indonesia.com)

Dalam berbagai peristiwa yang mengejutkan, yang tidak diharapkan terjadi, biasanya muncul kata “kecolongan”. Penggunaan kata ini bisa disimak pada kalimat (1) s.d. (5) berikut.

  1. Polisi Hutan kecolongan sehingga banyak warga menebang kayu di hutan.
  2. Setiap pembicara diingatkan agar tidak kecolongan berbicara soal politik.
  3. Satpam kampus kecolongan ketika seorang penjual memasuki kampus.
  4. Personel polisi dinilai kecolongan dalam pengamanan kasus perkelahian itu.
  5. Pak Kades kecolongan sehingga seakan berkampanye saat membagi bansos.

Kelima kalimat di atas memuat kata “kecolongan”.  Jika pembaca mencermati penggunaan kata “kecolongan” pada kalimat-kalimat tersebut, maka secara akal sehat pembaca bisa menafsirkan makna kata “kecolongan” dalam konteks kalimat berarti kurang awas, kurang cermat, kurang waspada, lalai. Pemakanaan dan interpretasi makna kata “kecolongan” seperti ini tentu saja dipertanyakan jika dikaitkan penggunaan kata yang sama seperti pada salah satu teks berita yang termuat pada Tribunnews.com edisi 2 April 2024. Dua judul berita yang dilansir media Tribunnews.com ini tampak pada kalimat (6) dan (7) berikut,

6. “Terekam Santainya Fadhil Ashari Masukkan Uang Curian ke Tas, Hotman Paris Kecolongan Ratusan Juta”.
7. “Sibuk Urus Sengketa Pilpres, Ternyata Uang Ratusan Juta Dicolong Karyawan”,

Dua judul berita ini masing-masing memuat kata, “Kecolongan” dan “Dicolong”. Pemaknaan kata “kecolongan” dan “dicolong” pada dua kalimat ini tentu tidak sama dengan interpretasi pemaknaan kata yang sama  seperti pada kalimat (1) s.d. (5). Perbedaan pemaknaan seperti ini memaksa kita untuk merunut asal-muasal kata tersebut.

Baik kata “kecolongan” maupun kata “dicolong” dibentuk dari bentuk dasar “colong”. Kata colong, mencolong berkategori  kata kerja (verba) yang secara leksikal berarti curi, mencuri. Bentuk colong dapat dijadikan dasar pembentuk kata kecolongan atau bentuk lainnnya seperti mencolong (perbuatan), pencolongan (proses mencolong),  colongan (hasil peerbuatan mencolong), pencolong (orang atau pelakunya). Jika diparalelkan makna dengan kata dasar curi maka akan muncul mentuk mencuri, pencurian, curian, pencuri.

Kata “colong” merupakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki asal-usul yang menarik. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Jawa dengan bentuk aslinya “colog”. Dalam bahasa Jawa, “colog” bermakna mencuri atau mengambil sesuatu secara diam-diam atau tanpa izinan.

Adopsi kata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia bukanlah hal yang tabu dalam rangka pemerkayaan kosa kata bahasa Indonesia sekaligus pemartabatan bahasa daerah. Mengadopsi kata dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya biasanya diikuti dengan proses adaptasi. Adopsi dan adaptasi unsur asing dalam bahasa merupakan fonemena umum dalam perkembangana bahasa.

Proses adopsi biasanya dilakukan dengan mengambil kata-kata atau unsur-unsur lain dari suatu bahasa asing tanpa mengalami perubahan bentuk dan makna. Selanjutnya, adaptasi dilihat sebagai proses mengambil unsur bahasa asing sambil menyesuaikannya dengan kaidah fonologis, morfologis, dan sintaksis bahasa Indonesia.

Hal yang sama terjadi dengan kata “colong” yang diadopsi atau dipinjam dari kata bahasa Jawa “colog”.  Adopsi kata “colog” ini kemudian diikuti dengan proses adaptasi fonologis dan morfologis.  Dalam proses adaptasi ke dalam bahasa Indonesia, terjadi perubahan bunyi dari “colog” menjadi “colong”. Perubahan bunyi ini merupakan salah satu ciri yang bisa ditemukan dalam proses peminjaman kata antarbahasa.

Adaptasi fonologis (bunyi) dan morfologis (bentuk kata) tidak mengubah makna dasar kata yang diadopsi dan diadaptasikan ini. Penyisipan bunyi /n/ pada bentuk “colog” menjadi “colong” dikategorikan sebagai salah satu bentuk gejala bahasa berupa penambahan fonem. Penambahan dimaksud bisa pada bagian awal bentuk dasar (disebut protesis), tengah (disebut epentesis), dan akhir (disebut paragog).

Perubahan bentuk “colog” menjadi “colong” dikategorikan sebagai gejala epentesis. Epentesis adalah pristiwa penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata, terutama kata serapan dalam rangka penyesuaian pola fonologis bahasa peminjam, tanpa mengubah makna dasar kata yang dipinjam.

Dalam penggunaan sehari-hari, kata “colong” digunakan untuk menyatakan tindakan mengambil sesuatu secara tidak sah atau tanpa izin, sering kali berkonotasi negatif terkait dengan kecurangan atau pelanggaran terhadap hak orang lain. Dalam konteks bahasa masa kini, penggunaan kata “colong” masih sering digunakan dengan makna yang serupa seperti dalam bahasa Jawa aslinya, untuk menyatakan tindakan mengambil sesuatu secara diam-diam atau tanpa izinan.

Dalam perkembangannya kata “colong” juga “seolah-olah” telah mengalami perluasan makna dan penggunaan dalam berbagai konteks. Penggunaan di luar konteks makna dasarnya sering membingungkan. Penggunaan kata “kecolongan” yang jauh dari pengertian dasarnya terlihat dalam penggunaannya pada beberapa kalimat (1) s.d. (5) yang dicantumkan sebelumnya. Kami menggunakan terminologi “seolah-olah” karena hingga saat ini kamus memuat kata “colong” dengan makna curi;  mencolong bermakna mencuri, kecolongan bermakna kecurian.

Dengan penjelasan seperti ini, dapat dipastikan bahwa penggunaan bentuk “kecolongan” pada kalimat (1) s.d. (5) sebagai penggunaan yang (belum?) tepat sejauh bentuk dasar “colong” hanya bermakna curi, mencolong berarti mencuri.