Dari Paket Komplet hingga Sang Resonans

Mengenang Dua Tahun Henri Daros SVD

Avatar of Gerard Bibang
sang resonans,

Sependek pengenalan saya, P. Henri Daros SVD adalah satu dari sedikit imam biarawan Serikat Sabda Allah (SVD) yang (maaf) saya sebut ‘paket komplet’. Ibarat komputer, software dan hardware, amat pas, konek, korespon, nyambung, dan klik.

Komplet karena semuanya ada dalam satu orang. Intelektual, cerdas, iyah, seni musik (gitaris, jazz), bola kaki cantik, iyah, komponis, iyah, antara lain: lagu “Engkaulah Imam Abadi secara Melkisedek”, sebuah lagu khas yang dinyanyikan secara megah setiap hari Kamis Putih dulu di Kisol. Ini untuk menyebut satu dari lagu-lagu ciptaannya.

Selain itu, dia adalah dirigen andal, orator berbahasa Indonesia lancar dan sistematis. Oral dan tulisan sama indahnya, sama lancarnya. Sebagaimana sama fasihnya dia dalam English, Italia, Jerman, dan tentu Jepang.

Mungkin dia satu-satunya imam SVD (mohon dikoreksi kalau keliru) yang selama dua tahun studi di Roma menyabet dua gelar S2: komunikasi massa dan misiologi.

Berbicaranya selalu  terukur. Tenang dan tidak tergesa-gesa. Logis dan sangat tertata. Keterukuran serupa terlihat pada tulisan-tulisan dan postingannya di Facebook.

Dari sisi human? Sangat kentara. Sapaan personal selalu ada. Dia mengenal nama-nama muridnya di Kisol. Karena saya bukan muridnya maka saya selalu disapa dengan nama kakak saya John Kadis, muridnya. Barulah disapa nama saya, Gerard. Kadang disebutnya barengan, kadang susulan. Tapi konsisten, rutin dan selalu.

Saya berpikir, mungkin inilah cara Pater Henri ingin menyapa kami berdua sekaligus. Sebuah bentuk kasih sayang yang khas dan tak terlupakan.

Atau, dan ini refleksi saya kemudian dan belum pernah saya sampaikan kepadanya, dengan menyebut dua nama sekaligus atau susulan, Pater Henri dengan kebeningan jiwa dan cintanya, selalu melihat dalam diri saya tak pernah an sich. Tak pernah tunggal. Tapi selalu melihatnya sebagai pantulan dan gambar yang selalu terhubung dengan yang lain, dengan yang tak tampak. Artinya, sesosok orang atau benda tak pernah ada an sich dan untuk dirinya sendiri. Hanya selalu bermakna dalam korelasi.

Menurut saya,  tingkat perilaku seperti ini hanya bisa keluar dari beningnya cinta dan sanubari. Saya happy dengan sapaannya dan memang demikianlah kami berdua, adik kakak, satu adanya. Kesatuan itu selalu kembali disegarkan oleh setiap kali dia menyapa.

Aplaus

Ketika dia mewakili penerbit Nusa Indah Ende untuk pameran buku internasional dan bergengsi (Buchmesse) di Frankfurt tahun 1995 (atau 1996, lupa), saya datang dari Koeln untuk menemuinya.

Seperti diketahui, pameran buku Frankurt adalah perhelatan buku tahunan dan paling bergengsi sedunia. Selain Frankfurt ada juga Buchmesse Leipzig dan Duesseldorf tapi kelasnya masih di bawah Buchmesse Frankfurt.

Singkat kisah, saya ditugaskan oleh kantor saya Suara Jerman Deutsche Welle untuk meliput perhelatan internasional ini. Jadilah seperti pucuk dicinta ulam tiba.

Seminggu sebelumnya, Pater Henri mengirim faksimili dari Ende perihal kehadirannya di Frankfurt. Dia meminta saya sekiranya menyempatkan diri untuk datang ke Frankfurt agar bisa menjelaskan dalam versi Jerman presentasi yang akan dia bawakan di sana.

Datanglah saya ke Frankfurt. Dia senang sekali. Dia tanya John (=kakak saya) di mana sekarang dan ke saya:

“Kau sehat sekali, Gerard.”

“Iyah ka Pater, keju terus tiap hari ini.”

“Anak berapa?”

“Baru satu Pater! Namanya Beatus.”

“Siapa?

“Beatus!”

Dia tertawa kecil, dan berkata: “Langsung orang tahu bapaknya mantan seminari.” Kami dua tertawa: “Jangan lupa ada adiknya biar ada teman bermain!”

“Iyah, Pater!”

“Nanti bujuk Beatus masuk SVD.”

“Aeh, saya tidak mau.”

“Kenapa.”

“Takutnya nanti dia tidak kebagian pesta nama karena tidak ada Santo Beatus.”

“Hahahahahahaha.”

Lalu ini yang membuat saya tertegun: “Jangan lupa atur pola makan!”

“Iyah, Pater.”

Jujur, saat itu, saya merasa ditegur habis-habisan karena baru sadar, badan saya memang sedang tidak karu-karuan gembrotnya. Lemak di sana sini bermuculan bagai jamur di musim hujan.

Ke inti perjumpaan. Dia memperlihatkan skema presentasinya. Dalam dwilingual, ternyata: English dan Deutsch. Saat itu saya diinformasikan bahwa dari Indonesia akan tampil dua pemrasaran. Dia dari Nusa Indah Ende dan satu lagi dari Gramedia, Jakarta.

Memang di samping sana terlihat paviliun besar Gramedia dan di sebelahnya lagi beberapa paviliun penerbit lain. Semuanya dari Indonesia. Terselip di antara yang besar-besar itu ialah Nusa Indah Ende. Bangga dan terharu! Itulah perasaan saya waktu itu.

Pada saat presentasi? Luar biasa terjadi. Dia simultan menjelaskan dalam English dan Jerman, tanpa hambatan. Lancar dan mulus.

Tema besarnya: Buku sebagai misi Katolik/SVD untuk pencerahan manusia di NTT. Sesekali dia tanya saya satu dua istilah tapi selebihnya dia sendiri. Saya duduk manyun di situ, sambil menikmati bir dingin dan bangga melihatnya.

Seingat saya, inilah satu dari beberapa presentasi dengan audiens internasional yang paling banyak diselang-selingi aplaus dan standing ovation terlama di akhir presentasi.

Di sela-sela coffee break, ada satu yang bertanya kepada saya:

“Anda siapanya Herr Daros!”

“Oh saya jurnalis dari Deutsche Welle tapi dia (sambil menunjuk ke Pater Henri) profesor saya bidang komunikasi dan teologi!

Ach so, ausgezeichnet (Oh, luar biasa). Merkt man schon! (Pantesan!)”

Dia tersipu-sipu. Gumam saya dalam hati: “baru rasa kau!” Lalu saya agak menjauh supaya menghindari pertanyaan lebih banyak. Hingga pulang pulang sore harinya, saya tidak memberitahukan joak saya ini ke Pater Henri.

Kebetulan juga saat itu dia sibuk melayani pertanyaan wartawan. Yang bertanya dalam bahasa English, dijawabnya dalam English. Yang dalam Deutsch, dijawabnya dalam Deutsch. Betul-betul pemandangan langka dan luar biasa! Saking terkagum-kagumnya, sampai-sampai saya lupa interview dia untuk kebutuhan siaran saya.

Begitulah secuil paket kompletnya Pater Henri. Masih banyak lagi dan akan saya sempatkan diri untuk menarasikannya di kesempatan lain.

Biasanya, amat langka manusia yang paket komplet seperti ini. Keterlangkaan itulah yang membuatnya unik dan tak tergantikan. No wonder bagi saya, ketika dia terkesan berwibawa, mengambil jarak, atau mungkin indiferen. Memang begitulah paket komplet. Untuk apa mencari-cari dan mengada-ada! Untuk apa menjadi yang bukan dirinya!

Tapi yakinlah, itu luarannya saja. Pater Henri yang saya kenal adalah imam Tuhan yang merendah dan amat terbuka (open minded), ciri khas kecerdasan manusia modern.

Dengan kepergiannya yang mendadak pada Rabu sore 11 Agustus kemarin, saya tercenung sebentar. Diam. Seakan berputar layar lebar di depan saya perjumpaan demi perjumpaan dengannya di beberapa tempat di saa-saat silam.

Terima kasih Pater Henri karena saya dan keluarga boleh mengenal dan mencintaimu selama di dunia.

Darimu saya akhirnya me-redefinisi apa itu wibawa. Ialah sikap lebih mendengarkan karena sudah tahu banyak. Karena mendengarkan adalah tiga kali membaca.

Resonans

Kini, setelah 73 tahun hidupnya di bumi dan jasadnya dibenamkan ke rahim bumi lalu menjadi humus untuk kesuburan tanah, orang atau mungkin kamu-kamu di luar sana datang kepadaku dan bertanya siapakah manusia yang terpijar dari hidup Pater Henri?

Ini jawabku: manusia adalah getaran sejati di dalam jiwanya, di mana pengalaman berkata-kata dan bernada bisa membantunya untuk berada pada jalur Penciptanya.

Tapi manusia seperti apa, tanyamu lagi.

Tak segan-segan ini jawabku: manusia adalah resonansi gelombang Tuhan Yang Maha Abadi, yang dibuntu dan ditimbun oleh segala jenis peradaban materialisme, namun bisa ditembus dengan lembutnya pengalaman ber-kata-kata dan bernada.

Maka kematian Pater Henri, menurut saya, adalah kematian simbolis. Dia pergi persis di zaman yang sedang deras-derasnya melawan dirinya. Ialah zaman peradaban digital akselerasi informasi beserta hukum rimba yang dibawanya.

Coba lihat! Betapa zaman ini mengurak-urakkan manusia menjadi makhluk seolah-olah. Menjadikan identitas dirinya adalah medsosnya. Maka menginformasikan apa saja, hoaks, fitnah atau benar, sama saja nilainya. Yang penting dengan itu, manusia menunjukkan diri kepada dunia: ini lho saya!

Maka, zaman ini membuat manusia hanya sebagai komponen rimba. Manusia bertindak seperti harimau memakan kijang. Manusia mau diinjak-injak seperti tanah.

Tapi kita suka lupa! Hukum rimbanya manusia bukan hukum rimbanya pepohonan dan hewan. Organisasi sosial manusia bukan organisme alam, meskipun di dalam zat dan wujud manusia terkandung komponen alam.

Kalau manusia memaki sesama manusia: “anjing kamu! babi kamu! kafir kamu! cacing kamu,!” jangan lantas menyimpulkan anjing, kafir, babi dan cacing itu buruk.

Yang buruk adalah manusia yang berlaku seperti anjing, kafir, babi dan cacing.  Anjing, babi, cacing, pohon, batu, tanah dan semua warga alam tidak ada yang masuk neraka, bahkan mereka sudah menjadi penghuni surga sejak awal penciptaan.

Yang masuk neraka adalah manusia yang berlaku hewan yang tanpa akal dan rasio. Atau manusia yang memposisikan dirinya seperti batu, kayu, anjing, babi, batu, yang tak punya nurani, dan mau diperalat oleh manusia lain untuk melempar kepala sesama manusia.

Nah, ke tengah-tengah peradaban seperti ini, resonansi Pater Henri menjadi kian melengking. Saya, dan mungkin kamu-kamu di luar sana, akan selalu rindu kepadanya.

Engkau, Pater Henri, adalah sang resonans sejati bagi kami. Rest in love and peace! Sampai jumpa di surga, Amin.

Sang Resonans

sang resonans yang kami cintai berpindah rumahnya
dari penglihatan dan pengetahuan menuju rumah sejati yang benama SABDA dan CINTA
kemarin-kemarin selama dia hidup kami selalu melihatnya
sehingga tidak sanggup memaknai kata dan nada dari mulutnya
kemarin-kemarin kami sibuk bersombong merumuskan pengetahuan tentangnya
sehingga terbentang jarak untuk mampu mencintainya
kemarin-kemarin kami semua terpenjara oleh eksistensi dan kepentingan daging dan darah kemahklukan
sehingga menjadi terlalu bodoh untuk menemukan keyakinan tentang SABDA yang bersemayam di dalam jiwa omongan dan lagu-lagunya

sang resonans yang kami cintai, maafkanlah kekerdilan kami
kekerdilan yang terus kami festivalkan sampai hari ini
kekerdilan untuk melihat keindahan SABDA di balik dentuman hukum rimba

yang berbesar mulut bersama para pentakabur ilmu

yang mengipas-ngipaskan kata-kata bahwa dunia ini adalah surga yang harus direbut

yang menjadikan hidup ini komponen rimba, jumlah, angka, harta, nama dan kuasa

bahwa dengan merebut dunia otomatis mendapatkan surga

padahal manusia tak lebih dari hanyalah resonansi gelombang Sang SABDA nan abadi

dari dan kepada-NYA segala makhluk berawal dan berakhir

maka kata dan nada hanyalah jalan menuju keabadian cinta-NYA

selama hayat dikandung badan

dan sejauh-jauh kaki melangkah hingga menapak di alas tiba

(gnb:tmn aries:jkt:kamis:12 Agustus 2021, hari penguburan Pater Henri)

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


gerard bibang, wajah, daun-daun keringGerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *