Diksi-Diksi Kematian

Diksi diksi kematian

Manusia itu makhluk yang dilengkapi rasa dan berperasaan. Ekspresi perasaan manusia dituangkan dalam beragam bentuknya. Rasa sedih dan senang merupakan perasaan pokok yang berpengaruh pada tindakan seseorang, baik dalam perilaku pada umumnya maupun pada cara berbahasa pada khususnya.

Situasi dan keadaan tertentu amat berpengaruh pada cara seseorang berbahasa. Bentuk dan pilihan berbahasa dipengaruhi kadaan dan suasana hati.

Kelahiran dan kematian, misalnya, mengundang ekspresi gembira dan sedih. Ekspresi gembira dan sedih seperti ini juga memicu kalahiran dan kehadiran berbagai kata sebagai medium pengungkapnnya.

Ada sederetan kata yang bisa muncul dan digunakan saat seseorang merasakan kegembiraan. Begitu pula sebaliknya, sederetan kata muncul menyertai situasi sedih yang dihadapi seseorang.

Ulasan FBI ini lebih terfokus pada kata-kata dan bahasa yang bertalian dengan peristiwa kematian. Kata-kata dimaksud kami namakan “Diksi-Diksi Kematian”.

Sebelum mengulas diksi-diksi tersebut, baiklah kita mencermati satu ungkapan klasik ini, “De mortuis nil nisi bene” (Bagi orang yang sudah meninggal hanya yang baik-baik sajalah yang boleh dikatakan).

Ungkapan Latin ini bisa diparafrasakan (1) jangan sesekali menceritakan keburukan orang mati; (2) jika seseorang telah meninggal dunia, yang dikisahkan hanyalah kebaikannya; (3) kematian membuat semua tentang seseorang itu menjadi baik; (4) tidak pantaslah membicarakan keburukan seseorang yang telah berpulang.

Mengapa keburukan dan kejelekan seseorang itu pantang dibicarakan? Jawaban sederhanya karena yang telah mati tidak bisa lagi membela diri dan juga tidak mungkin memperbaiki lagi semua hal yang buruk itu.

Ungkapan Latin yang dipakai ini, dengan berbagai parafrasanya, menegaskan adanya “rasa tidak pantas” membicarakan kekurangan mereka yang telah tiada.

Hal ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk penghargaan orang hidup. Bentuk penghargaan seperti ini terlihat jelas dalam kata-kata yang diproduksi berkaitan dengan kematian.

Kita sering dan biasa menggunakan kata-kata: (1) mati, meninggal, berpulang, gugur, mangkat, tewas, mampus, (2) jiwa, arwah, roh, (3) jasad, jenazah, mayat, bangkai, (4) almahum, almahumah, mendiang, (5) melihat, melawat, melayat, (6) dikuburkan, dimakamkan, dikebumikan, disemayamkan, (7) makam, kubur, pusara, (8) susah, duka, kabung. Semua kata yang dikelompokkan ini bertalian dengan kematian.

Delapan kelompok kata yang ditampilkan ini merupakan kata-kata bersinonim (berbeda bentuk tetapi berkemiripan makna). Kata sinonim itu diturunkan dari kata Yunani “sin” berarti sama, serupa, dan “onim” nama.

Sinonim dimaknai sebagai kata yang dapat dikelompokkan bersama kata-kata lain berdasarkan makna umum. Makna umum sering disamakan dengan istilah makna pusat dengan nilai rasa yang berbeda.

Persoalan nilai rasa inilah yang mendasari lahirnya bentuk kata berbeda dengan kemiripan makna.

Satu sisi, kehadiran sinonim dalam kajian semantik (terkait relasi makna) sebagai sesuatu yang turut memperkaya kosa kata, tetapi pada sisi lain keehadiran sinonim juga menciptakan masalah bahasa.

Masalah yang sering terjadi dalam prakti berbahasa adalah ketidaktepatan dalam menyanding bentuk sinonim itu dengan bentuk lainya. Karena itulah, dalam praktik berbahasa (lisan dan tulisan) penggunaan kata berkemiripan makna ini tidak selalu mudah. Mengapa?

Alasannya, karena ada patokan atau kriteria pokok yang harus dipenuhi seorang pebahasa ketika kata bersinonim itu digunakan.

Hal penting itu terkait prinsip kolokasi pemakaian bentuk sinonim. Kolokasi yang sering juga dikenal dengan istilah sanding kata dimaknai sebagai asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan atau bersandingan.

Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam satu domain atau jaringan tertentu. Deretan delapan kelompok kata di atas bertalian dengan domain dan jaringan kematian. Pilihan leksikal pebahasa saat mengonstruksi ujaran berupa kalimat harus mempertimbangkan nilai rasa dan ketepatan asosiasi antara satu kata dengan kata pendampingnya. Karena itulah, asosiasi yang tetap antara kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat dimaknai sebagai kolokasi (collocation).

Konsep kolokasi inilah yang membatasi pebahasa dalam menentukan pilihak leksikal atau diksi. Kata “mati” misalnya, pada kelompok (1) dapat disandingkan dengan manusia, hewan, tumbuhan, makhluk hidup lainnya. Kata “meninggal” dan “berpulang” dalam deretan yang sama tidak bisa berlaku untuk hewan dan tumbuhan. Frasa “tumbuhan meninggal atau berpulang*” atau “hewan meninggal atau berpulang*” tidak berterima karena “meninggal” tidak kolokatif dengan hewan atau tumbuhan. Kata “gugur, mangkat, tewas” juga hanya kolokatif untuk manusia. Kata “mangkat” juga hanya kolokatif untuk manusia yang berstatus sosial tinggi dalam masyarakat.

Kata seperti (2) jiwa, arwah, dan roh tidak bisa disandingkan dengan makhluk nonmanusia. Kata (3) jasad, jenazah, mayat, bangkai bermakna sinonim tetapi bangkai tidak kolokatif untuk manusia. Kata (4) almahum, almahumah, mendiang tergolong kolokatif untuk manusia, tetapi ada perbedaan nilai rasanya penggunaan “mendiang” selain almarhum, almarhumah. Kata “mendiang” biasanya dikaitkan dengan status sosial yang tinggi untuk orang yang meninggal. Kata (5) melihat, melawat, melayat bersinonim, tetapi kata melihat dan melawat berbeda pemakaiannnya. Diksi “melayat” hanya kolokatif untuk jenazah, bukan untuk orang hidup. Sebaliknya melihat dan melawat tidak kolokatif untuk jenazah.

Hal yang sama berkalu untuk deretan sinonim (6), dikuburkan, dimakamkan, dikebumikan, disemayamkan, (7) makam, kubur, pusara, (8) susah, duka, kabung.

Kecocokan untuk disandingkan dengan kriteria nilai rasa pada kahirnya membatasi pemakaian sinonim dalam praktik berbahasa.

Kata “jenazah” dan “almarhum/“almarhumah” sering dipakai sebagai frasa seperti “jenazah almarhum/almahumah. Ada hal yang perlu dicermati dalam penggunaan frasa seperti ini. Kata jenazah itu diambil dari kata bahasa Arab berkategori kata sifat (adjektif) yang bermakna jasad orang yang telah meninggal dunia; badan atau tubuh orang yang sudah mati. Sinonimnya “mayat” dari bahasa Melayu berarti badan orang yang sudah mati. Dalam pengertian dan pemaknaan sehari-hari kata jenazah dan mayat itu diatributi atau disebut almarhum atau almarhumah (untuk perempuan).

Tentu saja ini kurang tepat jika kita merunut arti kata “almahum atau almarhumah” ini. Kata almahum dan almahumah ini sesungguhnya diambil dari kata bahasa Arab yang berarti sama (baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan) yakni “yang dikarunia Allah; yang diberkati Allah”.

Karena ketidakpahaman orang pada asal-usul dan makna kata ini, maka seolah-olah ada pemisahan karunia dan berkat Allah sehingga selain kata almarhum harus ada kata almahumah. Almahum/almahumah bukanlah sinonim untuk orang yang meninggal, tetapi berarti yang dikarunia atau yang diberkati Allah.

Lalu? Ya kita pakai saja kata “almarhum” itu dan kita jadikan sebagai sepotong doa agar yang berpulang mendapat karunia dan berkat dari Allah. Masuk surgalah.

EDITOR: Redaksi Krebadia.com