Guna: Preposisi atau Konjungsi?

guna

Kata “guna” sering dipakai dalam tindak berbahasa manusia baik bahasa tulisan maupun bahasa ujaran. Dalam konteks morfologi (pembentukan dan perubahan kata) kata “guna” bisa mengalami perubahan baik dari segi bentuknya maupun  dari segi makna.

Perubahan bentuk yang dikaji secara morfologis pada akhirnya berdampak pada makna hasil perubahan yang terjadi. Dengan kata lain, proses morfologis dipertalikan dengan persoalan makna  yang dikaji dalam semantik.

Kata “guna” sebagai bentuk dasar berkemungkinan menurunkan bentuk-bentuk lain  setelah mengalami proses morfologis afiksisasi, reduplikasi, dan komposisi. Kata “guna” yang berafiks tampak pada kata adiguna, dwiguna, multiguna, nirguna (afiks serapan) dan berguna, gunakan, menggunakan, pergunakan, pengguna, penggunaan, menyalahgunakan.  Bentuk reduplikasi tampak pada kata guna-guna. Bentuk komposisi menurunkan kompositum (kata majemuk) antara lain daya guna, hak guna, membalas guna, salah guna, tata guna, tepat guna.

Ada banyak makna yang bersinonim dengan kata guna ini. Tesaurus Bahasa Indonesia mencantumkan puluhan sinonim  untuk kata guna antara lain faedah, manfaat, untung, arti,  fungsi, harga , ampuh,  efektif, nilai, derajat,  mutu. Penggunaan bentuk sinonim ini tampak membedakan sejauh bentuk-bentuk ini digunakan dalam konteks kalimat (tataran sintaksis).

Jika kita merunut bentuk turunan yang dihasilkan dari proses afiksisasi (imbuhan  asli bahasa Indonesia) terhadap bentuk dasar “guna” ini, maka kemungkinan pengimbuhannya yakni (1) dengan konfiks me-/-kan menghasilkan bentuk menggunakan (2) dengan konfiks  pe-/-an menghasilkan bentuk penggunaan dan (3) dengan prefiks pe- menghasilkan bentuk pengguna, (4) dengan prefiks ber- menurunkan bentuk berguna, (5) konfiks per-/an menurunkan bentuk pergunaan, dan (6) dengan konfiks ke-/-an menurunkan bentuk baru kegunaan.

Realisasi afiksisasi dan penggunaan bentuk baru itu dalam konteks kalimat terlihat pada contoh (1) s.d. (12) berikut;

  1. Dengan menggunakan tongkat, anak itu mengusir anjing.
  2. Ketika menghadapi perusuh, tentara menggunakan gas air mata.
  3. Pengunaan pupuk kimia dapat mengurangi kesuburan tanah.
  4. Penggunaan handphone berlebihan dapat merusak mata.
  5. Setiap pimpinan lembaga dianggap sebagai pengguna
  6. Artis kondang itu tertangkap karena terbukti menjadi pengguna
  7. Rumput sering diartikan sebagai tanaman yang kegunaannya belum diketahui.
  8. Untuk kegunaan yang lebih besar warga merelakan lahannya untuk jalaur lalulintas.
  9. Saat kecewa, orang merasa dirinya tidak berguna.
  10. Potongan besi tua dianggap masih berguna.
  11. Sidang pastoral tahunan menyinggung pergunaan lingkungan bersih.
  12. Para penyuluh pertanian berdikusi tentang pergunaan sistem tumpang sari.

Semua kalimat (1) s.d. (12) menghadirkan enam bentuk turunan kata “guna” yang mengalami afiksisasi yakni menggunakan, penggunaan, pengguna, kegunaan, berguna, dan pergunaan. Makna pemakaian bentuk-bentuk tersebut dalam konteks kalimat perlu dijelaskan.

Bentuk turunan “menggunakan” pada kalimat (1) dan (2) tetap bermakna berbeda karena kalimat (1) bermakna “alat” yang dipakai untuk mengusir anjing sedangkan pada kalimat (2) berkaitan dengan “cara” menghadapi perusuh. Bentuk “penggunaan” pada kalimat (3) dan (4) bermakna cara, proses memakai pupuk dan handphone. Bentuk turunan “pengguna” pada kalimat (5) dan (6) bermakna menyatakan orang yang menggunakan sesuai dengan kaidah pemaknaan prefiks pe- yang bermakna menyatakan orang yang me- (sesuaikan bentuk dasarnya).

Bentuk “kegunaan” pada kalimat (7) bermakna manfaat  dan (8) bermakna maksud atau  tujuan. Bentuk “berguna” pada kalimat (9) dan (10) bermakna memiliki (guna) atau sinonim dengan kata berfaedah, bermanfaat. Lalu, bentuk “pergunaan” pada kalimat (11) dan (12) bermaka sesuatu yang berkaitan dengan hal yang berguna tentang lingkungan yang bersih dan sistem tumpang sari.

Setelah membahas panjang-lebar tentang proses morfologis kata “guna” kita kembali pada pertanyaan awal untuk mendapatkan kepastian jenis atau kategori kata “guna” tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mencoba menggunakan kata itu dalam kalimat seperti kalimat-kalimat berikut;

13. Tim Densus membombardir rumah guna pembekukan teroris.
14. Guna pembentukan nilai, pendidikan karakter dibutuhkan.
15. Polisi melakukan rekonstruksi guna memastikan oknum yang terlibat dalam kerusuhan itu.
16. Guna meloloskan Gibran, Undang-Undang terpaksa harus diubah.

Sekilas, kalimat (13) s.d. (16) itu dianggap sama karena kata “guna” ditemukan pada semua kalimat.  Pemakaian kata guna keempat kalimat itu seolah-olah sama. Jika dicermati, pemakaian kata guna untuk keempat kalimat itu justru dapat membantu kita  menemukan jawaban atas pertanyaan dalam topik FBI ini. Mengapa? Karena sesungguhnya kalimat (13) dan (14) itu tergolong kalimat tunggal sedangkan kalimat (15) dan (16) tergolong kalimat majemuk.

Perhatikan bagian yang tercertak miring pada semua kalimat itu. Pada kalimat (13) dan (14) bagian yang tercetak miring itu hanyalah frase (bukan klausa). Karena bagian itu didahului kata guna, bagian tersebut merupakan frase preposisional  atau frase berkata depan. Dalam konteks ini, kata “guna” merupakan preposisi atau  kata depan.

Lain halnya, bagian tercetak miring pada kalimat (15) dan (16) meskipun didahului kata “guna” bagian itu bukanlah frase berkata depan melainkan satuan yang lebih tinggi dibadingkan frase yakni klausa. Karena bagian yang tercetak miring itu bukan  frase tetapi klausa, bagian itu berpotensi menjadi kalimat (salah satu pengertian tentang klausa). Dalam konteks ini, kata “guna” menjadi konjungsi (kata penghubung).

Secara teoretis, salah satu fungsi konjungsi itu menghubungkan dua klausa yang membentuk kalimat majemuk. Kita sudah mengenal jenis kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat (15) dan (16) tergolong kalimat majemuk bertingkat karena ada induk kalimat dan ada anak kalimat.

Induk kalimat pada (15) adalah Polisi melakukan rekonstruksi, sedangkan memastikan oknum yang terlibat dalam kerusuhan itu merupakan anak kalimat. Ini merupakan klausa yang berpontesi menjadi kalimat. Untuk menjadi kalimat maka sesunggguhnya bagian ini sebenarnya didahului kata (Polisi) yang menjadi subjek pada induk kalimat. Karena itu, kalimat (15) sesunggguhnya dihasilkan dari dua kalimat (15a) Polisi melakukan rekonstruksi dan (15b) Polisi memastikan oknum yang terlibat dalam kerusuhan itu.

Dengan hadirnya kata “guna” sebagai konjungsi, yang menghubungkan kedua klausa (induk/utama dan anak/bawahan) subjek kalimatnya (Polisi) dilesapkan.  Pola kalimat (15) tergolong pola yang biasa karena induk kalimat mendahului anak kalimat atau anak kalimat mengikuti induk kalimat.

Kalimat (16) juga tergolong kalimat majemuk bertingkat hanya saja anak kalimatnya mendahului atau berada di depan induk kalimat. Induk kalimatnya (16a) Undang-Undang terpaksa harus diubah dan anak kalimatnya (16b) meloloskan Gibran. Klausa bawahan ini tanpa subjek (Undang-Undang) karena kehadiran konjungsi “guna”. Kalimat (16) tergolong pola kalimat inversi (bersusun balik) karena anak kalimat mendahului induk kalimat. Pengenal kalimat seperti ini ditandai dengan pemakaian tanda baca koma (,) di depan induk kalimat. Kalimat menjemuk (15) dan (16) dapat diubah menjadi: Guna memastikan oknum yang terlibat dalam kerusuhan itu,  polisi melakukan rekonstruksi dan Undang-Undang terpaksa harus diubah guna meloloskan Gibran.

 

Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, simpulan, pergerakan, walau punBonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.