Jalan Macet, Waktu Tak Ada

Jalan Macet, Waktu Tak Ada
(kaltimkece.id)

Interaksi di ruangan kuliah senantiasa menarik.  Menarik, karena jika ada yang hadir terlambat maka ada sederetan alasan yang disampaikan.

Hal lain yang tidak kalah menariknya, jika mahasiswa tidak menyelesaikan pekerjaan atau tugas kuliah maka banyak juga alasan yang disampaikan.

Berikut kami sertakan enam kalimat yang diucapkan mahasiswa terkait keterlambatan menghadiri kuliah dan kelalaian menyelesaikan tugas.

  1. Sepeda motor saya macet karena kehabisan bahan bakar.
  2. Mohon maaf, saya terlambat karena jalannya macet.
  3. Di kost kami airnya lagi macet sehingga kami terlambat.
  4. Tugas kuliah belum diselesaikan karena tidak ada waktu.
  5. Tugas tidak dikerjakan karena belum ada waktu.
  6. Karena waktu sangat terbatas, tugas belum dikerjakan.

Secara sekilas, konstruksi kalimat (1) s.d. (6) ini seolah-olah tidak bermasalah karena informasi yang disampaikan jelas bagi pembaca. Dari aspek keinformatifan semua kalimat tersebut memang berterima, tetapi dari aspek penalaran atau logika tentu saja kalimat-kalimat tersebut harus dikritisi.

Kita coba kritisi kalimat-kalimat tersebut.

Secara leksikal, kata “macet” pada kalimat (1) s.d. (3)  bermakna (i)  tidak dapat bekerja dengan baik; sendat; serat (ii) terhenti; tidak lancar. Bentuk terhenti yang maknanya sejajar dengan frasa “tidak lancar” umumnya berkaitan dengan sesuatu yang bergerak. Dengan demikian, macet juga dapat diartikan berhenti bergerak. Kalau untuk air yang bergerak dikatakan macet paralel maknanya berhenti mengalir. Untuk udara, macet berarti berhenti berembus. Makna kata macet merujuk pada sesuatu yang bergerak. Berhenti bergerak itulah macet.

Dengan penjelasan dan deskripsi seperti ini maka kata “macet” tepat digunakan dalam kalimat (1) dan (3). Motor macet berarti berhenti bergerak yang membawa pengendaranya ke tempat tujuan karena kehabisan bahan bakar. Hal yang sama kita pakai untuk menjelaskan kata “macet” pada kalimat (3). Air yang seharusnya mengalir untuk memenuhi kebutuhan penghuni kost berhenti mengalir.

Lain halnya dengan penggunaan kata “macet” pada kalimat (2). Jalan itu merujuk pada sesuatu yang tidak bergerak tempat orang melintas. Orang yang berkendaraan biasanya berlalu dan melintas di jalan yang ditandai dengan perpindahan lokasi, sementara jalan tetap di tempat dan tidak akan bergerak.

Merujuk pada penjelasan kata “macet” pada kalimat (1) dan (3), penggunaan kata “macet” pada kalimat (2) tergolong tidak tepat karena berlawanan dengan prinsip berpikir logis.  Frasa “jalan macet” itu bukanlah frasa yang tepat. Pernyataan ini mirip-mirip dengan pernyataan seorang penumpang bahwa pohon-pohon di tepi jalan itu  bergerak mendekat saat kendaraan yang ditumpanginya berjalan maju.

Merujuk pada makna konstruksi sintaksis kalimat (2), kata “macet” yang digunakan biasanya bertalian dengan banyaknya kendaraan yang  berlalu dan melintas di jalur jalan yang dilewati sehingga menghalangi lajunya perjalanan seseorang. Dalam konteks ini yang macet tentu saja berkaitan dengan lalu-lintas. Logisnya yang macet itu lalu-lintas, bukan jalan. Hal yang sesungguhnya, justru kemacetan lalu-lintas bukan kemacetan jalan.

Masalah ketidaklogisan pada kalimat (2) mengharuskan kita bertanya, bagaimana dengan penggunaan kata “waktu” pada kalimat (4) s.d.(6)  “tidak ada waktu”, “belum ada waktu”, dan “waktu sangat terbatas”. Penggunaan frasa-frasa seperti ini sesungguhnya menggambarkan konsep seseorang tentang waktu sebagai sesuatu yang bisa dipenggal-penggal. Konsep keterpenggalan waktu ini tampak juga saat orang berbicara. Sering orang mengucapkan, “untuk tidak memperpanjang waktu” atau “untuk mempersingkat waktu”. Tentu tidaklah logis kalau waktu “diperpanjang” atau “dipersingkat”. Mengapa, karena waktu sesungguhnya bergerak linear karena itu mustahil ada  detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya yang sama. Hal yang dapat diperpanjang atau dipersingkat adalah aktivitas, tindakan, perbuatan yang dijalankan mengikuti aliran waktu.

Frasa-frasa terkait tidak ada, belum ada, dan terbatasnya waktu dalam struktur kalimat (4) s.d.(6) secara tidak langsung menafikan kehidupan karena waktu itu milik manusia yang hidup. Kematian sesungguhnya identik dengan ketiadaan waktu, artinya jatah waktu untuk seseorang tidak ada lagi, usianya berhenti dihitung. Setiap orang yang hidup dengan sendirinya masih memiliki waktu, dan waktu itu dimiliki secara tidak terbatas bagi yang hidup. Satu-satunya batas waktu itu adalah kematian. Jadi, tidak logis kalau orang yang masih hidup mengatakan “tidak ada waktu”, “belum ada waktu”, dan “waktu terbatas”. Saat seseorang mengucapkan tiga frasa ini, pasti karena ia masih diberi waktu, ada waktu, dan belum berbatas.

Satu-satunya cara untuk menjelaskan alasan pada kalimat (4) s.d.(6) adalah ketidakmampuan manusia untuk memanfaatkan deretan waktu yang terus mengalir dengan segala aktivitas yang seharusnya ia lakukan. Dalam bahasa manajemen, orang seperti itu tidak pandai mengatur aktivitasnya dalam lintasan waktu yang terus berjalan linear. Disiplin sesungguhnya bukan soal mengatur waktu karena waktu mustahil diatur dan dikendalikan siapa pun. Disiplin adalah soal mengatur aktivitas dalam mengisi dan memaknai waktu yang terus mengalir.  Manusia boleh saja menunda, tetapi ingatlah, waktu mustahil menunggu.