Ketika Napas Berakhir di Pasungan

Jika kita tidak menyadari kasus ini sebagai kejahatan dan dosa, maka itu pertanda kesadaran moral kita rendah, bahkan amat rendah, baik kesadaran moral individu maupun kesadaran moral sosial

pasung, terpasung, pasungan
Pondok saksi bisu kematian orang terpasung di Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, baru-baru ini. (P. Avent Saur SVD)

Sudah sering kali terjadi, orang dengan gangguan jiwa (selanjutnya: orang sakit) di Nusa Tenggara Timur mengembuskan napas terakhir dalam keadaan terpasung.

Fakta ini sama sekali tidak menggugah tanggung jawab pemerintah dan tokoh agama untuk meresponnya sebagai kasus moral kemanusiaan.

Tujuh Kasus

Tiga bulan jelang berakhirnya tahun 2023, ada 7 kasus (1 perempuan, 6 laki-laki); 3 di Kabupaten Manggarai Timur, 2 di Manggarai Barat, 2 di Ende.

Khususnya di Ende, kasus-kasus serupa sering kali terjadi, termasuk kasus paling sadis yang menimpa Anselmus Wara. Ia terpasung di samping rumah ibadat. Pondok pasungnya bukan hanya dibangun oleh warga Kurumboro, melainkan juga oleh negara, antara lain Polres Ende dan TNI.

Di Manggarai Timur, ketiganya terpasung pada kaki di pondok reyot. Di Manggarai Barat, yang satu terpasung pada kaki di pondok reyot, lainnya dikurung di kamar dalam rumah. Di Ende, yang satu terpasung dua kaki di pondok reyot tanpa dinding, lainnya terpasung dua kaki di kamar dalam rumah.

Selama mereka terpasung bertahun-tahun, tujuh orang sakit tersebut bukannya tidak pernah mendapat layanan medis dari tenaga kesehatan setempat. Bukan juga belum mendapat layanan sosial dari dinas sosial dan relawan peduli sehat jiwa.

Dari sisi sosial, keluarga juga diedukasi terkait gangguan jiwa dan kesehatan jiwa serta diberikan bantuan sosial ekonomi. Dan dari sisi medis, orang sakit diberikan terapi.

pasungan, pasung, terpasung gangguan jiwa
Relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI), Engkos Purnama, bersalaman dengan orang dengan gangguan jiwa terpasung di pondok. (P. Avent Saur SVD)

Kejahatan Kemanusiaan

Nah, kalau semua layanan sudah diberikan kepada mereka, poin apa lagi yang mesti didalami terkait peristiwa kematian mereka? Toh kematian adalah sebuah kepastian buat semua manusia yang fana, argumentasi apa lagi yang mesti diselisik lebih mendalam? Saya kira, dua pertanyaan ini tidak bakal muncul bila kita peduli pada hak asasi manusia (HAM).

Sebenarnya, ada sekian banyak persoalan di balik kasus kematian orang sakit dalam keadaan terpasung, tetapi saya ingin utarakan dua hal yang paling penting.

Sejak 2014 bergelut dengan masalah gangguan jiwa di Nusa Tenggara Timur, betapa saya mengharapkan hidup orang sakit tidak boleh berakhir dalam keadaan terpasung. Entah waktu hidup mereka amat singkat atau lama setelah dibebaskan dari pasungan, sekalipun masih menderita gangguan jiwa, mereka tidak boleh meninggal dalam pasungan.

Kenapa mesti demikian? Pemasungan orang sakit adalah sebuah kejahatan kemanusiaan, apa pun alasan dan tujuannya. Membiarkan mereka meninggal dalam pasungan berarti kematian itu disebabkan oleh kejahatan; kejahatan keluarga, masyarakat, dan negara.

Dari sisi agama, perbuatan jahat disebut dosa, bukan? Kepergian orang sakit selamanya dalam keadaan terpasung meninggalkan jejak dosa pada banyak pihak. Jadi, ini bukan sekadar kematian yang biasa terjadi pada manusia umumnya, melainkan kasus tidak wajar, kasus moral.

Jika kita tidak menyadari kasus ini sebagai kejahatan dan dosa, maka itu pertanda kesadaran moral kita rendah, bahkan amat rendah, baik kesadaran moral individu maupun moral sosial. Lebih lagi, kesadaran moral kekuasaan para pelayan publik, baik pada lingkungan pemerintah maupun agama.

Merefleksikan fakta ini, saya teringat akan kasus kematian sadis Saudara Anselmus di Ende, Flores. Dalam kasus itu, pihak yang mendukung pemasungan justru bukan hanya warga masyarakat dan negara, melainkan juga tokoh agama Katolik; tokoh yang notabene menjunjung tinggi dan membela hak asasi manusia. Tentu fakta ini amat memprihatinkan.

pasungan, katedral ende
Gereja Katedral Ende, Flores. Umat yang menderita gangguan jiwa merindukan pelayanan pastoral gereja di tempat pemasungan mereka. (P. Avent Saur SVD)

Hilangnya Komitmen Pengorbanan

Hal kedua yang patut disentil adalah bahwa kasus kematian orang sakit terpasung sama sekali belum menggugah para pelayanan publik untuk memberikan respon yang memadai. Kematian mereka dipandang sebagai kejadian biasa, bukan kasus moral kemanusiaan.

Menyatakan turut berdukacita pun amat sulit keluar dari mulut pemerintah, apalagi mengutarakan minta maaf lantaran kematian dalam pasungan disebabkan oleh kurangnya fasilitas kesehatan jiwa.

Demikian juga dari sisi agama, kematian orang terpasung cuma direspon dengan memberikan layanan keagamaan, semisal doa bersama. Tak sedikit pun pemimpin agama setempat merasa bersalah atas kasus kematian itu. Selama orang sakit masih hidup terpasung, tak sedikit pun pemimpin agama melawat, tak sedikit pun mendorong umat untuk menaruh kepedulian pada penderitaannya, tak sedikit pun menyadarkan umat bahwa pemasungan adalah kejahatan kemanusiaan.

Kasus pasung dipandang sebagai peristiwa biasa. Rasanya, pemasungan itu wajar buat orang dengan gangguan jiwa yang agresif dan gaduh gelisah.

Di balik ketidakpedulian pelayan publik pada masalah kematian orang sakit dalam pasungan seperti ini, apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka?

Tentu ada banyak jawaban yang bisa disinggung. Namun, mungkin dua hal berikut ini yang paling substansial.

(1) Orang sakit terpasung sudah telanjur dipandang sebagai bukan manusia lagi. Kalau kemanusiaan saja hilang begitu saja, apalagi haknya sebagai warga negara dan umat agama tertentu.

(2) Dan dengan itu, menyediakan waktu untuk menyelesaikan persoalan mereka rasanya menjadi hal-hal yang sia-sia, buang-buang waktu dan energi; bahkan hampir tidak memikirkan waktu pelayanan buat mereka. Dengan begitu juga, komitmen pengorbanan buat mereka betul-betul hilang dari akal dan nurani pelayan publik.

Terkait ini, saya teringat pada satu kasus pasung sadis di Ende pada tahun 2014 silam. Kepada pemimpin agama (Katolik), setelah memperlihatkan foto-foto pasung sadis itu, saya memohon untuk menyediakan waktu melawatinya. “Nanti saya sediakan waktu,” tuturnya menyakinkan.

Setelah sepekan saya menunggu respon nyatanya, dan ketika dihubungi kembali, pemimpin agama itu merespon begini, “Saya akan melawatinya bukan karena permohonan dari Pater Avent, melainkan menunggu bisikan Roh Kudus.”

Hingga umat terhina itu mengembuskan napas terakhir dalam pasungan, pemimpin agama tersebut masih menunggu bisikan Roh Kudus tersebut. Rasanya, atas nama Roh Kudus, pemimpin agama enggan menolong umat-Nya. Bukan ini justru kesalahan dan dosa melawan Roh Kudus? Entahlah.

WhatsApp Image 2023 09 30 at 08.47.44

Akhirnya Kembali ke Iman

Menghadapi semuanya ini, sering kali saya kembali ke dasar iman. Bahwasanya, kita harus bersyukur hidup manusia di dunia ini adalah fana, tidak abadi. Penderitaan apa pun bentuknya, termasuk pemasungan, akan pasti berhenti pada titik kematian. Demikian juga kesenangan apa pun bentuknya, termasuk kesenangan pelayanan publik akan keuntungan sosial dari jabatan dan predikatnya, akan pasti berhenti pada titik kematian.

Betul-betul kematian menjadi pengalaman yang menyadarkan kita bahwa kita adalah sama dan kita adalah rapuh. Di hadapan kematian, status kita sama.

Yang membedakan kita satu sama lain adalah bagaimana mengisi hari-hari hidup kita dengan hal-hal yang baik, bagaimana memanfaatkan kedudukan sosial tertentu untuk melakukan kebaikan terhadap orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab moral kita.

Ketika napas orang sakit berakhir dalam pasungan misalnya, apa respon kita baik sebagai anggota masyarakat biasa maupun pelayan publik. Setidaknya nurani kita tergugah untuk menanggapinya sebagai sebuah kasus serius yang mesti diurus lebih lanjut.

Dan akhirnya, saya harus kembali ke dasar iman ini: “Betapa baiknya Tuhan Maha Pencipta yang telah menciptakan manusia dengan hakikat kefanaan. Betapa baiknya Tuhan Maha Pencipta yang telah memberikan harapan kebahagiaan kekal untuk orang-orang yang selama berziarah di dunia ini lebih banyak mengalami penderitaan dan menjadi korban kejahatan.”

 

Baca juga artikel terkait SENTILAN JIWA atau tulisan menarik Avent Saur lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


WhatsApp Image 2023 09 21 at 15.51.13 e1695294575935

Pater Avent Saur SVD, penulis buku Belum Kalah: Sentil Tuhan, Negara, dan Masyarakat. Pendiri Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT, tinggal di Ende, Flores. Kini staf Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ende.