Konjungsi dan Angka “Haram”

Konjungsi dan Angka "Haram"

Kata penghubung atau konjungsi merupakan salah satu jenis kata dalam penggolongan kata bahasa Indonesia.  Masalah penggunaan kata penghubung ini pernah diuraikan dalam salah satu topik kolom Fatamorgana Bahasa Indonesia ini terkait penggunaan konjungsi ganda.  Ulasan pada edisi ini masih berkaitan dengan penggunaan konjungsi dalam konstruksi kalimat.

Secara umum dikenal empat kelompok konjungsi yakni konjungsi koordinatif, korelatif, subordinatif, dan antarkalimat.

Konjungsi koordinatif digunakan sebahgai penanda hubungan penambahan, pemilihan, perlawanan, pertentangan, penyertaan, enjumlahan, dan pemilihan. Kata-kata seperti: dan, atau, melainkan, padahal, serta, sedangkan,  tetapi, dan/atau dikategorikan sebagai konjungsi koordinatif.

Konjungsi korelatif menghubungkan dua kata, farasa, klausa yang berstatus sintaksis yang sama. Konjungsi jenis ini tampak sebagai dua bagian yang terpisah, tetapi kedua bagian itu menjadi pasangan tetap yang tidak bisa dipertukarkan.  Pasangan kata: baik…maupun; tidak hanya…tetapi juga; bukan hanya… melainkan juga; demikian…sehingga; sedemikian rupa…sehingga; entah…entah; jangankan…pun; memang…. tetapi; satu pihak…. lain pihak tergolong konjungsi korelatif.

Konjungsi subordinatif digunakan untuk menghubungkan dua klausa atau lebih yang memiliki status berbeda (tidak setara). Kehadiran kata-kata: sejak, semenjak, sedari, jika, bila agar, seakan-akan, sebab, sehingga, dengan, bahwa, menandai adanya kalimat majemuk bertingkat.  Kalimat majemuk bertingkat mengharuskan adanya klausa utama (sebagai induk kalimat) dan klausa bawahan (sebagai anak kalimat).

Konjungsi antarkalimat menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat lainnya untuk satuan bahasa yanag lebih luas, misalnya kalimat-kalimat untuk pembentukan sebuah paragaraf. Konjungsi jenis ini biasanya digunakan untuk menjamin kohesi paragraf dirangkai dengan sejumlah kalimat. Penggunaan bentuk:  biarpun demikian, sekalipun demikian, sungguhpun demikian, sebaliknya, tetapi, sebelum itu, selanjutnya merupakan konjungsi antarkalimat.

Uraian perihal keempat konjungsi ini pada dasarnya mau mengarahkan kita tentang posisi, letak, tempat konjungsi tersebut dalam konstruksi sintaksis. Sesuai dengan namanya “konjungsi” atau “kata penghubung”  bentuk-bentuk  itu wajib hukumnya berada di tengah kalimat, bukan ditempatkan pada awal kalimat.

Kenyataannya, dalam praktik berbahasa, para pengguna bahasa (lisan dan terutama tulisan) justru menempatkan unsur konjungsi pada awal kalimat. Jamak  dan mudahlah bagi kita  menemukan kalimat-kalimat yang diawali konjungsi: dan, tetapi, untuk, bahwa, sehingga, jika, dengan, sebaliknya, sebelum itu, dll. Penggunaan seperti ini melanggar kaidah kebahasaan yang yang tampaknya “mengharamkan”  penggunaan konjungsi atau unsur penghubung itu pada awal kalimat.

Penggunaan konjungsi pada awal kalimat sebagai sesuatu yang dianggap “haram” seperti ini mengingatkan kita akan kaidah penulisan angka dan bilangan  dalam konstruksi kalimat. Angka dan bilangan menurut pedoman tidak boleh ditulis pada awal kalimat seperti halnya konjungsi.

Kitab Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) memberikan kita pedoman perihal penulisan angka dan bilangan. Ada dua belas hal yang diatur terkait penulisan angka dan bilangan. Hal yang bertalian dengan ulasan ini kita berfokus pada tiga ketentuan saja, sedangkan  ketentuan yang lain akan diulas dalam topik yang lain.

Ketiga ketentuan yang kita fokusi (1) Bilangan dalam teks yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali jika dipakai secara berurutan seperti dalam perincian; (2) Bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf dan apabila bilangan pada awal kalimat tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, susunan kalimatnya diubah. (3) Angka yang menunjukkan bilangan besar dapat ditulis sebagian dengan huruf supaya lebih mudah dibaca.

Penerapan ketiga kaidah ini tampak pada kalimat pada contoh (1) s.d.(3) beserta uraiannnya berikut;

Contoh 1

(a) Adiknya dirawat selama empat hari di rumah sakit.
(b) Adiknya dirawat selama 4 hari di rumah sakit.
(c) Dari 38 mahasiswa itu 21 orang berbakat musik, 12 orang menari, dan 5 orang olah raga.
(d) Dari tiga puluh delapan mahasiswa itu, dua puluh satu orang berbakat musik, dua belas orang menari, dan lima orang olah raga.

Isi informasi kalimat (a) dan (b) pada contoh 1 persis sama. Demikian pula isi informasi  kalimat (c) dan (d). Hal yang membedakan hanya cara  dan bentuk penulisan angka dengan huruf dan dengan bilangan. Bentuk yang sesuai dengan kaidah adalah bentuk (a) dan (c) karena bilangan yang mewakili satu kata (empat) harus ditulis dengan huruf bukan dengan bilangan (4) pada kalimat (b). Begitu pula kalimat (c) memenuhi kaidah karena angka 38 itu mewakili tiga kata (tiga, puluh, delapan). Penulisan 12 (dua belas) dan 5 (lima) memang hanya dua kata dan satu kata tetapi karena merupakan rincian angka itu tidak ditulis dengan huruf seperti kalimat (a).

Contoh 2

(a) Tujuh puluh mahasiswa menghadiri pertemuan.
(b) 70 mahasiswa menghadiri pertemuan.
(C) Seratus dua puluh depan orang hadiri rapat pleno.
(d) 128 orang hadiri rapat pleno.
(e) Rapat pleno dihadiri seratus dua puluh delapan orang.
(f) Rapat pleno dihadiri 128 orang.

Isi informasi kalimat contoh 2 (a) dan (b) itu persis sama tetapi yang memenihi kaidah dan diterima kalimat (a) karena angka (yang bisa dilambangkan dengan satu atau dua kata) pada awal kalimat harus dinyatakan dengan huruf. Isi informasi kalimat 2 (c) s.d. (f) itu sama. Konstruksi yang memenuhi kaidah hanyalah kalimat (f) sedangkan (c), (d), (e) tidak berterima. Kalimat (c) bilangan itu dilambangkan menjadi 4 kata (kaidah mengharuskan satu atau dua kata); kalimat (d) jelas salah menyalahi kaidah (1); dan kalimat (e) menyalahi kaidah (2) yang mengharuskan perlambangan dengan angka karena mewakili empat kata (sertaus, dua, puluh, delapan).

Contoh 3

(a) Prodi PBSI mendapat hibah PK-KM Rp850.000.000,00.
(b) Prodi PBSI mendapat hibah PK-KM 850 juta rupiah.

Isi informasi kalimat (a) dan (b) contoh 3 persis sama. Bentuk (b) merupakan  bentuk yang berterima karena  sesuai dengan kaidah.

Bentuk berterima dan tidak berterima yang diraikan dalam topik ini sengaja dibahas agar pengguna bahasa dapat dengan tegas membedakan bentuk yang baik dan bentuk yang benar. Bentuk yang benar itulah bentuk yang sesuai dengan kaidah. Bentuk yang benar ini harus menjadi pilihan wajib bagi para penulis (jurnalis pengelola media) dan akademisi (yang bergulat dengan dunia tulis-menulis) sebagai akademisi.

Semoga ulasan ini membantu meminimalisasi kesalahan berbahasa saat menulis. Menghilangkan kebiasaan yang salah, menghindari bentuk yang tidak baik, dan memastikan memilih bentuk yang benar. Bagi mereka yang menulis berpedomankan kaidah tentu sepakat ada cara penulisan kata dan angka yang “diharamkan”.

 

Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, simpulan, pergerakan, walau punBonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.