Koq Bisa?

Avatar of Gerard Bibang
Koq Bisa?

Koq bisa ya; ini adalah keheranan serentak energi batin yang membuatku bertahan hingga kini apa adanya, tidak menjadi siapa-siapa selain biasa-biasa saja; kisahnya bermula di masa kecil ketika pikiranku pertama-tama bertumbuh, maksudku ketika aku mulai sadar bahwa di dalam mengerjakan hidup ini aku harus menggunakan pikiran

Koq bisa ya; selalu ada sesuatu yang gamblang tetapi tak kudapat jawabannya yang pasti; kisahnya bermula dari pertanyaan sederhanaku kepada mama: ma, ma, sebenarnya aku ini dilahirkan lewat mana

Mamaku tertawa; koq bisa? mengapa tak langsung dijawabnya, begitu aku membatin; dan karena waktu itu bersama mama ada banyak temannya mama-mama, maka mereka pun ikut tertawa

Aku tidak merasa tersinggung; koq bisa ya mereka tertawa, begitu aku membatin sendiri; maka aku terus bertanya: “lewat mana ma;” “lewat ketiak,” jawab mamaku; aku lantas meraih tangan mama dan memegang ketiaknya; tetapi jelas kulihat tidak ada lubang di ketiak itu yang memungkinkan aku lewat melaluinya; menggunakan istilah sekarang, dari pengamatanku itu, ada hal yang belum reasonable untuk pikiranku; aku tetap kangaranga alias terheran-heran tanpa pengertian tapi berlagak manggut tanda mengerti

“Koq bisa, ma, bagaimana mungkin, ketiak mama tidak berlubang” tanyaku lagi; mamaku dan mama-mama yang lain ngakak sejadi-jadinya; kini malah terbahak-bahak; aku merasa kecut dan penasaran; aku tak putus asa; setiap kali ada celah sedikit, aku terus menanyakan hal itu kepadanya; tapi jawabannya sama sambil tertawa

Koq bisa ya; satu kali pun tak pernah aku memperoleh jawaban yang memuaskan pikiranku; bahkan secara tak disengaja akhirnya ini merupakan catatan pertama dalam pikiranku bahwa dalam hidup ini, tentang sesuatu yang gamblang dan jelas-jelas terang tak selalu didapatkan jawabannya yang jelas dan pasti

Apakah memang ada pertanyaan dalam hidup ini yang tidak tersedia jawabannya atau tidak dibutuhkan untuk dijawab? atau apakah segala yang jelas-jelas dan terang di dunia ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan, baik yang terungkap maupun yang terbatin dalam hati?

Aku mengerti akhirnya; meski tetap ada sesuatu yang mengganjal di perasaanku, cintaku kepada mama tidak luntur; meski pikiranku tidak terpuaskan dan mama tertawa-tawa ngeledek, cintaku kepadanya malah tidak surut; koq bisa?

Bingkai Misteri Sejuta Rahasia

Aku akhirnya mulai sadar bahwa di dalam hidup ini ada sesuatu yang bisa dimengerti oleh pikiran, tetapi tidak menjawab seluruh ganjalan kegelisahan dalam diriku; terus terang, aku jadi bingung; dengan apa hidup ini dijawab, jika pikiran tidak mutlak menjaminnya? sedangkan tiada lain, di dunia ini aku inginkan sesuatu yang konkret, paling tidak yang understandable; aneh, malah sampai hari ini aku tetap bertahan, koq bisa?

Seiring bergulirnya waktu, litani koq bisa koq bisa makin panjang dan makin panjang; teman baikku seorang filsuf muda menasihatiku untuk santai-santai saja, jangan banyak tanya; yang sering-sering dilakukan ialah menertawakan kebodohanmu dan melucu-lucu sembari menghirup kegembiraan hidup

“Koq bisa ya, teman filsuf” jawabku kepadanya; “bukankah tugas utama filsafat ialah bertanya dan mempertanyakan? ini malah kamu ajak aku untuk melucu-lucu, membanyol dan menertawakan diriku; parah lu ah!”

Teman filsufku tertawa, lalu berkata: “hidup kita ini penuh kontradiksi indah yang dibingkai dalam misteri; kita ini makhluk multidimensional, tak pernah hitam putih; jangan melihat segala sesuatu dalam garis linear kausal”

Aku makin melongo tidak mengerti, koq bisa; melihatku tidak paham, teman filsufku melanjutkan nasihatnya dengan ketawa kecil: “kau ini Bibang, makin beruban makin bego,” sembari menarik sebatang rokok dari sakunya tanpa sedikit pun menawarkan kepadaku untuk sama-sama menikmatinya

Koq bisa ya; karena dia tertawa dan aku merasa lucu, akhirnya kami sama-sama tertawa; aku pikir, alasan lucu kami berbeda-beda, tapi sudahlah, yang penting tertawa; pikirku, filsufku ini tertawa karena sudah lama dia menunggu kesempatan menghina aku; menggunakan istilah orang Manggarai di Flores Barat, dia sudah lama menunggu untuk skak aku langsung di tempat; dariku, aku tertawa karena telaknya kemesraan persaudaraan yang aku dapatkan tak terduga; maklumlah, makin tinggi kerohanian seseorang, maka tingkat kemesraannya diungkapkan dengan cara apa saja, yang paling telak ialah dengan hina-hinaan, olok-olokan dan ejek-ejekan

Koq bisa ya penghinaan adalah tingkat tinggi kemesraan; tapi itulah yang terjadi dan biarlah kami tertawa-tawa; di zaman serbuan informasi ini, tertawa itu amat mahal; tertawa-tawa adalah sebuah release, aufklaerung, pembebasan dan sehat

Tapi itu tadi, koq bisa ya; kalau memang hidup ini sejuta rahasia, kataku kepada teman filsufku; untuk apa kita bertanya atau mempertanyakannya; hanya kenapa terjadi kemajuan pengetahuan tanpa pertanyaan? koq bisa? begitu maraknya kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, mosok berkembang tanpa ada seorang pun yang bertanya dan mempertanyakan? koq bisa, koq bisa? setelah mendengar ini, teman filsufku pamit sambil tertawa-tawa; kali ini aku tidak merasa lucu dan tidak ikut tertawa

Memberaki Piring Makan

Ini yang ganjil; makin ke sini, rambut makin menipis, makin panjang litani koq bisa, koq bisa; akhir-akhir ini koq bisa ya seorang anak yang sudah besar dan berkuasa, membelot ke rumah orang setelah memberaki piring makan yang disajikan ibunya

Koq bisa? di manakah adab budaya timur yang menjunjung tinggi asal muasal dari mana dan ke mana hidupnya? di manakah budaya yang membadankan nila-nilai luhur kemanusiaan dan kesopanan?

Koq bisa ya, kekuasaan memabukkan penggenggamnya dan lupa awal mula, lupa daratan lalu membelokkan sauh ke tepian lain yang tak dikehendaki ibunya, koq bisa? akhirnya aku berpikir, begitulah jika seorang anak yang sudah hebat kekuasaannya mengidentikkan dirinya dengan kekuasaan yang digenggamnya

Padahal terang benderang konstitusi negaranya membatasi sepuluh tahun kekuasaannya dan bisa-bisanya dia berusaha melabrak aturan itu agar dia berkuasa lebih dari sepuluh tahun; koq bisa ya, dia tetap dalam rumah ibunya tetapi ke rumah orang lain untuk memenangkan dirinya? di manakah budaya leluhur yang menjunjung tinggi etika?

Koq bisa ya, dia dengan tahu dan mau, menggunakan instrumen negara untuk meraih mimpi pribadinya, bukan mimpi ibu pemilik rumah di mana dia dibesarkan dari dia tidak punya apa-apa hingga kini dia menjadi siapa-siapa, menjadi orang hebat pula di seantero Nusantara; koq bisa budaya leluhur yang menjunjung tinggi rasa malu dilupakan begitu saja

Lalu di Gedung Mahkamah; koq bisa ya seorang mantan hakim ketua lebih memilih bertahan di kursinya karena alasan legal daripada etika; padahal sudah terbukti dia melanggar berat etika; koq bisa ya dia senyam senyum dan mengatakan dirinya tidak melanggar undang-udang; bukankah etika lebih tinggi dari aturan dan undang-undang?  koq bisa ya nurani seorang hakim menipis setipis kain sutera?

Di kantor kehakiman dan kantor pemberantasan korupsi; koq bisa ya seorang wakil menteri di kehakiman dan seorang ketua di kantor pemberantasan korupsi, sudah dinyatakan tersangka tapi tidak mundur? di manakah rasa malu yang menjadi kebanggaan leluhur? koq bisa ya, mati-matian mereka menunggu pasal dan ayat yang membutikan mereka bersalah barulah menyatakan diri mereka mundur

Koq bisa, orang-orang pinter sekaliber itu tidak mampu membedakan apa yang bisa dan tidak boleh dan apa yang boleh tapi tak bisa lalu apa yang bisa dan boleh? oh Semesta, dari manakah ketololan ini berasal? ibu bumi kami melahirkan anak-anak yang melek adab; oh Semesta, dari manakah kebiadaban ini berasal? koq bisa sekarang-sekarang ini niradab berkecambah seperti jamur di musim hujan

Lagu Adventus

Tiba-tiba dari kejauhan lagu-lagu Adventus mengalun lembut; wouwww, hatiku langsung adem dan luluh; dari tadi memberontak terhadap terlampau banyak keganjilan dan keanehan, kini merunduk malu, entah kenapa; koq bisa ya!

Lagu-lagu Adventus yang sekali setahun didengungkan itu menyejukkan jiwaku; pikirku karena menjelang Natal, karena menantikan kedatangan kekasih cinta; ada kerinduan, ada harapan bahwa akan datang Sang Cinta pemenuh harapan, sang penggenap kekurangan dan keganjilan; lagu-lagunya menyejukkan, memang perlu stamina-lah dalam menanti di dunia ini; DIA, Sang Cinta Si Emanuel pasti datang; segala keganjilan dan konradiksiki di bumi akan DIA genapkan; terpenuhilah segala-galanya; syukur kepada Allah!

Hatiku merasa plong tapi tak lama; koq bisa? ceritanya ketika ke gereja minggu pertama Adventus, romo berkhotbah lama sekali tentang pertobatan; lha, ini kan masa penantian, koq harus dominan tentang pertobatan, gumamku sendiri dalam batin; kalau sekarang pertobatan yang utama, apa yang membedakan masa penantian dengan masa Prapaskah? koq bisa begitu? padahal doa-doa dan hiasan di altar menunjukkan hijau dengan lilin-lilin bernyala simbol harapan dan doa-doanya bernuansa kerinduan

Akhirnya aku bergumam lagi: bodoh amat dengan khotbah itu; aku mau peluk harapan di masa penantian; harapan dan kerinduan; harapan adalah bahasa kerinduan dan cinta pendongkrak stamina selama perjalanan di dunia

Koq bisa ya aku mem-bodoh-amat-kan khotbah itu; akhirnya aku sadar kenapa bisa, yah, karena telah mendapatkan energi jiwa dari lagu-lagu Adventus bernuansa penantian itu; hahahahahaha, daler-ku (baca:terbahak-bahak) dalam batin, sendiri, dalam sanubari

Esok hari kubuka jendela, gerimis turun menutupi kehangatan sinar pagi; aku tidak gelisah, juga tidak bertanya kenapa, toh itu bukan berarti tidak ada sinar pagi; akhirnya kakiku terus merengkuh, kadang tegap, kadang terseok-seok, menuju alas tiba yang entah kapan, saat aku benar-benar completely finished oleh saudara kematin yang membawaku ke dalam keabadian pemenuhan Tuhan

Koq bisa begitu ya imanku? wahai koq bisa, koq bisa! datanglah terus bagai anak sungai mengalir tanpa arah kembali; wahai keganjilan, keanehan dan kontradiksi-kontradiksi, datanglah terus meringis-ringis; aku tidak peduli lagi; pemenuhan bersama kekasih Sang Cinta adalah masa depanku yang pasti

(gnb:tmn aries:jkt:minggu kedua adventus, desember 2023)

 

Baca juga artikel terkait NARASI PUITIK atau tulisan menarik Gerard Bibang lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


gerard bibang, wajah, daun-daun kering, Tikungan Dungu nyawa kepadamu kepadaku

Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.