Topik yang dirumuskan untuk kolom Fatamorgana Bahasa Indonesia (FBI) edisi ini sama sekali tidak bermaksud menyinggung materi debat capres yang berkampanye tentang program strategis makan gratis. Mengapa? Karena urusan makan-minum itu merupakan urusan keseharian semua manusia sekadar mempertahankan hidup.
Ulasan ini berkaitan dengan persoalan bahasa, bukan urusan makan minum. Kampanye perihal makan gratis ini hanyalah pemantik yang akhirnya mengingatkan kami akan pengalaman berinteraksi dengan para mahasiswa saat kuliah bahasa Indonesia.
Pada suatu kesempatan kuliah bahasa Indonesia, di salah satu program studi, kami mendapatkan hal yang menarik yang kami jadikan dasar hadirlah ulasan ini. Ketika berbicara dan menyinggung kategori atau jenis kata, peserta kuliah diminta menyebutkan (secara lisan) jenis-jenis kata dalam bahasa Indonesia. Peserta kuliah, sebagian besarnya, beramai-ramai menyebutkan hanya tiga jenis kata yakni kata kerja, kata benda, dan kata sifat. Jenis-jenis kata yang lain tampaknya belum masuk ke dalam skemata pengetahuan peserta kuliah karena tidak muncul dalam jawaban yang mereka sampaikan.
Saat dimintai contoh kata kerja, mereka kembali menyebutkan kata makan, minum, pakai, kubur, suruh, urus. Jawaban-jawaban seperti ini kami apresiasi karena semua jawaban yang diberikan sungguh tepat menjadi jawaban atas pertanyaan.
Lebih lanjut, ketika ditanyakan, apa kata bendanya kata “makan” dan kata “minum”, muncul jawaban: nasi, roti, pisang, mangga, air, kopi, teh, susu. Jawaban-jawaban seperti ini mengejutkan karena tidak sesuai dengan pertanyaan yang kami berikan.
Hal yang ditanyakan kategori atau jenis kata “benda” untuk kata “makan” dan kata “minum”, bukan benda apa yang bisa dimakan dan yang bisa diminum.
Ketika ditanya lebih lanjut, “nasi, roti, pisang, mangga” itu apa? dan “air, kopi, teh, susu” itu apa? Semuanya terdiam dalam ekspresi yang tampaknya sulit memberi jawaban.
Setelah agak lama berpikir akhirnya muncul jawaban bahwa semuanya itu terwakilkan dalam kata “makanan” dan “minuman”. Artinya kata “makan” dan “minum” yang sebelumnya berkategori kata kerja (verba) berubah menjadi kata berkategori benda (nomina).
Perubahannya jelas terlihat karena kehadiran unsur –an yang dikenal sebagai imbuhan akhir (sufiks) dilekatkan pada bagian akhir bentuk dasar makan dan minum.
Ada hal penting, terkait masalah bahasa yang bisa kita dapatkan dari proses dan interaksi di ruangan kuliah bahasa Indonesia ini. Hal penting itu berkaitan dengan konsep tentang kata kerja (verba), kata benda (nomina), dan peran afiks (imbuhan) akhir –an dalam pembentukan dan kategori kata.
Kata kerja (verba) adalah kelas kata yang umumnya mengisi fungsi predikat dalam konstruksi kalimat (Kridalaksana, 1993:226). Kamus Besar bahasa Indonesia membatasi kata kerja sebagai kata yang menggambarkan proses, menunjukkan perbuatan, atau keadaan. Ada banyak cara yang bisa dipakai untuk mengidentifikasi atau mengenali kata kerja, antara lain harus dapat menjawab pertanyaan (a) apakah kata itu menyatakan perbuatan, tindakan; (b) apakah kata itu menyatakan makna proses; (c) apakah kata itu berimbuhan me-, di-, ber, ter-; (d) apakah kata itu dapat diperluas dengan frasa “dengan ditambah kata sifat” atau “dengan ditambah kata benda”; (e) apakah kata itu dapat diikuti dengan keterangan waktu, tempat; (f) apakah kata itu hanya bisa dinegasikan atau diingkari dengan kata “tidak”?
Kalau semua pertanyaan itu dijawab “ya bisa” maka dapat dipastikan itu kata kerja (verba).
Kata benda atau nomina digambarkan sebagai kelas kata yang biasanya menduduki fungsi subjek atau objek dari klausa yang sering dipadankan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di luar bahasa (Kridalaksana, 1993:145—146). Ada pula batasan yang lebih sederhana bahwa kata benda adalah kata yang menyebutkan nama orang, hewan, tempat.
Seperti halnya kata kerja, kata benda juga dapat diidentifikasi dengan beberapa ketentuan, antara lain dapat menjawab pertanyaan (a) apakah kata itu dapat diingkari atau dinegasikan dengan kata “bukan”; (b) apakah kata itu dapat diperluas dengan kata “yang ditambah kata sifat”; (c) apakah kata itu dapat diikuti dan/atau mengikuti kata ganti bilangan baik kata bilangan utama maupun yang menyatakan urutan; (d) apakah kata itu bisa dikuti dan/atau mengikuti kata ganti penunjuk “ini” dan “itu”; (e) apakah kata itu berimbuhan pe-, ke-/-an, -an; (f) apakah kata itu mengikuti artikel si dan sang; (g) apakah kata itu dapat mengikuti kata depan atau preposisi “di, ke, dari, bagi, untuk”; (g) apakah kata itu dapat dilekati enklitik –mu, -ku, -nya”.
Kalau semua pertanyaan ini dijawab dengan “ya dapat ” maka yakinlah kita bahwa itu kata benda.
Berdasarkan uraian tentang kata kerja, kata benda, serta cara mengenali dua kata ini kita melihat bagaimana imbuhan dapat dipakai sebagai “alat” untuk mengubah kata kerja menjadi kata benda. Dalam konteks masalah yang diangkat dalam kolom ini, bagaimana kata “makan” dan “minum” sebagai kata kerja diubah menjadi kata benda. Jawabannya, merujuk pada makna proses morfologis akhiran –an.
Pemakaian imbuhan akhir atau sufiks –an, seperti dikatakan sebelumnya, merupakan penanda kata benda. Secara morfologis akhiran –an itu melekat pada kata benda, kata kerja, dan kata bilangan (numeralia). Pelekatan akhiran –an pada kata berkategori benda dan kata berkategori bilangan tidak berpengaruh terhadap perpindahan kategori kata. Lain halnya dengan pelekataan –an pada kata berkategori kerja. Pelekatan yang mengubah kategori kata justru terjadi ketika akhiran –an itu dilekatkan pada kata kerja.
Secara teoretis, pelekatan –an pada kata kerja, kata, benda, dan kata bilangan menegaskan bahwa fungsi akhiran –an adalah membentuk kata benda. Karena itu, kata kerja makan, minum, pakai, kubur, suruh, urus dapat diubah menjadi kata benda dengan mengimbuhkan akhiran –an pada setiap kata tersebut sehingga muncul bentuk makanan, minuman, pakaian, kuburan, suruhan, urusan.
Selain “berfungsi” membentuk kata benda, akhiran –an itu juga dalam pemakaiannya “bermakna “ (a) menyatakan “sesuatu” yang berkaitan dengan perbuatan sebagaimana dinyatakan dalam bentuk dasarnya (ajar menjadi ajaran) . “Sesuatu” bisa merujuk pada perbuatan (balas menjadi balasan), alat (timbang menjadi timbangan), dan sesuatu yang biasa dikenai perbuatan (makan-makanan), hasil (karang- karangan); (b) bermakna menyatakan “tiap-tiap” (hari-harian); (c) bermakna menyatakan satuan sebagaimana disebutkan dalam bentuk dasarnya (ratus-ratusan) ; (d) bermakna beberapa (ribu menjadi ribuan); (5) bermakna kira-kira atau sekitar (tahun 2000- tahun 2000-an).
Hal pokok yang dapat kita pelajari dari keseluruhan uraian ini minimal kita mengetahui bahwa (a) kata kerja dapat diubah menjadi kata benda dengan memanfaatkan atau melekatkan bentuk dasar kata dengan akhiran –an, (b) semua kata yang yang berakhiran –an merupakan kata benda. Kata makan itu berkategori kata kerja dan dapat diubah menjadi kata benda setelah dilekati dengan akhiran -an.
Konstruksi frasa “makan gratis“ bermakna tindakan me- (memakan) tanpa biaya, tetapi frasa “makanan gratis” bermakna benda atau sesuatu yang dimakan itu tidak dibeli. Jelas “makan gratis” itu menyatakan tindakan, sedangkan “makanan gratis” menyatakan adanya benda yang bisa dimakan (dikonsumsi) tanpa harus berbayar.
Kita bisa memastikan, bentuk yang benar dan harus dipakai dalam tindakan berbahasa bukan “makan gratis” melainkan “makanan gratis”. Mengapa? Karena kata makan (memakan) itu dalam konstruksi kalimat mengisi fungsi predikat dan setelah predikat mestinya kata benda yang mengisi fungsi objek bukan kata sifat yang merupakan perluasan kata benda.
Frasa “makanan gratis” dalam konstruksi kalimat hanya bisa mengisi fungsi subjek atau objek. Hal ini menegaskan bahwa benar kata “makanan” yang diperluas kata sifat “gratis” itu merupakan kata benda. Kita bisa membuktikannya dengan memperhatikan dua kalimat berikut.
(a) Makanan gratis memungkinkan orang malas bekerja.
(b) Ibu dan anak-anak menunggu makanan gratis setelah pemilu.
Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com
Bonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2 . Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.