Mengenal dan Mengenang Kebersamaan dengan Mgr. Hieronimus Pakaenoni

Bagian II dari 4 Tulisan NARASI TENTANG PERSAHABATAN

Avatar of Redaksi Krebadia
Putra Noemuti, Timor, itu kini menjadi uskup agung Kupang: Mgr. Hieronimus Pakaenoni. (Facebook/Stefanus Wolo Itu) 
Putra Noemuti, Timor, itu kini menjadi uskup agung Kupang: Mgr. Hieronimus Pakaenoni. (Facebook/Stefanus Wolo Itu) 

Ditulis oleh Stefanus Wolo Itu

Saya pertama kali mengenal Mgr. Roni hampir 35 tahun lalu. Tepatnya pertengahan Juli 1989 di Wisma Tiong Lela Maumere. Kami 82 calon imam projo dari 8 keuskupan di Indonesia menjalani tahun orientasi rohani (TOR) di sana.

Dari Keuskupan Samarinda 3 orang, Denpasar 4 orang, Weetabula 9 orang, Agung Kupang 6 orang, Atambua 7 orang, Larantuka 15 orang, Agung Ende 18 orang, dan Ruteng 20 orang. Pendamping spiritual kami RD. Vinsen Sensi (kemudian uskup agung Ende) dan RD. Ansel Leu (imam projo Keuskupan Agung Kupang).

Setelah melewati proses panjang formasi, 41,97% atau 34 orang menjadi imam: 1 dari Keuskupan Denpasar, 1 dari Samarinda, 2 dari Kupang (RD. Roni Pakaenoni dan RD. Dus Duka), 2 dari Weetabula, 2 dari Atambua, 9 dari Larantuka, 8 dari Agung Ende, dan 9 dari Ruteng.

Sementara 48 orang atau 58,53% menjadi bapak keluarga dan rasul awam. Tiga rekan imam sudah meninggal (RD. Angelus Nahak, RD. Yos Helmu Molan, dan RD. Apolo Waiwuri Wuwur) dan lima awam (Stef Resi Tukan, Sil Nani Ladi, Petrus Damianus Sani, Kanisius Sarimin, dan Frederik H. Nuka). Dua rekan imam sudah mengundurkan diri.

Sejak pertemuan pertama, saya perlahan-lahan mengenal Roni. Roni berasal dari Noemuti, tamatan Seminari Lalian dan calon imam Keuskupan Agung Kupang. Roni tampak tenang-tenang, tapi pribadi multitalenta.

Roni pemilik suara bas dan menjadi salah satu penyanyi bas andalan kor angkatan kami pimpinan Laurens Teon, Kanis Sarimin, dan Fidelis Sawu. Dia juga bisa tampil di panggung bersama penyanyi kocak TOR 89 Laurens Murin Hera, Maksi Sobe, Edy Nuka, Ven Genggor, Uni Ganti Gai, dan Martin Chen.

Roni berbadan gempal dan gendut. Tapi dia bisa bermain bola kaki. Untuk menggusur lawan dia sering pasang badan dan pantat. Pemain berpostur kecil seperti Philipus Takoy sebaiknya menjauh. Pemain lawan jangan coba-coba “curi kakinya dari belakang tanpa bola”. Bisa-bisa kena cekik. Senior kami Tata Mus Nasu Ofong almarhum nyaris tuch, ha ha. Roni, Robert Pelita, dan saya menjadi bek angkatan pasca-kepergian Kalistus Mosa, Ven Genggor, dan Ignas De Quirino.

Roni suka kenakan baju batik dan celana tissue. Terkesan kalem dan berwibawa. Roni berkumis tebal, turut menghiasi senyumannya dan luwes dalam pergaulan. Saat awal TOR Lela belum banyak teman tahu bermain knasta. Selain RD. Sensi dan RD. Ansel, hanya Roni, Fidelis Sawu (pengawas SMA di Nagekeo), dan saya. Roni dan saya selalu berpasangan melawan RD. Ansel Leu dan Fidelis Sawu. Beberapa bulan kemudian banyak teman yang bisa bermain knasta.

Suatu kesempatan ada pertandingan knasta di TOR Lela. Kami berdua masuk final dan memenangkan pertandingan menegangkan melawan RD. Sensi dan RD. Ansel. Roni beberapa kali berhasil mengumpan RD. Ansel dan menangkap kartu terakhir “Bur” atau “Nona Klaver” yang dibuang RD. Ansel. Saya ingat RD. Sensi kecewa dan menggerutu: “Ansel … Ansel … Ansel … engkau kurang hati-hati!” Roni dan saya senyum-senyum campur segan. Rasa berdosa mengalahkan romo spiritual dan socius.

Roni juga suka bermain catur dan perokok. Bila sedang jenuh, dia pasti mengetuk pintu kamar Ferdinand Erikson atau Domi Wawo. Erik dan Domi adalah “baba penyedia rokok sekaligus penyimpan catur”. Menariknya, mayoritas pecatur kami juga perokok seperti Mansu Hariman, Edy Nuka, Laurens Teon, Deny Sulbadri, Sipri Muda Hondo, Luci Mundur, Bertinus Isang Ipui (putra Dayak yang tampilannya mirip Bruce Lee).

Saya ingat kode mereka ketika sedang ketiadaan rokok: “Ada ko?” Itu artinya ada rokok ko? “Bagi dulu!” Erik dan Domi sangat peka. Domi Wawo apalagi. Kepekaannya luar biasa. Dia buka pintu kamar, keluarkan rokok dan ambil catur. Satu ronde dulu sambil selesaikan sebatang rokok. Rokok laris, rekreasi terpenuhi, dan persaudaraan terawat.

Roni itu pribadi yang taat. Ada kisah menarik. Saat masuk tingkat satu Ritapiret tahun 1990/1991, pendamping kami RD. Hubert Leteng (kemudian Uskup Hubert) mengusung program kebersihan diri. Salah satu yang harus dibersihkan adalah: kumis. “Para frater tingkat satu harus mencukur kumis. Itu identitas tingkat satu,” tegas RD. Hubert.

Kami yang tak berkumis nyaman. Tapi teman-teman yang berkumis cukup terganggu. Saya ingat tiga teman yang bersikeras mempertahankan kumisnya: Roni Pakaenoni, Roni Neto Wuli (saat ini Dr. Rofinus Neto Wuli), dan Eman Tulasi (birokrat di Kefamenanu, pencinta sandal Lily, ha ha).

Tentu mereka punya alasan. Kumis tidak perlu dicukur. Yang penting rapi dan berperilaku santun. Saya jadi ingat komentar Richard Dawkins, penulis Britania kelahiran Kenya: “Hitler dan Stalin punya kumis, tapi toh kita tidak mengatakan bahwa kumis merekalah yang membuat mereka jahat”. He he he.

Tapi RD. Hubert Leteng terus memberi ultimatum hingga jam 12.00 malam. Trio berkumis takluk dan rupanya tengah malam mencukur kumis. Mereka hadiri misa pagi tanpa kumis. Kami tersenyum menyaksikan bibir-bibir tanpa kumis. Bibir mereka tampak seperti agak bengkak. Rupanya ini cukuran pertama sejak kumis mereka bertumbuh. Yach, mereka harus taat demi identitas kolektif tingkat satu.

Saya mengenal kemampuan intelektual Uskup Roni. Beliau merupakan salah satu orang cerdas di kelas kami. Saya ingat banyak teman kami yang cerdas: Martin Chen, Remigius Asnabun, Vincent De Ornay, Wall Abulat, Ompy Latu Batara, Richard Muga Buku, Rofinus Neto Wuli, Fidelis Sawu, Kunibertus Ganti Gai, Yermin Rongan, Anjelus Nahak, Gerardus B. Duka, dan masih banyak lagi. “Roni cerdas sejak di Seminari Lalian. Bahkan sejak SD dan SMP di Noemuti,” kata teman Wens Fahik (saat ini ketua DPP Paroki Katedral Atambua).

Saya menyaksikan Roni banyak membaca buku berkualitas. Roni mengagumi konsep konsientisasi pendidikan filsuf Brasil, Paulo Freire. Saat diskusi akademis, Roni mengajukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis. Dia menulis gagasan-gagasan bernas di majalah dinding, buletin, dan majalah Biduk Ritapiret. “Sejak di Lalian, Roni sudah menulis di majalah dinding dan majalah kesayangan Lalian: Sol Oriens,” lanjut Wens Fahik.

Selama tingkat VI, para pembina rumah Rita memercayakan kami berdua sebagai socius tingkat III. Kamar kami berhadapan, berdampingan dengan kamar makan pembina dan kamar makan fratres. Kami sering duduk ceritera, berekreasi, olah raga, kerja, dan pesiar bersama ke Maumere.

Roni menjalani hidup rohani, menulis refleksi dan menghayatinya. Refleksi-refleksi kehidupan rohaninya amat mendalam. Sarat dengan nuansa biblis-teologis yang bernas. Saya menduga Roni banyak menimba inspirasi dari santo pelindungnya: Hieronimus, penulis Vulgata, De Viris Illustribus, dan Chronicon.

Saya ingat kalimat terkenal dari Hieronimus: “Liebe die Heilige Schrift und die Weisheit wird dich lieben. Liebe Sie zärtlich, und sie wird dich beschützen – Cintailah Kitab Suci, dan kebijaksanaan akan mencintai engkau. Cintailah dia dengan lemah lembut, dia akan melindungi engkau.”

Menjelang tahbisan diakon, Roni sering men-sharing-kan pengalaman akan kasih Allah. Dia berkeyakinan bahwa pengalaman akan kasih Allah menjadi semakin terpenuhi manakala kita coba mengenal Tuhan dalam sabda-Nya yang selalu terucap setiap hari.

Saya berkeyakinan Roni akan dikirim uskupnya melanjutkan studi di luar negeri. Dia bisa mengambil bidang teologi atau Kita Suci untuk kepentingan karya pastoral Keuskupan Kupang. Seingat saya Roni mengagumi Karl Rahner, teolog Katolik Roma yang berpengaruh abad ke-20, kelahiran Freiburg im Breisgau, Jerman Selatan, 50-an kilometer dari tempat tinggal saya saat ini: Eiken.

Dan terjawab, setelah beberapa tahun di paroki, Roni melanjutkan studi teologi dogmatik di Roma. Roni kembali, mengajar, membina calon imam sambil mengemban beberapa tugas penting di keuskupan. (Bersambung)

 

Penulis adalah imam projo Keuskupan Agung Ende Flores. Teman kelas Mgr. Hieronimus Pakaenoni di Seminari Tinggi Ritapiret dan STFK Ledalero 1989–1997. Saat ini misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel Swiss.

SUMBER