SOSOK  

Mengenang Romo Gerardus Janur

Avatar of Redaksi Krebadia
IMG 20240605 WA0001

Ditulis oleh Armin Bell

Romo Geradus Janur pastor paroki kami waktu saya masih SD. Paroki St. Markus Pateng – Rego. Pastor yang berkhotbah dengan tidak berapi-api tetapi banyak bercerita, pembawa bibit-bibit kemiri ke kampung kami, pemain bola yang hebat dan ulet, pastor yang tegas tetapi tidak ‘banyak mau’, dan sahabat yang percaya bahwa saya bisa.

“Armin, kau bisa. Pasti bisa,” katanya berkali-kali, sejak saya kecil sampai saat ini, di tempat-tempat yang berbeda.

Kami mengalami beberapa fase bertemu. Saat saya kecil di Pateng, saat saya balik Ruteng setelah kuliah dan mulai aktif di OMK dan beliau adalah vikep Ruteng, saat saya mulai sibuk bekerja dan beliau mengurus Yayasan St. Paulus Ruteng, saat saya sudah berkeluarga dan beliau sering memimpin misa di paroki kami, saat saya ke Borong dan beliau sudah bertugas di sana: kami ngobrol. “Kau bisa itu.” Selalu begitu katanya setiap kami bicara tentang ide-ide baik.

Barangkali karena di matanya “saya bisa”, saya dimintanya jadi pewara (MC) saat beliau merayakan pesta perak imamatnya di kampungnya. Saya masih menganggapnya sebagai Romo Gerardus dari masa kecil saya sehingga menggunakan momen pesta itu untuk mengingatkannya bahwa selain bermain bola dengan baik, Romo Gerardus juga bermain bola dengan keras dan beberapa kali mendapat kartu merah di lapangan. Beliau tertawa keras-keras, saya senang sebab berhasil melucu; “Tetapi di karya imamatnya Romo Gerardus selalu dapat kartu hijau,” saya bilang begitu, “sebab karya-karyanya untuk lingkungan hidup sangat baik di Rego.” Umat Paroki St. Markus Pateng Rego yang hadir saat itu bertepuk tangan, Romo Gerardus tersenyum simpul.

Beliau sederhana. Tidak tahu bagaimana menghadapi pujian selain dengan tertawa malu-malu. Itu yang saya tahu. Romo Gerardus tak pernah berusaha mengambil pujian atas banyak hal baik yang sudah dibuatnya tetapi tidak enggan berbagi tips suksesnya mendampingi umat; beliau senang menceritakan pengalaman-pengalamannya.

Dalam beberapa kesempatan, beliau berseri-seri sebab bisa menebak kalimat-kalimat tertentu yang bertebaran di mana-mana sebagai: “Saya tahu ini kau yang tulis, Armin” dan saya mengangguk. Dia tidak memuji dengan kata-kata semacam “Armin, kau hebat!” atau “Menyala Abangkuh!” tetapi bahwa dia mengenali cara saya menulis, sesungguhnya telah melampaui kalimat-kalimat serupa itu. Misalkan Romo Gerardus suatu ketika bilang “oke gas, oke gas” kepada saya, saya pasti rem. Itu bukan Romo Gerardus yang saya kenal. Kalimat langsung terbaiknya pada saya adalah “Kau bisa, Armin!” Selebihnya? Dia mengenali karya-karya saya dan mengakui bahwa dia mengenalinya.

Barangkali Romo Gerardus adalah bagian dari generasi yang tak bisa memuji dengan kata-kata, tetapi kau tahu bahwa beliau mengapresiasi kemampuanmu (baca: memujimu) ketika memberimu ruang untuk tampil. Romo Gerardus melakukan itu pada saya, pada orang-orang di sekitarnya; tidak memuji tetapi memberimu kesempatan menunjukkan diri. Laku yang mengingatkan saya pada rumah kami. Rumah yang juga Romo Gerardus kenali sebab dia adalah juga sahabat keluarga.

Pagi tadi kakak sulung saya mengirim pesan di WA. “Pagi, betulkah berita mengenai Romo Gerardus J?” Saya langsung cek ke grup-grup WA di mana kabar-kabar tentang pastor akan beredar secepat peristiwa aslinya. Saya cek dengan segera sebab ‘berita tentang romo’ adalah frasa yang mencemaskan pada hari-hari ini dan saya tidak ingin menemukan berita Romo Gerardus ada di pusaran itu. Dan tentu saja tidak. Romo Gerardus tidak ada di pusaran itu, saya tahu, dan karenanya saya merasa berdosa atas kecemasan awal saya.

Tetapi, beliau meninggal dunia. Begitu kabar di grup-grup itu.

Romo Gerardus menyelesaikan ziarah imamatnya dengan hebat, dan saya mengenangnya saat ini dengan penuh rasa hormat: semoga kebaikannya berbalas surga.

Selamat jalan, Romo.

SUMBER

https://www.facebook.com/share/JAv1RjtM71b8fWYx/?mibextid=oFDkn