Mengkritisi “Imagine” Lennon

Kritik dan gugatan yang dilontarkan dalam lagu “Imagine” hanya menyangkut hal-hal yang ada di permukaan saja. Tidak lebih dari itu. 

Avatar of Redaksi Krebadia
IMG 20240605 WA0002

Ditulis oleh Fransiskus Borgias 

Pengantar Singkat

Kiranya kita semua tahu dan mungkin juga akrab dengan lagu yang berjudul “Imagine” dari kelompok The Beatles. Sebab memang lagu itu rasanya sih sangat terkenal dan masih terus didengarkan orang hingga saat ini. Saya termasuk orang yang masih sangat suka mendengarkan lagu tersebut. Memang lagu itu merupakan salah satu lagu yang membuat grup musik itu menjadi popular pada zamannya karena seakan-akan menjadi sebuah corong untuk menyuarakan apa yang menjadi suara kegelisahan banyak orang di dalam masyarakat.

Kritik dan Memberontaki Wacana Teologi 

Apa pun alasannya lagu itu terkenal, bagi saya ia menjadi terkenal terutama karena isi syairnya yang mengandung kritik dan nada-nada pemberontakan terhadap semua bentuk tatanan yang mapan (established). Misalnya kritik tentang agama, dan juga tatanan politik. Karena agama itu antara lain mengembangkan dan mengajarkan wacana tentang surga dan neraka, maka kritik agama itu terutama mempersoalkan surga dan neraka itu.

Terkait dengan ini, misalnya ia mengajak kita untuk membayangkan seandainya (imagine) tidak ada surga (there is no heaven), maka dalam bayangan si penyanyi (atau penulis syair), semuanya akan menjadi lebih mudah, asal saja kita mencoba, berusaha (berikhtiar) dengan sungguh-sungguh. Juga akan menjadi lebih mudah semuanya, jika di bawah kita tidak ada neraka (karena neraka selalu dibayangkan berada di bawah kita, dan sebaliknya surga itu ada di atas kita, melampaui kita). Semuanya akan menjadi lebih mudah jika batas itu hanya sebuah bentangan langit (sky) dan bukan surga (heaven).

Bayangan tentang surga itu membuat orang hidup untuk sebuah masa depan, untuk sebuah masa yang beyond kita, masa yang melampaui kita, masa yang masih akan datang, dan bukan masa sekarang ini. Justru karena itu, orang lupa, abai terhadap masa kini, lalai menaruh peduli pada masa kini. Penulis syair lagu itu membayangkan bahwa semuanya akan menjadi lebih mudah dan indah jika semua orang hidup untuk hari ini saja, hidup pada hari ini. Hal itulah yang bisa kita lihat dan rasakan dalam bait pertama dari lagu tersebut.

Kritik dan Memberontaki Wacana Politik

Selanjutnya, dalam bait yang kedua, penulis syair lagu itu dan juga penyanyinya, mengajak kita untuk bersama-sama mengeritik sebuah tatanan sosio-politik, setidaknya yang tertuang dalam bentuk atau wujud konkret negara. Negara itu juga adalah sebuah batasan dan sebuah tuntutan. Itu juga menimbulkan kesulitan dan masalah tertentu bagi kita manusia. Karena itu ia mengajak kita untuk membayangkan (imagine) bahwa negara-negara (countries) tidak ada saja (there is no countries).

Ia juga membayangkan bahwa kondisi tanpa negara itu akan memudahkan semua orang, sebab dengan itu kita tidak harus membunuh atau tidak ada sesuatu yang menuntut atau memaksa kita untuk mati demi sesuatu. Kembali lagi ia mengkritik agama, dan kali ini agama itu ia lihat dalam kaitan dengan negara. Sama seperti negara, agama pun terasa membatasi dan menuntut dan juga memaksa, bahkan bila perlu membunuh dan bersedia mati demi atau untuk sesuatu, sebuah idealisme tertentu. Yang di atas tadi, tentu idealisme politis semacam gagasan patriotisme chauvenistik), dan yang ini, mungkin semacam idealisme religius atau teologis, mati sahid atau mati sebagai martir. Jika semuanya itu tidak ada, maka ia membayangkan semua orang akan bisa hidup di dalam keadaan damai sejahtera.

Kesadaran yang Realistik 

John Lennon, yang melantunkan lagu itu, sadar bahwa idealisme yang ia bentangkan dan cita-citakan tidak berterima untuk semua orang. Karena itu ia mengakui bahwa bisa saja ada pihak yang mencap dia sebagai seorang tukang mimpi (a dreamer). Tetapi ia tetap optimistis, karena ia tidak seorang diri, melainkan ada banyak orang lain yang menyertai dia, memiliki mimpi yang sama dengan dia. Karena itu ia berharap bahwa para pengecamnya sekarang, pada suatu hari kelak bisa ikut bergabung di dalam impian dia dan mereka, sehingga semua orang menjadi satu dan bersatu hati. Penggalan catatan kritis dan realistik ini diulang lagi di bagian akhir dari syair lagu itu.

Tetapi sebelum ulangan terakhir itu, ia masih menulis sebuah kritik sosial tentang pemilikan harta (property rights). Ia mengajak kita untuk membayangkan bahwa seandainya saja dunia ini tidak ada harta milik walaupun mungkin hal itu barangkali tidak mungkin juga. Tetapi setidaknya, jika hal itu terjadi, maka tidak ada keserakahan dan ketamakan yang menjadi sumber, dasar, alasan orang bertengkar, bertikai, berperang, saling membunuh.

Itu sebabnya di baris terakhir larik ini ia membayangkan bahwa semua orang akan menjadi bersatu di dalam satu ikatan persaudaran (a brotherhood of man). Hal itu hanya bisa terjadi jika semua orang saling berbagi (sharing) sumber daya yang ada dalam dunia ini. Tidak ada monopoli, tidak ada penumpukan yang tidak perlu.

Jika dilihat dengan cara pandang seperti itu, jelas bahwa lagu ini menjadi semacam counter movement, menjadi sebuah counter spirituality, jika meminjam istilah yang pernah dipakai dan dikembangkan oleh seorang teolog karmelit Belanda, di Nijmegen, Pater Kees Waijman O.Carm.

Menyiasati Misteri Kelam Hidup

Mungkin kita sempat berpikir dan mengira bahwa si penulis lagu ini adalah manusia yang sangat radikal karena mau mempersoalkan segala sesuatu hingga ke akar-akarnya (radix, akar kata radikal itu). Tetapi menurut saya tidak demikian. Karena dalam pengamatan saya, ada satu hal yang tidak digugat dan dikritik oleh John Lennon. Yaitu mengapa manusia membangun dan mengembangkan banyak narasi-narasi besar (grand narrative) seperti agama dan tatanan politik itu?

Secara khusus saya mau mengarahkan perhatian pada narasi-narasi agama. Menurut hemat saya, narasi agama itu dikembangkan oleh manusia karena ia mencoba memahami misteri kelam yang meliputi dan mengitari hidup manusia, misteri yang membuat manusia itu seperti termangu, melongok dan bingung juga.

Yang saya maksudkan di sini ialah misteri masa silam (terkait dengan pertanyaan pokok dan eksistensial manusia, dari mana kita berasal) dan misteri masa depan (terkait dengan pertanyaan pokok dan eksistensial manusia, ke mana kita akan pergi sesudah berada di sini). Dengan kata lain, pertanyaan eksistensial terkait dengan protologi dan eskatologi. John Lennon itu masih kurang radikal sebenarnya. Seharusnya ia juga bertanya dan mempertanyakan misteri yang kelam itu: Imagine, if there is no mystery, a mystery of beginning and the mystery of the ending of human worldly existence.

Dan justru karena adanya misteri kelam itu, maka ada kebingungan, ada kegamangan, ada juga kesepian (loneliness). Menurut saya, justru karena ada misteri kelam itu, maka muncullah banyak narasi-narasi tadi. Narasi-narasi tadi itu dimaksudkan untuk sedikit banyak menyingkap barang sedikit kekelaman kabut misteri itu dan dengan cara itu, budi dan hati manusia seperti sudah terbuka dan tercerahkan dan tidak lagi serba-terimpit dalam kesempitan sebuah tempurung yang tertutup dan serba-membatasi cakrawala pandangan manusia.

Sekadar Catatan Penutup 

Rasanya sih, Lennon mungkin sadar akan hal itu, tetapi juga tidak punya cukup keberanian untuk juga menggugat hal yang mendasar dan eksistensial itu. Sebab jika ia melakukan gugatan itu, maka sebenarnya ia sedang menggugat seluruh hidup dan dasar keberadaannya sendiri juga. Dan itu hampir tidak mungkin dilakukan juga oleh seorang filsuf eksistensialis sekalipun.

Oleh karena itu, bagi saya sendiri, kritik-kritik dan gugatan yang dilontarkan akhirnya hanya menyangkut hal-hal yang ada di permukaan saja. Jika dilihat dengan cara seperti itu, maka kritik dan gugatan itu akhirnya tidak sangat mendasar juga. Hanya sebatas tampil ekstentrik dalam sebuah untaian syair lagu yang indah saja. Tidak lebih dari itu.

Tetapi hal itu sudah cukup membuat orang terpukau, termangu, kagum, terbius oleh lantunan nada-nada puitik Lennonisme itu. Ya, memang Lennon sudah memiliki penggemar tersendiri, dan saya pun termasuk di dalamnya, walaupun tidak secara filosofis dan teologis. Cukup secara melodis dan lirikal saja. Interaksi kita cukup pada level itu saja. Dan itu sudah lebih dari cukup.

Bandung, Taman Kopo Indah II.