Satu pesan yang dikirim melalui WhatsApp tergolong telat kami baca. Maklum terlampau banyak pesan masuk terkait pilpres yang hampir pasti sulit dibedakan mana berita benar dan mana berita bohong (hoaks). Pesan yang terlewatkan ini ternyata satu pertanyaan berkaitan dengan masalah bahasa.
Penggalan pesannya, “Saya mau tanya kira-kira apa perbedaan mendasar dari menjadi manusia merdeka dan manusia bebas?”
Satu sisi, dengan nada pertanyaan ini memang terkesan adanya jawaban spekulatif yang tersirat dalam kata “kira-kira”, tetapi di sisi lain pertanyaan ini sekaligus mengandung harapan adanya jawaban pasti dan meyakinkan yang tersirat dalam frasa “perbedaan mendasar”.
Kata “merdeka” dan “bebas” yang ditanyakan di atas sering dipakai secara bergantian atau dapat dipertukarkan karena diyakini memiliki makna yang berdekatan. Dua kata yang secara bentuk berbeda tetapi bermakna hampir sama dalam kajian semantik (kajian tentang makna) dikenal dengan sebutan sinonim. Kemiripan makna dari dua bentuk berbeda (sinonim) ini juga tidak bisa dipertukar secara mutlak karena dalam praktik berbahasa semua sinonim itu dibatasi dengan kaidah kolokasi. Konsep kolokatif mengingatkan para pebahasa untuk menggunakan kata sinonim secara cermat dan tepat.
Kata “tidak” dan “bukan” misalnya, bermakna hampir sama yakni menegasikan sesuatu. Bentuk “bukan” selalu menegasikan kata benda (selalu diikuti kata benda), sedangkan kata “tidak” menegasikan selain kata benda (kata kerja, kata, sifat). Pemakaian bentuk “bukan” berkolokasi dengan kata benda dan pemakaian kata “tidak” berkolokasi dengan kata kerja, kata sifat.
Bertolak dari pemahaman kita akan adanya konsep sinonim dan pemakaiannya yang bersifat kolokatif seperti ini, kita mencoba mencari perbedaan mendasar untuk kata “merdeka” dan kata “bebas” yang ditanyakan. Semua orang yang mendalami persoalan bahasa mengakui bahwa kata “merdeka” dan kata “bebas” merupakan bentuk sinonim.
Langkah pertama yang harus dirunut tentu saja berkaitan dengan asal-muasal kata “merdeka” dan “bebas” itu. Kata “merdeka” itu secara etimologis diasalkan dari bahasa Kawi (mahardika) berarti bebas; berbudi luhur. Dalam bahasa Sanskerta kata itu berasal dari kata “maharddhika” berarti (1) ‘rahib/biku’ atau ‘keramat, sangat bijaksana/alim’ (2) berarti kaya, sejahtera dan kuat (3) bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu.
Pada masa ekspansi Belanda dan Portugis bentuk “maharddhika” ini diturunkan ke dalam bahasa Belanda “Mardijkers” yang ditengarai diadopsi secara kurang tepat dari bahasa Portugis. Kata Mardijkers ini kemudian dipakai penjajah Belanda dan Portugis dengan rujukan atau menunjuk para budak dari India di Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian muncul kata “merdeka” dalam versi Melayu. Seiring perkembangan zaman arti semula kata “maharddhika” mengalami pengurangan makna (penyempitan) sehingga kata itu hanya diartikan sebagai bebas dari segala belenggu, aturan, kekuasaan pihak tertentu.
Lebih jauh lagi, ketika kekuasaan kolonial tergerus dengan adanya berbagai gerakan antikolonial, kata “merdeka” menjadi kata kunci yang pada akhirnya membawa bangsa (Indonesia) pada gerbang “kemerdekaan”. Merdeka, kemerdekaan selalu dikaitkan dengan terputus dan hilangnya relasi majikan-hamba, penjajah-terjajah. Setelah kemerdekaan itu, kata “bebas” menjadi semakin intensif digunakan sampai pada akhirnya tercatat di dalam leksikon. Kata “bebas” lalu dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Melayu karena bahasa Melayu inilah yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia.
Sekadar pembanding saja, masyarakat suku Moro di kawasan Mindanao menggunakan kata merdeka dalam varian “maradeka” yang maknanya identik dengan “merdeka”. Kata “maradeka” sekaligus menjadi nama kelompok pejuang kemerdekaan di kawasan tersebut. Masyarakat Tagalog menyebutnya “maharlika” yang secara etimologis juga berakar pada kata Sanksekerta yang bermakna manusia bebas.
Kata “merdeka” dan kata “bebas” dapat kita temukan dalam leksikon dengan deskripsinya masing-masing. Merdeka berarti: bebas dari perhambaan, penjajahan, berdiri sendiri, lepas, tidak dijajah. Bebas berarti: lepas sama sekali, lepas dari kewajiban, merdeka. Deskripsi makna leksikal ini memperlihatkan bahwa merdeka itu diartikan dengan bebas dan sebaliknya bebas juga diartikan merdeka. Meskipun maknanya bisa dibolak-balikkan, nilai rasanya tetap berbeda. Merdeka selalu dikaitkan dengan penjajah yang berarti merujuk pada pengertian dasar sesuai dengan akar katanya dari Sanksekerta, sedangkan bebas sebagai kata Melayu tidak dikaitkan dengan penjajah. Dengan demikian, meskipun bersinonim, dalam pemakaiannnya kedua kata itu tidak bisa ditukar. Perhatikan contoh-contoh kalimat (a) s.d.(f) berikut.
- Pemilu dalam teorinya menerapkan asas langsung, umum, bebas, rahasia.
- Setelah melewati proses, ia dinyatakan bebas dari tuntutan masuk penjara.
- Kampus memasang peringatan penting, “Kawasan bebas asap rokok.”
- Megawati biasanya membuka pidato dengan pekikan, “Merdeka, merdeka!”
- Para pahlawan kemerdekaan bangsa berprinsip sederhana, “merdeka atau mati!”
- Setiap tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya.
Kalimat (a), (b), dan (c) memuat kata “bebas” dan penempatan kata “bebas” dalam konstruksi sintaksis tersebut berterima karena tepat penggunaannya. Demikian pula kalimat (d), (e), dan (f) memuat kata “merdeka, kemerdekaan”. Meskipun kata bebas dan kata merdeka itu sinonim, kata bebas pada tiga kalimat pertama tidak bisa diganti dengan kata “merdeka” dan “kemerdekaan” yang ada pada tiga kalimat terakhir. Contoh-contoh inilah yang membuktikan bahwa memang kata bersinonim itu dipakai secara tepat mempertimbangkan dimensi kolokatifnya. Jika kita memaksakan mempertukarkan dua kata bersinonim itu maka kita akan menemukan konstruksi kalimat seperti kalaimat-kalimat yang bertanda bintang berikut ini.
- *Pemilu dalam teorinya menerapkan asas langsung, umum, merdeka, rahasia.
- *Setelah melewati proses, ia dinyatakan merdeka dari tuntutan masuk penjara.
- *Kampus memasang peringatan penting, “Kawasan merdeka asap rokok.”
- *Megawati biasanya membuka pidato dengan pekikan, “Bebas, bebas!”
- *Para pahlawan kebebasan bangsa berprinsip sederhana, “bebas atau mati!”
- *Setiap tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia memperingati hari kebebasannya.
Jadi, berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ada dua hal mendasar yang membedakan kata “merdeka” dan kata “bebas” yakni (1) konteks sejarah kelahiran atau asal-usul kata itu berbeda (Sanksekerta dan Melayu), (2) dalam penggunaan dua kata itu selalu mempertimbangan kecocokan tempat (kolokasi) sehingga tidak serta-merta dapat saling menggantikan meskipun keduanya tergolong sinonim.
Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com
Bonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2 . Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.