Mgr. Hieronimus Pakaenoni, Sahabat yang Membanggakan

Bagian III dari 4 Tulisan NARASI TENTANG PERSAHABATAN

Avatar of Redaksi Krebadia
Mgr. Hieronimus Pakaenoni, Sahabat yang Membanggakan
Mereka teman seangkatan di Tahun Orientasi Rohani (TOR) 1989 Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret. Foto kiri: Kunibertus Ganti Gai (Ende), Mgr. Hieroninus Pakaenoni (uskup agung Kupang), dan Yosef Sudarso Sogen (Larantuka). Foto kanan: Yosef Sudarso Sogen, Damianus Wae (Langa Bajawa), RD. Geradus B. Duka (vikjen Keuskupan Agung Kupang), dan Maxi Sobe (Kefamenanu). (Facebook/Stefanus Wolo Itu)

Ditulis oleh Stefanus Wolo Itu

Kami teman-teman TOR 89 berbangga atas keterpilihan Roni menjadi uskup agung Kupang. Kebanggaan yang beralasan. Salah satu teman terbaik terpilih menjadi uskup metropolitan Kupang. Beliau memimpin gereja lokal yang berkedudukan di ibu kota Provinsi NTT. 

Tentu tidak hanya sebatas berbangga. Kami juga bersyukur, berdoa, dan memberikan dukungan moril. Sejumlah teman di Indonesia berikrar menghadiri upacara penahbisan tanggal 9 Mei 2024 nanti. Mereka turut mendoakan secara langsung sekaligus menerima berkat pontifikat perdana. Ada reuni kecil, main knasta, makan dan minum bersama. Ada obrolan, salaman, dan pelukan hangat. Dan tidak lupa penyerahan kado-kado sederhana. Suasana bakal seru seperti 30-an tahun lalu. 

Saya sendiri tidak bisa hadir tanggal 9 Mei nanti. Saya baru bisa cuti medio Agustus hingga pertengahan September. Saya akan mengatur waktu untuk mampir di Kupang. Saya juga berjanji bertemu beliau saat “lapor diri” ke Roma nanti. Mudah- mudahan dan “bisa bolos” ke Swiss. Demi sahabat dan persahabatan, jarak Roma–Swiss akan terasa seperti Lela–Maumere.  

Selama ini saya menyapanya Roni. Tapi sejak keterpilihannya, saya menyapanya Bapak Uskup Roni. Bila satu kesempatan merayakan ekaristi di wilayah Keuskupan Agung Kupang, dalam doa Syukur Agung, saya harus menyebut “uskup kami Hieronimus”. Saya berdoa agar Uskup Roni mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan ajaran gereja. Juga sesuai dengan harapan dan kerinduan seluruh umat Keuskupan Agung Kupang. 

Dekrit tentang tugas pastoral para uskup dalam gereja menegaskan tritugas uskup, yakni mengajar, menguduskan, dan menggembalakan. Melalui tugas mengajar, seorang uskup mewartakan Injil kepada semua orang. Ia memanggil mereka untuk beriman dan meneguhkan mereka dalam iman yang hidup.

Melalui tugas menguduskan, seorang uskup mengatur dan menjaga kehidupan liturgis dalam gereja. Uskup mendorong umat beriman agar semakin menyelami dan menghayati misteri Paskah melalui perayaan ekaristi suci. Uskup menjadi teladan kesucian dalam cinta kasih, kerendahan hati, dan hidup ugahari.

Melalui tugas menggembalakan, seorang uskup menjadi pelayan di tengah umat. Uskup adalah gembala baik yang mengenal dan dikenal oleh domba-dombanya. Dia mengetahui situasi dan kondisi nyata umat. Uskup mengepalai kolegialitas para imam, menjadi bapak dan sahabat mereka. Ia mendengar dan memupuk rasa saling percaya dengan para imam. 

“Mgr. Roni akan memimpin umat Katolik dengan wilayah jurisdiksi lima kabupaten dan satu kotamadya: Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Kota Kupang.

Wilayah jurisdiksi ini memiliki keragaman budaya, sosio ekonomis, sosio politis, dan sosio religius. Dalam ruang keberagaman ini hadir 256.372 umat Katolik (data 2022), 35 paroki, didukung 145 imam diosesan dan biarawan/biarawati dari 43 kongregasi. Demikian sharing teman RD. Bernadus G. Duka, vikjen Keuskupan Agung Kupang saat ini. 

Secara geografis, wilayah Keuskupan Agung Kupang sangat luas. Bahkan paling luas di NTT. Untuk melakukan kunjungan pastoral, uskup bisa menggunakan transportasi darat, laut, dan udara.

Dus juga men-sharing-kan bahwa Keuskupan Agung Kupang seperti halnya gereja-gereja lokal lain di NTT memiliki tantangan-tantangan pastoral aktual.

Mayoritas umat kita petani sederhana. Mereka masih dibelenggu kemiskinan. Mereka hidup di bawah kekangan budaya, keterbatasan pendidikan dan keterampilan. Persoalan lain adalah  dualisme dalam penghayatan iman, masalah ekologis, perantauan ilegal, keterbatasan infrastruktur. Dan tak lupa menguatnya sikap individualistis dan materialistis. 

Kondisi pastoral aktual ini tentu menjadi tantangan bagi Mgr. Roni. Kita tentu tidak bisa membiarkan Uskup Roni berjalan sendirian. Tapi sesuai dengan tugas kegembalaannya, Uskup Roni berperan sebagai “Brückenbauer” atau pembangun jembatan. Beliau memotori jalinan kerja sama antar-umat, pemerintah, gereja-gereja lain, bahkan agama lain. 

Saya optimistis, di bawah kepemimpinan Uskup Roni bersama umat beriman, para imam dan biarawan/biarawati, Keuskupan Agung Kupang akan terus bertumbuh. Daya Roh Kudus akan terus berkarya.

Saya tahu Uskup Roni memiliki keseimbangan dalam aspek-aspek kecakapan: kepribadian, kerohanian, kesehatan lahiriah, intelektual, dan sosial pastoral. 

Teman-teman TOR 89 di Kupang menulis beberapa testimoni. Yoseph Soedarso Sogen menulis: “Sejak kami sama-sama di Kupang,  saya memerhatikan Bapak Uskup Roni sangat sederhana. Pakaiannya bisa dihitung, yang itu-itu saja. Dia tidak terlalu peduli ada uang atau tidak. Tidak melekat pada hal-hal material. Gaya komunikasinya memang agak kering, kita bisa mengantuk. Tapi refleksinya bernas dan mendalam.”

Sementara teman Kunibertus Ganti Gai menulis: “Eja, Uskup Roni kumis stabil dan tetap murah senyum. Dia pribadi bersahaja dan rendah hati. Beliau imam yang setia dan mempunyai karakter pemimpin yang mengayomi.”

Darso dan Uni sama-sama mengamini bahwa Roni adalah pribadi yang dapat dipercaya karena memiliki kualitas kepribadian dan konsistensi jelas antara kata dan tindakan. Darso dan Uni juga bersaksi bahwa Roni memiliki kecerdasan intelektual yang mumpuni. “Roni tetap kutu buku, rajin menulis, dan telah menghasilkan beberapa buku.”

Untuk membuktikan testimoni mereka, beberapa malam lalu saya bertanya langsung pada Uskup Roni tentang buku-buku yang pernah ditulisnya. Beliau langsung  menjawab pertanyaan saya: “Selamat malam, Teman Stef. Ada tiga buku karya saya: (1) Maria dalam Sejarah Keselamatan (Tinjauan Teologi-Biblis); (2) Merdeka Belajar ala Nadiem: Implementasi Ide Kebebasan dalam Pendidikan ala Freire?; (3) Komunitas Basis Gerejawi: Cara Baru Hidup Menggereja Indonesia.

Dalam hati saya sempat bergumam sendiri. Ketiga buku ini meyakinkan saya bahwa Uskup Roni sesungguhnya sudah mempunyai visi yang jelas untuk memimpin dan menata gereja lokal Keuskupan Agung Kupang. Beliau punya visi teologis tentang sejarah keselamatan Allah. Beliau mengikuti dinamika perkembangan situasi sosial, politik dan pendidikan. Beliau punya visi besar untuk  menata gereja lokal. Penguatan dan penataan itu mesti dimulai dari komunitas umat basis. 

Saya optimistis bahwa Uskup Roni pasti bisa menulis surat-surat gembala dan refleksi-refleksi pastoralnya dengan baik dan bernas. Dan mudah-mudahan surat-surat gembala dan refleksi-refleksi pastoralnya diterjemahkan ke bahasa-bahasa asing. Tentu akan menjadi sumbangan yang berarti bagi gereja universal. 

Saya sering membaca surat-surat gembala para uskup dari Nusa Tenggara khususnya atau Indonesia umumnya. Begitu pun dengan hasil-hasil sinode atau musyawarah pastoral kita. Semuanya bernas dan padat berisi. Sayangnya sangat sedikit atau bahkan belum ada yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. 

Mudah-mudahan karya-karya itu bisa menghiasi perpustakaan dan memperkaya khazanah intelektual di Eropa. 

Uskup Roni adalah sahabat yang membanggakan. Kami bangga atas keterpilihanmu. Engkau terpilih karena memiliki kemampuan dan aneka kebajikan. Kami bangga karena Uskup Roni memberikan jawaban “ya” untuk menerima tugas berat dan memikul tanggung jawab besar. Tapi kami tidak cukup hanya berbangga. Semua teman TOR 89 dengan cara yang khas, sesuai dengan kemampuan masing-masing, selalu mendukungmu. (Bersambung) 

 

Penulis adalah teman kelas Mgr. Roni 1989–1997. Imam projo Keuskupan Agung Ende. Saat ini misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel Swiss.

SUMBER