Nomor, Lampiran, Di Tempat

Di Tempat

Dalam ulasan “Fatamorgana Bahasa Indonesia” sebelumnya telah diuraikan tentang salah satu bagian surat yakni bagian yang disebut tembusan. Uraian ini berkaitan dengan bagian lain dari sebuah surat yakni penulisan nomor surat, lampiran surat, dan alamat penerima surat.

Dalam praktiknya, orang menganggap bahwa semua surat itu harus bernomor dan berlampiran. Karena itu, dalam surat-surat (termasuk surat pribadi) kadang-kadang orang mencantumkan unsur nomor surat dan lampirannya selain hal atau perihal.  Hal yang menjadi masalah justru setelah kata nomor tidak dituliskan nomornya dan setelah kata lampiran juga tidak dinyatakan apa dan berapa lampirannya. Hal yang biasanya ditemukan setelah kata nomor dan kata lampiran itu orang menulis tanda hubung (-) yang dimaknai setara dengan pengertian frasa “tidak ada”.

Pertanyaannya, apakah tanda hubung (-) yang dipakai dengan makna menggantikan frasa “tidak ada” itu memang sesuai dengan aturan pemakaian tanda hubung?

Untuk itu, kita merunutnya pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Runutan ini penting, untuk memastikan apakah penggunaannya dalam konteks surat seperti ini dapat dipertanggungjawabkan.

Kitab PUEBI (Sugiarto, 2017:88—90) mencatat tujuh kaidah penggunaan atau pemakaian  tanda hubung (-) yakni (1) menandai bagian kata yang terpenggal oleh pergantian baris;  (2) dipakai untuk menyambung unsur kata ulang; (3) menyambung tanggal, bulan, dan tahun yang dinyatakan dengan angka atau menyambung huruf dalam kata yang dieja satu-satu; (4) tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian kata atau ungkapan; (5) tanda hubung dipakai untuk merangkai (a) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital,  (b) ke- dengan angka (peringkat ke-2), (c) angka dengan -an (tahun 1950-an), (d) kata atau imbuhan dengan singkatan yang berupa huruf kapital (hari-H), (e) kata dengan kata ganti Tuhan (ciptaan-Nya), (f)  huruf dan angka (D-3), (g) kata ganti -ku, -mu, dan -nya dengan singkatan yang berupa huruf kapital (KTP-mu, (6) dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa daerah atau bahasa asing (me-recall); dan (7) digunakan untuk menandai bentuk terikat yang menjadi objek bahasan.

Dari runutan tentang kaidah pemakaian tanda hubung (-) ini, tidak ditemukan penjelasan perihal penggunaannya untuk menggantikan frasa “tidak ada”. Karena itu, praktik mencantumkan tanda hubung (-) untuk bagian surat yang tidak bernomor dan tidak berlampiran dipastikan sebagai praktik berbahasa tulis yang salah. Penulisan Nomor: – dan Lampiran: – tergolong penulisan yang salah. Hal lain yang perlu diluruskan tanda (-) kadang-kadang orang menyebutnya tanda strep.  Tidak ada tanda strep dalam kaidah tanda baca, yang ada hanyalah tanda hubung.

Untuk mengatasi masalah praktik berbahasa tulis (surat-menyurat) seperti ini, tentu yang paling mudah adalah tidak mencantumkan apa yang memang tidak ada. Dalam kasus seperti ini, jika memang suratnya tidak bernomor dan tidak berlampiran maka kata nomor dan lampiran tidak semestinya ditulis pada surat.  Tentu logika dan akal sehat kita bisa menerimanya selain pertimbangan ekonomis (pemborosan kata dan ruang pada lembaran surat).

Selain penggunaan tanda hubung (-) yang salah untuk nomor dan lampiran surat, kita temukan juga terkait pencantuman alamat pihak yang dikirimi surat. Kita sering membaca penggunaan frasa “di tempat” terkait alamat pihak yang dikirimi surat. Sebagai contoh, kami pernah menerima surat pada amplopnya tertulis “Keprodi PBSI di tempat”. Penulisan alamat pada amplop “di tempat” ini terulang lagi dalam surat tersebut.

Tentu bisa dibayangkan bagaimana sulitnya seseorang pembawa surat yang belum mengetahui di mana alamat tempat tinggal kami. Rujukan frasa “di tempat” pada alamat itu di mana persisnya? Surat itu saya temukan di meja ruangan kerja tepatnya di kantor ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unika Santu Paulus Ruteng.

Surat itu kami dapatkan 2 hari setelah kami kembali dari tempat penarikan mahasiswa KKN yang jauh dari Kampus Unika St.Paulus Ruteng. Pada saat surat diantar kami sebagai Keprodi PBSI yang menjadi tujuan surat berada di tempat KKN. Saat itu frasa “di tempat” untuk kami rujukannya lokasi KKN. Jika mengikuti logika alamat yang tertulis  pada surat itu, maka seharusnya pembawa surat mengantar surat itu ke lokasi KKN. Pembawa surat harus habiskan waktu dan biaya untuk mengantar surat itu ke tempatnya. Hal yang mengherankan hal itu tidak terjadi karena suratnya kami terima di Kampus Unika St.Paulus Ruteng. Itu artinya pengirim surat dan pembawa surat telah mengetahui persis alamat kami di Unika St. Paulus Ruteng.

Ulasan ini bukannya mengada-ada tetapi untuk menegaskan betapa pentingnya kita lebih cermat dalam berbahasa. Bukan sekadar, orang mengerti (bahasa yang baik) tetapi haruslah sesuai dengan kaidah dan logika berbahasa (bahasa yang benar). Dalam kasus di atas, semestinya penulis surat secara eksplisit menulis alamat kami yakni Unika St. Paulus Ruteng, bukannya menggunakan frasa “di tempat”.

Semua orang yang mengirimkan surat pasti mengetahui alamat tujuan ke mana surat itu dikirim. Jika tidak, mustahil ia menulis dan mengirimkan surat. Karena itu, tidak tepat kalau menyederhanakannya hanya dengan frasa “di tempat”.

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, simpulan, pergerakanBonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.