ODGJ Mati dalam Pasungan, Bupati Diam Saja, Komnas HAM Juga Begitu

ODGJ

Sudah sekian sering terjadi, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengembuskan napas terakhir dalam keadaan terpasung.

Kasus yang teranyar terjadi di dalam kota Ende, Kabupaten Ende, Flores, beberapa pekan lalu. Berikut dalam pekan ini, dua kasus terjadi pada dua kampung di Kabupaten Manggarai Barat, Flores.

Di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, dari 2022 hingga September 2023, sebanyak 3 ODGJ yang meninggal dalam pasungan.

Kepergian mereka selamanya selalu saja dipandang dan diperlakukan sebagai peristiwa wajar sebagaimana orang meninggal pada umumnya.

“Pater, dia sudah meninggal kemarin.” Begitu kabar dukacita dari seorang tenaga kesehatan di Ende beberapa pekan lalu.

“Kita berdukacita atas kepergian Saudara A. Dia sudah pergi selamanya kemarin.” Begitu juga kabar dukacita di grup WA Relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Manggarai Barat.

Betul-betul peristiwa itu masih dipandang sebagai fakta yang wajar. Bahwasanya mereka pergi selamanya, sudah saatnya dan dengan keadaan berbeda, itu kita pahami, sebagaimana kita juga paham tentang kematian tiap-tiap orang yang berziarah di dunia fana ini.

***
Kepergian saudara-saudari kita yang bergangguan jiwa dalam keadaan terpasung, bagi saya, merupakan kasus kemanusiaan, bukan fakta yang wajar.

Bahwa tiap-tiap manusia akan dan pasti pergi selamanya dari dunia ini, itu tak terelakkan. Tetapi keadaan saat mereka pergi, itu adalah fakta yang semestinya menggugah nurani dan tanggung jawab pelbagai pihak.

Siapa saja pihak-pihak itu?

Tentu banyak, termasuk relawan dan keluarga serta masyarakat. Namun pengemban tanggung jawab yang paling utama adalah negara.

Kenapa? Negara memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa seturut keadaan mereka.

Bahwa ada layanan kesehatan jiwa semisal memberikan terapi medis bagi orang bergangguan jiwa yang terpasung, itu tidaklah cukup.

Semestinya, mereka dibebaskan dari pasungan, dirawat di fasilitas kesehatan baik pusat rehabilitasi jiwa maupun rumah sakit jiwa dan RSUD.

Sebab sebagai warga negara, kita semua memiliki hak yang sama untuk dirawat saat sakit. Hak asasi kesehatan.

Karena fasilitas itu tidak ada, karena anggaran buat rehabilitasi di panti swasta juga sengaja tidak dialokasikan, maka warga terpasung pun diabaikan, dibiarkan begitu saja hingga maut menjemputnya.

Tak sedikit pun kepala daerah tergugah oleh kasus seperti ini. Tak sedikit pun dinas sosial dan dinas kesehatan merasa bersalah atas fakta ini.

Dan lagi, sudah sekian kali saya menginformasikan kasus-kasus pasung ke Komnas HAM, tetapi mereka tetap saja tidak merasa bahwa HAM sedang dilanggar.

Bahkan kasus terbesar yang menimpa Saudara Anselmus beberapa waktu lalu, yang notabene diketahui dengan jelas dan pasti oleh Komnas HAM RI, sama sekali tidak dihiraukan.

Negara betul-betul diam, apatis. Sementara mereka digaji dengan uang pajak warga republik ini dengan tujuan agar merespon persoalan rakyat

***
Di atas semuanya itu, terhadap seluruh perjalanan hidup manusia di dunia dengan pelbagai dinamika pengalaman sakit dan derita, saya sangat bersyukur atas kefanaan hidup.

Bersyukur karena manusia tidak hidup selama-lamanya di dunia ini. Orang sakit, tidak sakit selama-lamanya. Orang terpasung, tidak terpasung selamanya. Orang terpasung diabaikan, tidak diabaikan selama-lamanya. HAM-nya dilanggar, tidak dilanggar selama-lamanya.

Ada titik akhirnya. Titik akhir itu adalah kematian. Saya bersyukur, manusia bisa mati. Tidak selamanya manusia hidup di dunia ini.

Sebaliknya, kepala daerah bahagia karena kedudukannya dan apatis atas kasus kematian warga terpasung, tapi mereka tidak bahagia selama-lamanya. Wakil rakyat dan kepala dinas sosial – dinas kesehatan bahagia karena digaji dan jabatannya, tapi mereka tidak bahagia selama-lamanya. Komnas HAM juga demikian. Mereka tidak merasa nyaman selama-lamanya di hadapan persoalan yang mestinya mereka respon.

Tokoh agama juga demikian. Mereka bahagia karena keistimewaan sosial-budaya-keagamaan yang mereka punyai, tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung selama-lamanya. Semuanya ada titik akhirnya, yakni kematian.

Betapa saya yakin, Tuhan yang Mahakasih tahu semuanya ini, dan mengganjari tiap-tiap orang seturut gaya dan keadaan hidupnya selama berziarah di dunia fana ini.

Semoga Tuhan menyambut mereka dengan sukacita dan memberikan kebahagiaan kekal. Amin.

Ende, 23-9-2023

Baca juga artikel terkait SENTILAN JIWA atau tulisan menarik Avent Saur lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


WhatsApp Image 2023 09 21 at 15.51.13 e1695294575935Pater Avent Saur SVD, penulis buku Belum Kalah: Sentil Tuhan, Negara, dan Masyarakat. Pendiri Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT, tinggal di Ende, Flores. Kini staf Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ende.