Pantun Bahasa Berjiwa

Pantun Bahasa Berjiwa

Dalam berbagai kesempatan menghadiri aneka kegiatan, biasanya ada orang-orang penting yang diminta berbicara, baik itu dalam bentuk sambutan maupun dalam bentuk ceramah atau sejenisnya. Ada gejala umum para pembicara seolah-olah merasa wajib dan mewajibkan diri mengakhiri pembicaraan mereka dengan pantun. Pembicara merasa yakin dan tidak malu-malu menyampaikan kepada pendengar bahwa dirinya akan berpantun dan meminta (memaksa) pendengar untuk meresponnya dengan meneriakkan kata “cakep”.

Pendengar yang paham tentang pantun tentu menaruh harapan ketika mendengarkan pembicara akan berpantun, karena dalam pikirannya ia akan mendapatkan pesan yang bermakana melalui deretan kata berirama dalam larik-larik pantun yang dijanjikan. Pendengar seperti ini tidak akan terggoda berteriak “cakep” sebelum ia mendengarkan pantun utuh yang sesuai dengan kaidah berpantun. Pendengar yang kurang (tidak) mengerti apa itu pantun dipastikan dengan mudah tergoda untuk berteriak “cakep”. 

Kami kutipkan di sini dua contoh yang diklaim sebagai pantun oleh pembicara saat mengakhiri sambutan atau pidato mereka.

Buah nangka buah selasih, (cakep)

Dijual mahal  setiap pasar.(cakep)

Demikian sambutan terima kasih, (cakep) 

Semoga kita semakin sadar. (cakep)

 

Kakak beradik jarang berselisih,(cakep)

Hidup bersama damai senantiasa. (cakep)

Akhirnya kuucapkan terima kasih, (cakep)

Waktu mengalir tidak terasa. (cakep)

 

Akhir setiap larik yang diucapkan pembicara disambut dengan teriakan “cakep” karena mereka percaya bahwa itulah pantun. Pertanyaan kita, “apakah dua kutipan” itu merupakan pantun? Benarkah dua kutipan di atas tergolong pantun?

Untuk memastikan jawabannya, melalui FBI edisi ini kami menegaskan bahwa berpantun bukan sekadar penghias akhir dalam setiap pidato atau sambutan.  Terlampau latahlah jika pantun dianggap sebagai penghias sekadar mendulang kata “cakep” mengakhiri pidato atau sambutan. Berpantun itu sesungguhnya ekspresi berbahasa yang “bermartabat”.

Harus disadari bahwa pantun adalah bentuk pemakaian bahasa yang bermartabat karena pantun menghadirkan  pesan kehidupan dan mengekspresikan kebijaksanaan secara padat dalam diksi terpilih.  Terlalu latah dan naif kalau pantun diproduksi secara serampangan, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah penciptaannya. Perlulah kita memperluas wawasan kita perihal pantun agar terhindar dari tindakan berbahasa latah. Ulasan ini kiranya menjadi pewawas bagi siapa pun yang senang berpantun.  Harapannya, agar tidak tergoda menggampang-gampangkan diri sebagai orang yang memahami pantun dan bisa berpantun.

Pantun tergolong sastra lama yang dikenal luas di seluruh Nusantara dan merupakan jenis puisi asli Nusantara (Rosidi, 2006:1). Berpantun itulah cara yang memungkinkan orang berkomunikasi dalam aneka peristiwa hidup bermasyarakat. Ada banyak nilai sosial, budaya, moral, dan keagamaan yang diungkapkan dan diwariskan melalui seni berpantun.  

Secara teoretis sebait pantun biasanya terdiri atas empat baris atau larik sehingga dikatakan formatnya kuatren. Pantun empat baris biasanya memiliki persajakan (rima) a b / a b, yang berarti bahwa bunyi akhir larik pertama sama dengan bunyi akhir larik ke tiga, dan bunyi akhir larik kedua sama dengan larik keempat. Contoh //Dari hulu naik perahu/Patah tiang layarnya dua/ Dari dulu sudah kutahu/ Kita akan berpisahan jua//. Pola persajakan a b / a b merupakan ketentuan umum, tetapi dalam praktiknya ditemukan juga pantun berpola a a/a a seperti contoh ini //Terang bulan terang di kali/ Buaya hidup kusangka mati/ Hidup di dunia hanya sekali/ Maka janjimu tetap kunanti//.

Dua larik pertama setiap pantun disebut sampiran, sedangkan dua larik terakhir merupakan isi, yaitu pesan yang hendak disampaikan. Sampiran umumnya tidak punya tautan makna dengan isi pesan. Hal yang dipentingkan hanyalah irama dan rima yang berpadanan dengan larik isi, sehingga bunyinya merdu (efoni) yang kedengaran saat dibaca atau dituturkan. Terlihat dari contoh di atas. Terang bulan terang di kali/Buaya hidup kuangka mati, tidak punya hubungan arti sama sekali dengan isi dalam dua larik terakhir: Hidup di dunia hanya sekali/Maka janjimu tetap kunanti. Ada pula sampiran pantun yang  secara simbolik mempersiapkan makna yang tercantum dalam isi. 

Contoh tampak dalam pantun ini, //Kalau tuan pergi ke hulu/Ambilkan saya bunga kemboja/Kalau tuan mati dahulu/Nantikan saya di pintu sorga//. “Pergi ke hulu” berarti berjalan menuju sumber dari mana air sungai mengalir. Sedangkan, “mati dahulu” artinya berpulang lebih awal, kembali ke Sumber Hidup. Bunga kemboja itu umumnya ditanam dekat kuburan. Dengan demikian, penyebutan bunga kemboja dalam sampiran sudah memberikan pembaca atau pendengar isyarat tentang isi yang akan menyusul.

Sebagai salah satu seni, pantun tidak hanya diucapkan, tetapi juga dinyanyikan dalam lagu-lagu rakyat pada banyak suku di Nusantara. Karena itu, jumlah kata dan suku kata dalam setiap larik diatur menurut pola yang baku, menentukan irama pantun itu bila dilantunkan. Jumlah kata dalam sebuah larik biasanya  4 sampai 6 kata, sedangkan jumlah suku kata 8 sampai 12.

Apabila diteliti dari segi isi, pantun mengajarkan kebijaksanaan hidup dalam arti yang seluas-luasnya: mulai dari nasihat orang tua untuk anak-anak, ungkapan cinta kaum remaja, pedoman moral, tuntunan agama, luapan rasa takjub atas keindahan alam dan ajakan untuk memelihara lingkungan, cetusan sukacita atau pun jeritan duka lara, keadaban sosial, humor, sindiran, dan sebagainya. 

Apa yang disebut kebijaksanaan hidup harus dibedakan dari kecerdasan intelektual semata-mata. Kebijaksanaan adalah kemampuan memahami masalah yang dihadapi disertai kearifan bertindak tepat untuk mengatasi masalah dalam situasi konkret yang dihadapi. Pantun dan berpantun bukan sekadar ekspresi kekuatan akal melainkan terutama luapan dan ungkapan rasa.

Pada akhirnya yang menentukan mutu sebuah pantun bukanlah sekadar mencermati bentuknya, melainkan juga intensitas pengalaman hidup yang telah diendapkan, kedalaman refleksi atas pengalaman dan originalitas pengungkapannya dalam genre sastra yang digunakan. Berpantun bukan sekadar merangkai kata, melainkan juga menjadi wujud rasa yang diolah dalam kesadaran untuk mengabdi pembaca atau pendengar. Berpantun itu sebuah proses penciptaan seni. 

Dengan adanya penjelasan panjang-lebar seperti ini, akhirnya kita disadarkan bahwa berpantun dan menghasilkan pantun bukan sekadar penghias akhir suatu perjumpaan. Menulis, menciptakan pantun, berpantun itu bukanlah urusan remeh-temeh melainkan suatu proses kreatif yang yang menuntut pengerahan berbagai kemampuan dalam diri seseorang berupa pikiran dan perasaan. Pikiran perasaan itu diendapkan untuk dipadatkan dalam diksi-diksi yang minimal dengan efek yang maksimal.

Setelah mengikuti alur pikir yang tertuang dalam ulasan ini, pembaca tentu dapat menilai dua kutipan pada awal ulasan ini, apakah tergolong pantun atau bukan pantun. Dua kutipan itu menjadi pratanda betapa orang mereduksi pantun sebagai penghias semata dan diproduksi begitu saja.  Contoh-contoh seperti itu menjadi bukti bahwa orang bersikap latah menderetkan diksi tanpa berpatok kaidah, lalu dengan entengnya mengklaim bahwa yang diproduksi itu sebuah pantun yang harus diimbali dengan pekikan “cakep”. 

Berpantun sesungguhnya mengharuskan seseorang untuk lebih awas, waspada, dan cermat dalam merangkai kata hasil olahan rasa. Dan itu sesungguhnya mudah sejauh orang terbuka untuk mempelajari kaidah-kaidah penciptaan teks-teks pantun. Cermati kutipan berikut. Rasakan pesannya dalam rangkaian diksi yang sederhana tetapi berkekuatan luar biasa.

 

Hari inilah kubawa payung, 

karena langit hitam kelabu. 

Kepada Tuhan aku berlindung, 

dalam hadapi badai menggebu. 

 

Kepada Tuhan aku berlindung, 

dalam hadapi badai menggebu, 

Saban harilah  aku merenung, 

agar firman-Nya menerang kalbu.

 

Membaca dua bait pantun ini, (setelah menjadi teks seperti ini) memang kesannya sederhana tetapi sesungguhnya untuk menghasilkan deretan kata pembentuk larik-lariknya melewati proses permenungan mendalam. Jumlah katanya selaras kaidah dan proses penciptaannya menghadirkan pesan. Kata-kata atau diksinya terpilih tidak kurang, tidak lebih tetapi pesannya melebihi jumlah kata-katanya. Pantun itu bahasa “berjiwa dan bermartabat”. Sayang, jika direduksi sekadar penghias kata akhir suatu perjumpaan.

EDITOR: Redaksi Krebadia.com