Pasung Itu Budaya?

pasung
Kasus pasung kaki di Kabupaten Manggarai. (P. Avent Saur SVD)

Awal September 2023, terjadi kasus pasung baru terhadap orang dengan gangguan jiwa (selanjutnya: orang sakit) di sebuah kampung di Kabupaten Ende, Flores.

Tentang kasus itu, saya refleksikan di media sosial dengan tajuk “Kasus Pasung Baru Masih Terjadi di NTT.”

Beberapa media massa lokal memublikasikan ulang refleksi itu dengan pelbagai tambahan yang perlu.

Namun saya sontak heran ketika seorang kenalan mengatakan, “pemasungan terhadap orang sakit itu bukan kasus.” Ahhh …lalu apa?, tanya saya singkat.

“Opa saya gila sudah lama sekali,” tuturnya mengawali kisah opanya. “Tiap kali kambuh,” lanjutnya, “kami pasung dia. Itu terjadi berkali-kali, belasan kali, hingga kini.”

Dia juga menuturkan, “Opa memang sudah tua, tapi kami harus pasung karena dia galak. Ancam bunuh orang, kejar orang. Daripada ada korban, lebih baik pasung.”

“Orang gila kan memang harus dipasung. Itu sudah sejak nenek moyang dulu. Ya supaya keluarga aman. Masyarakat juga aman.”

Cerita kenalan ini, seorang pemuda, tentu panjang. Namun substansinya kurang lebih seperti itu.

Itu terjadi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Tepatnya di kabupaten dan kampung mana, maaf, saya sebutkan secara umumnya saja ya. Sebab kasus pasung dan pandangan seperti itu terjadi di seluruh pelosok provinsi kepulauan ini. Bahkan di dalam area kota pun, praktik pemasungan kerap terjadi.

Kasus pasung tangan di Kabupaten Manggarai Barat. (P. Avent Saur SVD)
Kasus pasung tangan di Kabupaten Manggarai Barat. (P. Avent Saur SVD)

Stigma Sosial

Kisah pemuda Sumba itu menggambarkan bahwa pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa sangat keliru, kalau tidak mau dikatakan salah.

Pemahaman yang keliru dan salah ini sudah berlangsung lama (sejak nenek moyang dulu, kata dia). Karena berlangsung lama, sekalipun keliru dan salah, maka itu dianggap benar. Itulah yang disebut dengan stigma.

Stigma itu bertumbuh di tengah masyarakat, mewarnai perkembangan kesadaran dan perasaan tiap-tiap individu dalam kehidupan bersama. Maka stigma itu pun mengandung karakter daya sosial; stigma sosial.

Dalam pengalaman saya, sejak 2014 bergelut dengan persoalan gangguan jiwa, membongkar stigma sosial ini jauh lebih sulit dibandingkan dengan mengobati orang sakit.

Membongkar stigma sosial itu persis merobohkan tembok yang menjulang tinggi, tebal, dan kokoh, dengan media pembongkar ala kadarnya. Itu amat sulit. (Catatan: lain waktu, kita mendalami apa saja yang dimaksud dengan media pembongkar ala kadarnya itu).

WhatsApp Image 2023 09 21 at 18.15.09

Mendalami Kisah Opa

Kembali kepada kasus Opa tadi, ada beberapa poin yang perlu disentil lebih lanjut.

Pertama, apa yang disebut gangguan jiwa, itu tidak muncul secara tiba-tiba. Saya sedang cerita dengan teman, misalnya, beberapa menit kemudian, saya diserang sakit gangguan jiwa. Tidak seperti itu.

Sebagaimana sakit-sakit lain (flu, batuk, struk, diabetes, darah tinggi, dan lain-lain), gangguan jiwa bermula dari gejala-gejala ringan. Kalau tidak ditangani, maka akan maju selangkah lagi menjadi gejala-gejala sedang.

Berikutnya, gejala berat jika orang sakit dibiarkan tidak dirawat atau diobati.

Ini terjadi lantaran orang terdekat atau sekitar tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa saja gejala gangguan jiwa dan bagaimana mengidentifikasi gejala-gejala itu.

Pada saat gejala-gejala itu mendominasi pikiran, perasaan, dan perilaku seorang penderita, selanjutnya penderita merongrong keadaan lingkungan sosial (merusak materi, mengancam bunuh, melakukan kekerasan terhadap warga), maka keluarga dan warga tinggal menunggu saja waktu yang tepat untuk mempraktikkan pemasungan.

Itu dianggap wajar (sejak nenek moyang dulu, sebagaimana kata pemuda tadi). Di sini, gangguan jiwa lebih dipandang sebagai penyakit sosial atau kasus moral, bukan sakit atau kasus medis. Hukumannya pun pemasungan, bukan terapi medis.

Kedua, kenapa pemuda itu (atau masyarakat di sana) tidak memiliki pengetahuan perihal gangguan jiwa? Ya karena tidak diberitahu atau karena tidak mencari tahu.

Minimnya pengetahuan bahkan tidak adanya pengetahuan tentang gangguan jiwa adalah bukti telak tentang kurangnya sosialisasi kesehatan jiwa.

Para pemangku kepentingan, khususnya tenaga profesional kesehatan, kurang atau bahkan tidak melakukan sosialisasi kesehatan jiwa kepada masyarakat konsumen kesehatan jiwa.

Kenapa kurang sosialisasi? Sebab, tenaga profesional kesehatan kurang tertarik pada masalah kesehatan jiwa.

Kenapa kurang tertarik? Sebab, persoalan kesehatan jiwa belum dipandang penting untuk diselesaikan.

Kenapa kurang dipandang penting? Sebab, tenaga profesional kesehatan jiwa kurang peduli pada kesehatan jiwa.

Dalam pengalaman saya, ada sekian banyak tenaga profesional kesehatan yang justru mengalami gangguan jiwa; entah perawat, bidan, maupun dokter.

Fakta ini pun justru tidak membuat tenaga profesional kesehatan bergerak selangkah lagi untuk berubah dan peduli pada persoalan kesehatan jiwa.

WhatsApp Image 2023 09 21 at 18.15.24

Ada sebuah sebab-akibat, persis gulungan rantai yang saling mengait, yang pada akhirnya profesional kesehatan jiwa tidak terdorong untuk mencari dan memiliki pengetahuan yang memadai (sumber daya manusia/SDM).

Bagaimana mereka bisa memberikan layanan kesehatan jiwa jika SDM-nya rendah? Bagaimana mereka bisa lakukan sosialisasi jika SDM-nya minim?

Nah, saya menduga, kasus pasung berulang yang diderita Opa di Sumba itu diketahui oleh tenaga profesional kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan milik negara, entah polindes, poskesdes, atau pun puskesmas, bahkan RSUD.

Namun fakta itu tidak dipandang sebagai kasus medis, sebaliknya mengikuti saja pandangan mayoritas yang sudah lama ada yakni itu dipandang sebagai kasus patologi sosial yang mesti diberikan hukuman pemasungan.

Dalam hal ini, boleh dikatakan, negara bungkam, diam, apatis.

Ketiga, karena gangguan jiwa tidak berbeda dengan sakit-sakit lain dalam hal kemunculan gejala, maka saya tegaskan bahwa gangguan jiwa adalah sebuah sakit medis. Penderita mesti dibawa ke fasilitas kesehatan, harus dirawat, diobati.

Sejak 2017, bahkan sudah jauh sebelumnya, layanan kesehatan jiwa digolongkan dalam lingkup Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dilakukan oleh semua puskesmas di seantero Nusantara.

Artinya, ketika persoalan kesehatan masuk SPM, maka mau tak mau itu harus diurus. Itu seperti sakit-sakit lain: TBC, HIV, darah tinggi, diabetes, malaria, dan lain-lain.

Namun sudah sekian tahun berjalan, saya masih menjumpai puskesmas-puskesmas yang belum menyediakan layanan kesehatan jiwa.

Itulah sebabnya hak orang sakit akan layanan kesehatan jiwa makin lama dibiarkan tidak dipenuhi. Derita pasung yang sudah telanjur dianggap budaya makin sulit dikendalikan.

Sebaliknya, jika fasilitas kesehatan tingkat dasar menyediakan layanan kesehatan jiwa, dan dengan demikian para tenaga profesional kesehatan jiwa harus dibekali pelatihan kesehatan jiwa, dan dengan demikian juga muncul komitmen untuk mengatasi persoalan kesehatan jiwa, maka orang sakit pasti dirawat, dan pasti akan perlahan pulih.

Pada kasus Opa Sumba itu, jika pemuda, cucunya itu berubah pandangan dan mau menyelesaikan sakit si Opa setelah saya memberikan edukasi-edukasi itu kepadanya, maka entah mereka tinggal jauh atau dekat dengan fasilitas kesehatan yang tersedia, hendaknya si Opa segera mulai dirawat dan diobati.

Jika dirawat intensif dan maksimal, maka kesehatannya akan perlahan pulih; tidak mengancam bunuh, tidak buat kekerasan, tidak merusak materi, dan sebagainya.

Si Opa pun akan kembali menjadi pribadi yang kurang lebih sama dengan Opa yang keluarga dan masyarakat kenal sebelum ia jatuh sakit.

Kehidupan keluarga dan masyarakat juga akan kembali aman dan nyaman, bukan lagi karena Opa dipasung (kenyamanan palsu), melainkan karena ia dirawat dan dipedulikan.

WhatsApp Image 2023 09 21 at 18.15.43

Pasung Itu Kejahatan HAM

Patut diakui bahwa ulasan yang panjang lebar tentang gangguan jiwa dan kesehatan jiwa tentu tidak sesingkat ini. Masih ada sekian banyak pernyataan dan pertanyaan yang perlu didalami lebih panjang, mendalam, dan lama.

Namun setidaknya, diakui pula bahwa karena gangguan jiwa adalah sebuah persoalan medis dan penderitaannya memiliki hak akan layanan kesehatan, maka praktik pemasungan bukanlah solusi untuk mengatasi gangguan jiwa, apalagi itu disebut budaya.

Praktik pemasungan (banyak jenis pasung) justru menciptakan penderitaan baru terhadap orang sakit. Selain menderita sakit fisik dan hak kesehatannya diabaikan, martabatnya sebagai manusia (hak asasi manusia/HAM) sungguh sangat direndahkan. Orang sakit diperlakukan seperti binatang (praktik subhuman); sebagaimana ternak babi atau kerbau atau sapi atau kambing diikat atau dikandangkan supaya tidak merusak tanaman tetangga.

Pada binatang, itu bukan kasus. Pada manusia, itu kasus; kasus kejahatan. Dengan demikian, pernyataan pemuda tadi “pasung itu bukan kasus, melainkan budaya” itu terbantahkan dengan amat mudah.

Apakah dengan itu, lantas pemuda itu berubah? Belum tentu. Bergantung pada nuraninya, entah sudah merasa diyakinkan untuk berubah, ataukah masih membutuhkan proses peyakinan lagi.

Nurani yang peka membutuhkan proses asah berulang kali, bukan? Syukur kalau sekali asah, nuraninya langsung tajam. Sebab sudah dikatakan di atas tadi bahwa membongkar stigma sosial jauh lebih sulit dibandingkan dengan mengobati orang sakit.

Satu hal lagi. Pemuda tadi membuka ceritanya dengan mengatakan, “Opa saya gila sudah lama sekali.” Gangguan jiwa disebut gila, apakah itu tepat? Ataukah justru itu menjadi salah satu bagian dari stigma sosial? Ini akan dibahas pada kesempatan lain.

Buat Opa dan keluarganya, salam sehat jiwa.

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


WhatsApp Image 2023 09 21 at 15.51.13 e1695294575935

Pater Avent Saur SVD, penulis buku Belum Kalah: Sentil Tuhan, Negara, dan Masyarakat. Pendiri Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT, tinggal di Ende, Flores. Kini staf Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ende.