Perempuan dalam Keberlangsungan Wisata Prioritas Labuan Bajo

Sebuah Tanggapan dan Pemikiran

Avatar of Redaksi Krebadia
Perempuan dalam Keberlangsungan Wisata Prioritas Labuan Bajo

Ditulis oleh Sr. Herdiana Randut, SSpS, Member of Woke Asia Feminist dan Komunitas Puandemik Indonesia

Sebagaimana judulnya, tulisan ini merupakan sebuah resume serta tanggapan prospektif terhadap sebuah diskusi terbatas di Labuan Bajo belum lama ini. Diikat oleh keprihatinan yang sama, Sabtu, 6 April 2024,bertempat di Balai Latihan Kerja (BLK) Dian Yosefa Labuan Bajo, yayasan milik Kongregasi SSpS Provinsi Flores Barat itu, telah berlangsung sebuah diskusi terbatas tentang pembangunan pariwisata Labuan Bajo dari perspektif gender.

Peserta yang hadir bervariasi. Ada dari perwakilan Naketrans Manggarai Barat, pegiat wisata, aktivis perempuan yang sering terlibat dalam isu-isu perempuan Manggarai Barat (Mabar), aktivis JPIC SSpS Flores Barat, jurnalis media daring Floresa.co dan siswi-siswi asrama SMK Yosefa Labuan Bajo.

Dipandu oleh moderator Anjany Podangsa dari Floresa.co, semua peserta diantar lebih dalam menyelami dan mengurai apa saja masalah terkait perempuan selama ini. Anjany mengawali diskusi dengan bercerita rinci tentang Labuan Bajo yang masih banyak mengalami kesenjangan dalam pekerjaan. Khususnya kesenjangan yang terjadi dengan perempuan-perempuan Manggarai Barat.

Setelah pembukaan sebagai pemantik diskusi, dua pembicara bergilir menyampaikan materinya, Pembicara pertama Mershinta Ramdani dan saya sendiri Sr. Herdiana, SSpS sebagai pembiara kedua. Mershinta Ramdani adalah aktivis yang sering bergabung bersama JPIC SSpS Flores Barat dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Ia juga merupakan anggota Puanitas Indonesia.

Sementara saya sendiri adalah member of Woke Asia Feminist dan Puandemik Indonesia dan bergabung di komunitas internasional se-Asia yang berbicara tentang isu-isu gender dan feminis. Selain itu juga saya bergabung bersama komunitas Puandemik Indonesia yang juga membahas masalah-masalah perempuan di Indonesia.

Strategi yang Tertinggal

Secara mengejutkan, Mershinta mengungkapkan bahwa ada strategi yang tertinggal dalam seluruh pembangunan wisata priotias Labuan Bajo, yaitu mengabaikan peran perempuan. Menurutnya, penyebab utama masalah gender selama ini adalah pengarusutamaan gender (pug) belum diterapkan. Padahal pug ini diterapkan dalam berbagai organisasi perangkat daerah (OPD) dan institusi pemerintah. 

Untuk Labuan Bajo sendiri Mershinta melihat sudah terdapat beberapa perempuan yang masuk dalam dunia politik. Hal ini memberi warna sendiri di Labuan Bajo, tapi dalam konteks keseluruhan pembangunan, hal itu tentu belum cukup, bahkan sangat jauh dari memadai.

Mershinta sendiri yakin jika perempuan diberi kesempatan yang sama niscaya kesenjangan akan hilang. Misalnya kesempatan kerja yang dimiliki perempuan masih minim atau adanya hegemoni pariwisata ekonomi yang maskulin. Hal ini diperparah oleh budaya patriarki yang masih melekat kuat di daerah-daerah di Indonesia.  Ini masih menjadi kendala dalam menempatkan perempuan pada posisi yang baik.  

Selain itu, dia menambahkan Labuan Bajo memiliki fasilitas yang memadai bagi masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus (disabilitas dan lain-lain) seperti tangga dan bagian jalan yang harus dilalui. Area publik yang ramah anak seperti tempat bermain yang aman dan memiliki penerangan. 

Pekerjaan Setara Laki-Laki

Sementara saya sendiri sebagai pembicara kedua lebih menyoroti filosofi pembangunan, bahwa pembangunan itu sejatinya tidak hanya yang tampak mata atau pembangunan secara fisik. Melainkan pembangunan bersifat menyeluruh dan adil. Pada intinya, pembangunan merupakan pemberdayaan atau menginvest skill, knowledge, keterampilan manusia-manusianya, yang dulu kita kenal dengan istilah membangun manusia pembangun.

Di dalam pembangunan yang demikian, manusia bukan objek melainkan subjek, bukan target tetapi pelaku dan pelaksana pembangunan, termasuk perempuan. Dari segi ini, saya melihat bahwa  perempuan bisa mendapatkan kesetaraan dalam bidang kerja industri pariwisata jika pemerintah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Naketrans, dan atau Dinas Pariwisata melakukan program-program yang bagus dan kreatif untuk perempuan-perempuan lokal Manggarai Barat. 

Program-program yang mendukung hal ini banyak, di sini disebutkan beberapa: kelompok tenun, pelatihan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, pelatihan komputer dan program-program kerja lainnya. Perempuan harus diberi kesempatan yang sama untuk berkembang dan maju dalam membangun pariwisata di Labuan Bajo. Agar masyarakat lokal juga bisa kompetitif dengan pendatang. Karena bukan mustahil, menurut kami, dua atau tiga tahun yang akan datang Labuan Bajo dikuasi oleh investor-investor asing dan pekerja dari luar Labuan Bajo.

Apa yang saya saksikan membenarkan hipotesis saya. Selama ini, pekerjaan seperti tour guide, naturalist  guide, sopir-sopir taksi, dan pemimpin-pemimpin tours and travel agent  masih didominasi oleh laki-laki. Hal-hal ini sebenarnya bisa juga dilakukan oleh perempuan jika diberi ruang yang sama. Oleh karena itu dibutuhkan peran pemerintah memberdayakan perempuan-perempuan di Manggarai Barat agar bisa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan turut membangun pariwisata Labuan Bajo.

Budaya Patriarkal

Menariknya bahwa kedua pembicara sama-sama melihat budaya patriarkal sebagai induk yang melahirkan masalah ini. Terutama karena budaya ini telah membentuk pola pikir dan perilaku orang Manggarai bahkan di Indonesia pada umumnya.

Budaya patriarkal itu terlihat dalam sistem pendidikan di Indonesia di mana sejak kecil anak-anak diajarkan oleh bacaan-bacaan atau cerita rakyat yang menggambarkan bahwa laki-laki itu perkasa, kuat, dan mendominasi, sedangkan perempuan lemah lembut, anggun dan cantik. Terdapat juga cerita yang bunyinya demikian, “Ayah pergi ke kantor, ibu menyapu rumah.” Cerita atau bacaan tersebut sudah membuat perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan.

Untuk mengatasinya, kedua pembicara sepakat untuk mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia berdasarkan perspektif feminis agar sejak dini anak-anak dididik untuk menyetarakan pola pikir dan perilaku mereka dalam menghadapi masalah gender.

Selain itu, beberapa peserta menambahkan sekaligus menegaskan bahwa pemerintah juga perlu memperhatikan sekolah-sekolah di Manggarai Barat yang masih minim pendidikan seksual karena Manggarai Barat termasuk kabupaten yang memiliki banyak kasus kekerasan seksual. Ditambah kasus-kasus tersebut sulit diproses dengan cepat karena banyak mengalami kendala di pihak kepolisian Manggarai Barat.

Diskusi yang berlangsung selama dua jam tersebut ditutup dengan rencana bersama untuk terus bersuara melalui kegiatan diskusi berkelanjutan dan gerakan-gerakan lain bagi keadilan dan kesetaraan yang sama untuk perempuan-perempuan Manggarai Barat.

Dua Hal ke Depan

Diskusi terbatas ini berakhir tidak dengan solusi praktis. Yang ada pada diskusi terbatas ini ialah kesadaran dan keprihatinan. Pertama, kesadaran. Diskusi ini sepakat bahwa kesenjangan telah terjadi bahkan makin ke sini makin menganga.

Sekarang mungkin belum terihat bahayanya. Hanya jika tidak dicegah maka akan terjadi ketimpangan, di mana di satu pihak terlihat kemegahan dan keriuhan gegap gempita kemajuan fisik Labuan Bajo dan di saat yang sama kasat mata terlihat di mana-mana kemunduran sumber daya manusia khususya perempuan. Masalah-masalah terkait gender akan menjadi nyata dan kiranya bukan tulisan ini untuk menguraikan masalah-masalah itu.

Berangkat dari kesadaran ini, menurut saya, para stakeholder harus dengan sengaja menggalakan program pencerahan atau konsientasi gender di berbagai lapisan, yang dalam diskusi ini disebut dengan istilah pendidikan dan pelatihan. Karena konsientisasi adalah satu-satunya cara terbaik mencegah masalah. Dari konsientisasi akan timbul awareness atau kesadaran. Dari kesadaran akan lahir tindakan nyata akan solusi.

Kedua, keprihatinan. Hal ini adalah akibat dari kesadaran yang dialami. Artinya, setelah melihat ada masalah gender sementara pemerintah dan para pihak tidak melakukan apa-apa, maka di  situlah keprihatinan lahir dan bertumbuh. 

Menurut saya, pada titik ini akan terjadi bahaya dan malapetaka sosial. Yaitu ketika keprihatinan ini memuncak dan tidak ditanggapi semestinya, maka rasa keprihatinan akan menjelma masa bodoh yang amat pekat dan mendalam. Cuek, acuh tak acuh, tidak peduli dan orang mengurus dirinya sendiri. Inividualisme meningkat dan bisa saja orang tiba pada tingkat asosial. 

Ketika sampai pada taraf  ini, maka Labuan Bajo akan menjadi pasien penyakit sosial yang akut dan wisata prioritas gegap gempita akan menjadi narasi besar untuk orang-orang besar dan investor kaya, dan bukan narasi inah untuk Manggarai Barat dan Flores pada umumnya.