Perempuan Itu Bertanya, Uskup di Mana?

Umat yang menderita gangguan jiwa kurang mendapatkan haknya sebagai anggota Gereja, kecuali ketika ia sudah tiada, melalui perayaan ekaristi arwah saat pemakaman, malam ketiga, malam keempat puluh, atau peringatan satu tahun kematian

uskup di mana, keuskupan ruteng
Seorang umat gangguan jiwa di Manggarai Timur, Keuskupan Ruteng, duduk tepekur di pondok reyot saat dikunjungi relawan Kelompok Kasih Insanis pada Sabtu 30 September 2023.

Sabtu, 30 September 2023. Akhir pekan sekaligus tepat akhir Bulan Kitab Suci Nasional, saya bersama relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT menyusuri wilayah Puskesmas Lalang di Manggarai Timur, Flores.

Di situ, ditemani kepala puskesmas, kami menyambangi beberapa rumah orang dengan gangguan jiwa (selanjutnya: orang sakit), baik yang sudah lepas pasung maupun yang masih terpasung. Salah satunya, pondok seorang perempuan muda yang sudah sekian tahun menderita sakit.

“Lagi satu orang. Perempuan!” tutur relawan kepada saya di teras rumah warga pada salah satu kampung di wilayah itu.

“Ya, kita harus kunjung juga,” respons saya singkat.

Di teras itu, kami mengaso sebentar, menikmati sajian makan siang ala kadarnya. Aneka hal kami obrolkan; mendengarkan kisah masa lalu seorang bapak muda yang sudah lima tahun terpasung dua kaki pakai kayu balok (sejak 2019) di pondok reyot, di depan rumah keluarganya.

Sebagaimana biasa, dalam obrolan, saya berikan edukasi kesehatan jiwa kepada mereka agar betul-betul paham dan betul-betul lakukan solusi yang benar. Ya juga menjawab beberapa pertanyaan substansial soal stigma sosial gangguan jiwa.

“Mudah-mudahan, anak saya lekas pulih. Kami tidak mau dia terpasung terus. Harus sehat!” harap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Tidak ada yang mustahil, jika kita, selain berharap kepada Sang Pencipta, juga serius mengurus obat dan perlakukan si sakit dengan kasih,” teguh saya buat sang ayah.

Narasi Pilu

Hari makin jauh menuju senja ketika kami pamit dari rumah itu.

“Mari kita ke rumah perempuan tadi,” ajak saya kepada kru.

“Kita langsung ke pondok saja,” kata seorang bapak yang mendahului kami di rumah keluarga orang sakit itu.

“Tidak,” tegas saya. “Kita harus dengarkan dulu cerita keluarga tentang si sakit.”

“Sakitnya sudah lama sekali. Kami tidak ingat lagi entah sejak kapan,” kata seorang ibu yang awalnya saya duga sebagai kakak kandungnya, ternyata itu adalah ipar.

Lanjutnya, “Ini ipar saya. Suami saya merantau. Terpaksa, saya yang merawat dia.”

“Dahulu dia sudah ada suami, tetapi meninggalkannya begitu saja. Kata orang, suaminya sudah punya istri baru,” lanjutnya lagi.

“Saya ini pusing sekali. Kita berikan obat, sering kali dia tidak mau minum. Mau bagaimana lagi? Biar sudah,” tuturnya dengan nada kesal dan putus asa.

“Saya juga serba salah. Selalu disalahkan. Kalau dia lagi emosi, barang-barang dia rusakkan. Sering kali bakar-bakar sembarang. Kami takut dia bakar rumah,” katanya cemas.

Ketidakpedulian Sosial dan Harapan Baru

Narasi-narasi pilu seperti ini sering kali saya jumpai pada banyak tempat di Pulau Flores dan beberapa kampung di Pulau Timor yang sempat saya kunjungi.

Betapa pedih hati mereka menghadapi perilaku-perilaku orang sakit. Sekalipun betapa besar kerinduan mereka akan pulihnya keadaan si sakit, kerinduan itu tinggal hanya kerinduan saat mereka kehabisan akal dan energi setelah sekian lama berjuang merawat.

Di tengah keadaan putus asa dan rasa kesal yang mendalam seperti ini, biasanya warga tetangga dengan enteng menuduh “keluarga kurang serius merawat”, tanpa sedikit pun bergerak membantu.

Ada semacam patologi sosial yang tampak dalam rupa ketidakpedulian pada keadaan pelik sesama warga kampung.

Derita keluarga orang sakit pun digeluti sendirian sekalipun kita sering klaim bahwa warga kampung memiliki perasaan dan praksis sosial yang tinggi daripada warga perkotaan. Tidak demikian pada kasus penderitaan keluarga orang-orang sakit gangguan jiwa. Mereka justru mengalami ketidakpedulian sosial.

Menghadapi narasi-narasi pilu itu, sebagaimana biasa, relawan lebih banyak mendengar dan mendengarkan dengan saksama. Hanya menyatakan ya dengan kepala mengangguk atau menggeleng.

Lebih daripada itu, jika ada kekeliruan dalam cara pandang tentang gangguan jiwa, kita selipkan beberapa pencerahan yang dirasakan perlu.

“Mari kita berjuang bersama,” respons saya terhadap ibu muda yang sejak awal bercerita sering kali menundukkan kepala.

“Perjuangan kita belum selesai. Kalau si sakit minum obat rutin atau jika dia tidak mau minum obat lalu kita campurkan obatnya pada makanan, maka cepat atau lambat, keadaannya akan pasti berubah ke arah yang lebih baik. Jika di puskesmas tidak ada obat, saya siap bantu mengurus obat buat dia. Jika ada kesulitan lain soal kekurangan ekonomi, saya siap membantu,” lanjut saya memberikan harapan.

Usai memberikan harapan itu, tampak senyuman pada wajah ibu ipar itu. Ia menganggukkan kepala, setidaknya menjadi tanda siap memulai tahap baru untuk pemulihan iparnya.

“Berharap pihak puskesmas bantu ibu ini untuk selalu mendatanginya secara rutin untuk berikan obat,” tutur saya sambil menoleh ke tempat di mana kepala puskesmas duduk.

“Satu lagi,” tambah saya. “Ibu harus sehat supaya bisa urus si sakit. Orang sakit tidak begitu saja mampu urus orang sakit lainnya. Lakukan semampunya saja. Saya tentu temani Ibu, selain dalam hal-hal di atas tadi, juga dengan doa yang sungguh.”

keuskupan ruteng uskup
Pater Avent Saur SVD berdialog dengan umat gangguan jiwa di pondok reyot di salah satu kampung di Manggarai Timur, Keuskupan Ruteng, Flores.

Obrolan di Pondok Reyot

Selepas itu, kami menuju pondok di mana si sakit tinggal.

“Ahhh … amat memprihatinkan,” hati saya tertegun sambil menarik napas.

Pondok itu berukuran lebar satu meter lebih sedikit, panjang sekitar satu setengah meter, tinggi sekitar dua meter. Pondok terbuat dari bambu-bambu cincang, ditopang dengan tiang-tiang balok yang sudah usang. Seingat saya, atapnya seng reyot.

Lantainya langsung tanah. Di atasnya ada batu-batu yang menyebabkan tikar lusuh membentang tidak merata. Belum lagi struktur tanah yang miring.

Bau menyengat tercium di dalam pondok itu. Itu bersumber dari selain tikar dan beberapa potong pakaian lusuh, tentu juga kondisi tubuh si sakit yang entah sudah berapa lama tak tersiram air mandi. Boleh jadi, juga kotoran-kotoran air besar dan air kecil yang dibuang begitu saja di dalam pondok.

Keadaan seperti ini bukan hal baru bagi saya dan relawan, juga para tenaga kesehatan. Kami amat menikmatinya dengan gembira dan bahagia.

“Saya Pater Avent Saur,” kata saya memperkenalkan diri sambil duduk menjabati tangannya yang tentu amat kotor.

“Ohhh Paterrr. Pater Avent?” tanyanya meminta konfirmasi.

“Ya, saya Pater Avent. Avent Saur. Bukan sayur,” kata saya lebih jelas.

“Ya … Saurrr. Bukan sayurrr,” tegasnya mengulang sambil tertawa terbahak, diikuti relawan dan keluarga di sekitar pondok.

“Ini, pater. Kalau uskup, di mana?” Ia bertanya agak membisik sambil menarik tangan saya yang masih menjabat erat.

“Uskup? Dia di Ruteng,” jawab saya mendekat, makin menunduk untuk membisik.

“Saya datang mau bantu Ibu,” kata saya.

“Mau bantu? Bantu apa?” tanyanya sambil membereskan tumpuan kakinya dan merapatkan dua lutut pada dagu.

“Saya mau doakan Ibu,” jawab saya.

“Betul. Doakan saya. Sudah lama sekali saya tidak ke gereja. Tidak pernah berdoa. Doakan saya ya …,” katanya.

“Di sini, Ibu tidur aman?” tanya saya.

“Mana mungkin saya tidak aman. Ini banyak batu-batu. Tiap malam juga ada yang datang ganggu. Saya tidak bisa tidur,” jawabnya.

“Saya juga mau bantu ini. Nanti saya bicarakan dengan warga agar sama-sama buat pondok yang bagus dan tempat tidur yang aman. Ibu juga harus minum vitamin. Saya akan berikan vitamin. Nanti saya titip pada Ipar ya. Minum tiap malam. Mungkin minum pagi juga,” kata saya.

“Terima kasih ya Pater, sudah mau bantu saya,” ujarnya.

Obrolan senja di pondok reyot itu bukan cuma itu. Masih banyak materi lain yang disentil baik yang nyambung maupun yang sama sekali tidak nyambung yang merupakan bagian dari kondisi sakitnya.

“Baru kali ini banyak omongannya nyambung. Mudah-mudahan dia lekas pulih,” kata seorang bapak dikuti warga lain setelah kami semua pamit dan melanjutkan perbincangan dengan keluarga di dalam rumah.

“Anggap saja, kita baru mulai merawat. Perjalanan kita ke depan masih sangat panjang,” kata saya sambil menepuk bahu sang ipar dan merengkuhnya.

“Terima kasih. Saya akan berusaha,” janjinya dengan tenang dan penuh senyuman.

keuskupan ruteng, uskup
Seorang umat gangguan jiwa di Manggarai Timur, Keuskupan Ruteng, tinggal di pondok reyot.

Kalau Uskup, di Mana?

Sedikit kita kembali ke obrolan saya dengan si sakit di pondok reyot tadi.

Dia bertanya, “Kalau uskup, di mana?”

Tentu jawaban yang jujur adalah “Dia di Ruteng.”

Namun kiranya pertanyaan si sakit tentang uskup menyimpan aneka refleksi yang mendalam tentang pelayanan pastoral Gereja. Setidaknya, kiranya tepat, si sakit tahu bahwa dirinya adalah domba, uskup adalah gembala.

Boleh jadi si sakit tahu bahwa dia adalah salah satu domba yang belum disentuh oleh gembalanya; belum dituntun ke padang rumput yang hijau, belum digiring ke air yang tenang. Boleh jadi begitu.

Lebih jelasnya bisa dikatakan begini: adalah sebuah pengetahuan umum dalam konteks pelayanan pastoral Gereja, umat yang menderita gangguan jiwa kurang mendapatkan haknya sebagai anggota Gereja. Haknya sebagai umat yang sakit baru ia dapatkan saat ia sudah tiada, yakni perayaan ekaristi arwah, memohon keselamatan kekal, entah saat pemakaman, entah malam ketiga atau keempat, entah malam keempat puluh, entah peringatan satu tahun kematian.

Banyak umat gangguan jiwa masih terpasung, misalnya. Bagaimana kepentingannya diadvokasikan oleh Gereja, mungkin sama sekali tidak dipikirkan.

Banyak umat gangguan jiwa juga menggelandang, misalnya. Bagaimana keadilan sosialnya dipedulikan oleh Gereja, mungkin sama sekali tidak mengusik diskusi dalam pertemuan-pertemuan pastoral para pemimpin dan perangkat pastoral Gereja.

Tentu akan amat panjang bila melitanikan semuanya itu. Namun kiranya bisa dipadatkan begini: jika inkarnasi yang sudah terjadi dua ribuan tahun silam itu baru terjadi pada zaman kita sekarang, maka sangat mungkin Yesus mengatakan, “Enyahlah dari hadapan-Ku … (dst). Sebab ketika Aku sakit, kamu tidak melawat Aku … (dst.)” (Mat 25:41-43).

Perempuan itu, ya dan mereka semua yang mengalami penderitaan yang kurang lebih sama, dan boleh jadi juga, Tuhan Yesus yang mengalami penderitaan mahadahsyat pada sepanjang perjalanan salib menuju Golgota dan yang disalibkan hidup-hidup demi dosa-dosa kita, sangat membutuhkan jawaban dari pertanyaan, “Kalau uskup, di mana?”

 

Baca juga artikel terkait SENTILAN JIWA atau tulisan menarik Avent Saur lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


WhatsApp Image 2023 09 21 at 15.51.13 e1695294575935

Pater Avent Saur SVD, penulis buku Belum Kalah: Sentil Tuhan, Negara, dan Masyarakat. Pendiri Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT, tinggal di Ende, Flores. Kini staf Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ende.