Persoalan Konfiks

konfiks

Kata konfiks secara etimologis berasal dari kata bahasa Latin con- (berarti bersama atau dengan), dan -fix (berarti tambahan). Afiks berkategori konfiks ini sering dijumpai di dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Indonesia.

Dalam kajian morfologi (cabang linguistik yang membahas proses pembentukan dan perubahan kata), dikenal istilah pengafiksan (afiksisasi), perulangan (reduplikasi), dan pemajemukan (komposisi). Dari tiga proses ini muncullah kata berimbuhan (berafiks), kata ulang, dan kata majemuk.

Pengimbuhan (afiksisasi) dibagi lagi menjadi empat jenis berdasarkan posisi atau letak unsur yang dilekatkan pada bentuk dasar. Unsur imbuhan yang dilekatkan pada bagian awal bentuk dasar disebut prefiks. Unsur yang disisipkan di dalam bentuk dasar disebut infiks. Unsur yang dilekatkan pada bagian akhir bentuk dasar disebut sufiks. Unsur yang sekaligus dilekatkan pada bagian awal dan bagian akhir bentuk kata dasar disebut konfiks.

Ada banyak istilah yang dipakai selain konfiks. Dikenal juga istilah sirkumfiks, apitan, imbuhan terbelah, atau gabungan awalan dan akhiran. Bahkan, ada yang mengindentikkan konfiks itu dengan simulfiks meskipun sebenarnya berbeda.

Konfiks sesungguhnya merupakan  gabungan dua macam imbuhan atau lebih yang bersama-sama membentuk satu arti. Kriteria membentuk satu arti ini penting sebagai unsur pembeda dari istilah lainnya. Perlu kiranya disadari bahwa  antara konfiks dan gabungan imbuhan ada perbedaan besar. Pada gabungan imbuhan tiap-tiap unsur tetap mempertahankan arti dan fungsinya masing-masing.

Kita sering temukan penggunaan bentuk-bentuk seperti kebaikan, bersalaman, bertemakan, pengusiran, perasaan, bersamaan, melebihi. Bentuk-bentuk ini menyembunyikan bentuk dasar, dan menghadirkan konfiks.

Bentuk dasar untuk kata itu masing-masing: baik, salam, tema, rasa, sama, lebih. Unsur imbuhan (konfiks) yang dilekatkan pada bentuk dasar ini masing-masing ke-an, ber-an, ber-kan, pen-an, per-an, me-kan, me-i.

Proses membentuk atau pembentukan kata-kata berimbuhan ini sangat sederhana yakni bentuk dasarnya langsung dilekati dengan imbuhan awal dan akhir. Kata seperti inilah yang dikategorikan sebagai konfiks.

Tentu saja orang akan bertanya tentang kata-kata berimbuhan lainnnya seperti contoh: mempersatukan, berpandangan, pertahanan, kebesaran, permainan, berpatokan, dsb. Apakah semuanya  ini tergolong bentuk konfiks?

Jawabannya, bentuk-bentuk mempersatukan, berpandangan, berharapan, pertahanan, kebesaran, permainan, berpatokan dipastikan bukan sebagai konfiks. Hal ini bisa dibuktikan dengan merunut cara atau proses penglahiran bentuk-bentuk seperti itu. Untuk itu, diperlukan penjelasan yang lebih cermat.

  1. Orang bijak selalu “mempersatukan” mereka yang bermasalah.
  2. Pemimpin yang baik “berpandangan” visoner.
  3. Dalam berperang pihak yang “pertahanan”nya longgar pasti kalah.
  4. Tidak perlu membanggakan “kebesaran” orang yang telah meninggal.
  5. Klub terbaik menampilkan “permainan” yang berkualitas,
  6. Hidup baik berpandu dan “berpatokan” hukum.

Semua kata yang tercetak miring  pada kalimat 1 s.d. 6 secara sekilas dianggap sebagai konfiks. Apakah benar semuanya itu tergolong konfiks?

Mari kita cermati bentuk-bentuk itu. Kata “mempersatukan” misalnya, tergolong kata berimbuhan yang dibentuk melewati proses bertahap. Bentuk “mempersatukan” berasal dari bentuk  satu tetapi terbuka pula untuk adanya bentuk satukan, persatukan. Bentuk “berpandangan” diproses dari kata dasar pandang, lalu terbuka adanya kata pandangan sebelum akhirnya membentuk kata berpandangan. Demikian pula berlaku untuk kata-kata:  berharapan (harap, berharap), pertahanan (tahan, tahanan), kebesaran (besar, besaran), permainan (main, mainan)  dan berpatokan (patok, patokan). Uraian sederhana ini mau menegaskan bahwa ada bentuk berimbuhan yang tidak tergolong konfiks.

Kita akan lebih mudah memahami konsep dan  membedakan secara jelas antara konfiks dan nonkonfiks dengan mencermati model dan skema yang dibuat Abdul Chaer (2013, 24—47). Kata “datang” yang diberi unsur tambahan awal ber– dan tambahan –an pada akhir kata “datang” akan menghasilkan konsep tentang konfiks.

Lain halnya dengan bentuk “berhalangan” tidak dapat dikategorikan sebagai konfiks, karena kata “berhalangan”  itu dalam proses pembentukannya bukan  sekali jadi, dalam arti tidak bisa langsung mengapit bentuk dasar.  Bentuk dasar untuk kata “berhalangan” itu “halang”, dan bentuk ber-an tidak secara langsung dilekatkan pada  bentuk dasar “halang”. Prosesnya, justru bentuk dasar “halang” ditambahkan akhiran –an menjadi “halangan”, sebelum akhirnya ditambah dengan imbuhan awal ber– menjadi ” berhalangan”.

Dengan merujuk pada cara sederhana yang ditawarkan Chaer ini, maka kalimat (1) s.d. (6) di atas dapat  disusun  seperti ini.

  1. mempersatukan” (satu, satukan, persatukan).
  2. berpandangan” ( pandang, pandangan).
  3. pertahanan” (tahan, tahanan).
  4. “kebesaran” (besar, besaran)
  5. permainan” (main, mainan)
  6. berpatokan” (patok, patok)

 

Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, simpulan, pergerakan, walau punBonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.