Romo Magnis dan Khotbah Paskah di Mahkamah Konstitusi

Avatar of Redaksi Krebadia
Romo Magnis dan Khotbah Paskah di Mahkamah Konstitus
FOTO: Romo Magnis Suseno (Ist.)

Ditulis oleh Stefanus Wolo Itu

Saya belum pernah bertemu Romo Magnis Suseno. Tapi saya “mengenalnya” sejak awal kuliah filsafat di STFK Ledalero Flores tahun 1990. Ya, melalui tulisan-tulisan media, jurnal ilmiah, dan forum-forum intelektual. Dan tak lupa buku-bukunya seperti ETIKA DASAR: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (1987), ETIKA JAWA: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1981).

Saya membeli kedua bukunya: ETIKA POLITIK: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen (1988) dan FILSAFAT ILMU KRITIS (1992). Sejak tahbisan 1997, saya tak lagi membeli buku-buku baru beliau. Tapi saya tetap mengikuti aktivitas intelektual dan kiprahnya. Saya mengagumi, mencintai beliau dan karya-karyanya. Dia aset berharga umat kristiani sekaligus obor bangsa Indonesia.

Saya mempunyai satu kebiasaan setiap kali membaca buku baru. Saya melacak riwayat hidup, latar belakang pendidikan, situasi sosial yang membentuk karakter kepribadian penulis. Begitu pun ketika membaca buku-buku Romo Magnis. Beliau memiliki riwayat hidup yang panjang dan menarik. Bagi saya, membaca sejarah panjang kehidupan Romo Magnis bukanlah “beban ingatan” tapi “ penerangan jiwa”.

Jesuit Indonesia Tamatan Kolese Sankt Blasien

Romo Magnis lahir tahun 1936 dari keluarga bangsawan di Eckersdorf, Niederschlesien. Ia menjalani masa kecil, mengenyam pendidikan dasar dan menengah di sana. Kota kecil seluas 36,19 km persegi dan berpenduduk 5.159 jiwa ini terletak di wilayah Nurnberg, Bayern Jerman.

“Singa Emas yang Menerkam” merupakan lambang Eckersdorf. Simbolisme Singa melambangkan keberanian, kekuasaan, kekuatan, dan kepemimpinan. Terbersit harapan agar generasi baru Eckersdorf tampil berani, kritis, menjadi pemimpin yang kuat dan siap menghadapi tantangan.

Tahun 1952–1955 ia melanjutkan SMA di kolose Jesuit Sankt Blasien, kota kecil di tengah belantara “Schwarzwald” atau “Hutan Hitam” Jerman Selatan. Sankt Blasien berjarak 45 kilometer dari tempat tinggal saya, Eiken. Beberapa kali saya pernah ke sana.

Pertama kali 9 September 2015 saat mengunjungi P. Horst Werner SJ, mantan misionaris yang pernah mengabdi selama 43 tahun di Seminari Mertoyudan Magelang. Horst pensiun di sana sambil menjadi bapak rohani bagi siswa siswi kolese internasional itu.

Beliau rindu berbahasa Indonesia dan cerita aktual dari Indonesia. Dia banyak bernostalgia tentang Mertoyudan dan kota gudek Jogyakarta. Saya juga menanyakan keunggulan kolose Sankt Blasien. Mengutip P. Wladimir Graf Ledochowski SJ (1866–1942) Horst menjawab: “cura personalis”.

Cura personalis adalah ungkapan Latin yang berarti memperlakukan setiap orang yang kita temui (termasuk diri kita) sebagai orang yang layak mendapat perhatian, kepedulian, dan rasa hormat atas keunikan pikiran, tubuh, dan jiwa mereka.

Lembaga pendidikan tidak hanya menekankan aspek intelektual. Tapi juga kesehatan mental, fisik, spiritual dan perkembangan mereka sebagai warga dunia. Cura personalis melatih peserta didik untuk “benar-benar melihat orang lain dan membiarkan diri kita dilihat oleh orang lain”. Belakangan baru saya tahu bahwa “cura personalis” menjadi “Spruch” atau “Semboyan” di lembaga-lembaga pendidikan Jesuit seluruh dunia.

Adakah imam-imam Jesuit Indonesia tamatan kolese Sankt Blasien? P. Horst menjawab: FRANZ MAGNIS SUSENO. “Er ist ein intelligenter Schüler. 1955 legte Franz Magnis Suseno das Abitur am Gymnasium Sankt Blasien ab. Danach trat er in den Jesuitenorden ein. Dia siswa yang cerdas. Tahun 1955 Franz menyelesaikan ujian akhir SMA di kolese Sankt Blasien. Sesudahnya ia masuk ordo Jesuit.”

Saya terus mengikuti kisah hidup Romo Magnis sejak masuk Jesuit tahun 1955, kuliah teologi dan filsafat di Pullach, München (keduanya di Jerman) dan Kentungan Yogyakarta. Tahun 1961 Frans ke Indonesia, studi lanjut teologi dan filsafat, belajar bahasa, budaya, etika Jawa dan bahasa Indonesia hingga tahbisan imam oleh Mgr. Justinus Darmojuwono tanggal 31 Juli 1967.

Sekilas Kiprah Romo Magnis di Indonesia

Sudah enam dasawarsa Romo Magnis tinggal di Indonesia. Selama itu pula beliau menjadi tokoh, saksi dan pelaku sejarah perkembangan peradaban sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia. Dia mengajar di UI, STF Drijarkara, Universitas Parahyangan Bandung dan berbicara di forum-forum intelektual dalam dan luar negeri. 

Beliau menulis dan merefleksikan dinamika peradaban Indonesia melalui opini, jurnal, buku-buku berbahasa Indonesia dan asing. Beberapa waktu lalu saya sempat membaca tiga resensi bukunya. 1. Garuda im Aufwind: Das moderne Indonesien. 2. Javanische Weisheit und Ethik: Studien zu einer östlichen Moral. 3. Christlicher Glaube und Islam in Indonesien: Erfahrungen und Reflektionen zu Mission und Dialog.

Romo Magnis mengikuti dinamika politik sejak rezim Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan “Orde Reformasi Mental”. Dia mengalami kepemimpinan semua presiden Indonesia: Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi, dan presiden terpilih Prabowo Subianto. 

Saya kira Romo Magnis memahami karakter dan ide-ide revolusioner mereka. Soekarno pernah menggagas gerakan revolusi mental tahun 1957. Tahun 2014 Jokowi kembali menggaungkannya. Mereka mendorong perbaikan mentalitas. Revolusi mental bergandengan dengan etika yang berfokus pada norma, perilaku dan adat istiadat manusia. Setiap presiden ingin menciptakan revolusi. “Revolusi adalah lokomotif sejarah,” kata Karl Marx. 

Romo Magnis menerima penghargaan dalam dan luar negeri. Tanpa mengabaikan penghargaan dalam negeri, saya menyebut dua penghargaan internasional. 

Pertama, doktor Honoris Causa bidang teologi dari Universitas Katolik Luzern Swiss tahun 2002. Saya sempat membaca alasan penganugerahan gelar itu saat pertemuan pastoral di Universitas Luzern.

Saya coba menterjemahkannya: “Melalui karya-karya inovatifnya tentang etika Jawa, budaya dan politik Indonesia, serta dialog Kristen-Muslim, ia telah menarik perhatian dunia barat tentang model kehidupan umat muslim terbesar di Asia Tenggara. Sebagai peneliti dan dosen filsafat, intelektual dan imam Jesuit, ia berulang kali secara terbuka memperjuangkan keadilan sosial dan internasional, penghormatan kelompok minoritas, saling memahami antar agama dan budaya. Karya ilmiah serta komitmen akademisnya memperhatikan situasi sosial dan gerejani membuktikan bahwa Dia adalah seorang pembangun jembatan antara agama dan budaya, sekaligus seorang misionaris martabat manusia”.

Kedua, penghargaan Matteo Ricci dari Departemen Ilmu Politik Universitas Katolik Milan Italia tanggal 21 November 2016. Penghargaan Matteo Ricci diberikan kepada orang-orang yang berkomitmen menjembatani kesenjangan budaya dan intelektual demi kepentingan manusia. Penghargaan-penghargaan ini membuktikan bahwa karya-karya Romo Magnis sangat berpengaruh.  Tak hanya dalam negeri tapi juga pada level internasional. 

Khotbah Paskah di Mahkamah Konstitusi

Sejak tanggal 2 April lalu nama Romo Magnis menjadi perbincangan publik. Berawal dari kehadirannya sebagai saksi ahli di Mahkamah Konstitusi. Dia diminta berbicara tentang etika karena beliau ahli etika. Romo Magnis memahami etika Jawa, etika kristiani, etika sosial, etika hukum, dan etika hidup bernegara. Dia tampil sederhana, maju dengan tenang. Dia bersaksi ketika umat kristiani baru saja merayakan Paskah.

Hemat saya, beliau berbicara apa adanya. Dia “meminta izin” untuk memberikan tujuan catatan tentang etika di depan Mahkamah Konstitusi. Kesaksian Romo Magnis menghadirkan pro dan kontra. Ada simpati, pujian, dan apresiasi. Termasuk dari umat beragama lain dan orang-orang yang tidak mengenalnya. Tak sedikit yang antipati. Termasuk orang-orang Katolik dan para mahasiswanya dulu. 

Apakah Romo Magnis malu, kehilangan muka dan merasa konyol? Tidak! Itu pekerjaan kenabiannya. Dia terbiasa mendapatkan perlakuan itu. Apakah martabat luhur imamatnya jatuh? Juga tidak! Bagi Romo Magnis, hinaan terhadap dirinya adalah sebuah apresiasi. Ketika dinista, martabat imamatnya justru semakin sejati dan mulia. Lihat saja salib kecil di kerah bajunya menyala. “Singa Emas dari Eckersdorf” itu tidak pernah takut!

Romo Magnis mengajarkan cura personalis ala kolose Sankt Blasien. “Kita harus benar-benar melihat orang lain dan juga membiarkan diri kita dilihat oleh orang lain”. Melalui catatan-catatannya tentang etika, Romo Magnis benar-benar melihat dan membantu para pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia. Melalui tugas kenabiannya, Romo Magnis mengingatkan bahwa ada yang tidak beres dalam proses politik dan kehidupan demokrasi. Dia senang diapresiasi. Tapi lebih berbahagia ketika dicaci maki demi sebuah nilai luhur untuk memperbaiki peradaban.

Umat Katolik tak perlu merasa terganggu dan malu ketika Romo Magnis tampil di Mahkamah Konstitusi. Dia sedang menghadirkan diri sebagai manusia Paskah sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Dia memberi warna tersendiri dan khas sebagai imam Katolik sekaligus guru bangsa.

Setiap kita yang tergabung dalam gereja mengambil bagian dalam tugas kenabian Kristus. Kita bersaksi berdasarkan iman akan kebangkitan Kristus. Tugas ini tercermin dalam kesatuan kita dengan para pemimpin gereja untuk melaksanakan ajaran iman dan moral sesuai dengan ajaran magisterium gereja. Dengan itu kita memberikan kesaksian iman kristiani kepada dunia. 

Semua kita yang telah dibabtis turut mengambil bagian dalam tugas kenabian. Melalui tugas kenabian kita mewartakan kebenaran yang berasal dari Allah, atas dorongan Roh Kudus kepada masyarakat luas. Sebagai umat Allah yang satu, kita memberikan kesaksian akan ajaran Kristus. 

Romo Magnis telah memberikan kesaksian itu. Kesaksiannya di depan Mahkamah Konstitusi adalah sebuah khotbah Paskah. Terima kasih Mahkamah Konstitusi yang telah menyiapkan mimbar khotbah itu. Saya semakin bangga, mengagumi, mencintai dan ingin memiliki daya tahan seperti Romo Magnis. Romo Magnis telah membantu dan mengingatkan rezim untuk menggerakkan revolusi mental. Revolusi mental adalah lokomotif sejarah sebuah peradaban.

 

Penulis adalah misionaris Flores yang bekerja di Keuskupan Basel Swiss, menulis buku: Dari Nusa Bunga ke Negeri Alpen (Sebuah Autobiografi) dan 25 Keping Perak dari Negeri Alpen (Sebuah Persepsi Lintas Budaya). 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *