Sang Ule Lela Nggewa

Narasi 40 Malam Uskup Sensi

Avatar of Gerard Bibang
Panggil Dari Jauh Ule Lela Nggewa

Uskup Sensi telah berpulang. Ule lela nggewa (burung seriwang) itu, yang selama di bumi sejauh-jauh mengangkasa tapi selalu ada saatnya pulang bertengger ke dahan yang sama, kini telah terbang menembus kaki langit tanpa kembali-kembali.

Yang mungkin dan harus kita lakukan sekarang adalah meneliti dan menghitung ulang karya-karyanya, menghormatinya dengan ilmu, merayakannya terus-menerus dengan cinta, menjunjungnya dengan semangat tanpa henti untuk memelihara kemuliaan hidup, serta menghidupkan kembali kandungan karya-karyanya di dalam berbagai modus kreatif kita masing-masing.

Narasi ini satu dari upaya kecil itu. Niat awalnya tidak tiba-tiba. Terima kasih kepada RD Stef Wolo, imam Keuskupan Agung Ende yang sudah sembilan tahun menjadi misionaris di Eiken, Swis, yang dalam telpon Whatsapp pertengahan Desember lalu, meminta dengan sedikit memaksa: “Ka’e (Kak) Gerard buat narasi lagi ka, perjalanan pulang Bapa Uskup dari Jakarta sampai Ende, saya rencana mau buat buku kecil.”

Kau ini Ase (Adik) missionar, nulis untuk apa lagi, tinggal orang buka Youtube saja ka, alles erledigt (beres), zaman digital begini, apa susahnya.

Itu lain Ka’e, maksud saya, buat semacam Kurzuebersicht (rangkuman singkat) berdasarkan khotbah-khotbah kematiannya, dari Jakarta sampai hari penguburan di Ende, tentu dengan Ka’e punya tambah-tambah sedikit ka.

Saya diam sebentar. So eine klasse Idee, ehlig sage Ich dir (Wah jujur saya bilang , ini ide bagus sekali). Ini karena kau sebut Uskup Sensi, yah, saya jadinya tidak berkutik, hahahahaha. Romo Stef juga ngakak dari sebelah sana. Habis itu, dia minta pamit karena mau merayakan misa mingguan di salah satu gereja parokinya.

Empat Titian Serambut

Jadilah narasi ini. Saya mendasarkannya pada empat khotbah kematiannya pada 20—23 November ’23: khotbah Bapak Kardinal Suharyo di Kathedral Jakarta, khotbah Uskup Agung Petrus Turang di Gereja Penfui, Kupang, khotbah Uskup Sipri Hormat dan Uskup Anton Bunjamin, ketua KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), dua yang terakhir ini di Gereja Katedral Ende.

Saya sempat tidak percaya dalam proses penulisannya. Dan akhirnya kepala saya merunduk terharu setelah sadar bahwa empat khotbah ini ternyata telah mengurai benang merah kehidupan Uskup Sensi, dengan runtut, telak dan benderang. Atau clare et distincte, kata orang Latin.

Untuk sederhanya, saya menyebut khotbah-khotbah ini sebagai empat titian serambut yang dibelah tujuh, di mana antara hidup dan mati, Uskup Sensi lewati dengan enteng bagaikan dalam sebuah permainan akrobatik. Kehidupan yang penuh pergolakan panjang selama 72 tahun, telah berakhir dengan sebuah kematian yang mulus, tenang dan bahagia.

Pertama: Bapak Kardinal Suharyo. Dia tidak wafat tapi berpulang. Berpulang ke Sumber Hidup. Frasa-frasa ini beberapa kali diulang-ulang oleh bapak kardinal ketika dia tiba pada fase penghiburan iman yang kedua.

Kalimat-kalimat ini merupakan puncak dari apa yang dikatakannya pada bagian sebelumnya. Bahwa kematian bagi Uskup Sensi tidak lagi menjadi barang gelap mengingat selama hidupnya di bumi, Uskup Sensi menghidupi iman akan kebangkitan dan kehidupan kekal.

Di awal-awal khotbanya, ribuan umat di dalam maupun di luar gereja katedral Senin malam itu, ditegunkan dengan kalimat ini: “Di depan peristiwa kematian seperti ini, kita tidak usah berpanjang-panjang kata tapi cukuplah bersujud di depan Tuhan, mengakui keagungan-Nya dan mengharapkan kerahiman-Nya.”

Untuk itulah, lanjut Bapak Kardinal, apa yang dikhotbahkan malam ini sebenarnya tidak lebih dari penghiburan iman untuk kita yang masih hidup. Ada dua penghiburannya.

Pertama, wajah Uskup Sensi memancarkan aura kebahagiaan. Hal ini diceritakan Bapak Kardinal dari pesan Whatsapp Duta Besar Takhta Suci Vatikan Mgr. Piero Pioppo, yang waktu itu baru saja pulang membesuk Uskup Sensi di RS Carolus.

Begini isi pesan Whatsapp Mgr. Pioppo: “Saya merasa Uskup Sensi sangat lemah dan banyak menderita tapi wajahnya memancarkan aura kebahagiaan.”

Bapak Kardinal lantas berkata bahwa rupanya Uskup Sensi sudah lama menderita sakit, tapi dalam derita berat itu dia mengalami sesuatu yang lain, yang membuatnya bahagia. Inilah tingkat pengalaman iman yang sangat mendalam yang tidak selalu setiap orang punya.

Kedua, selama hidupnya, baik sebagai imam maupun sebagai uskup, Uskup Sensi selalu mewartakan Allah yang kerahiman-Nya tanpa batas. Dengan berpulangnya sekarang, maka Uskup Sensi sudah berada dalam kerahiman Allah yang tanpa batas itu. Dia berada bersama Allah, memandang dari wajah ke wajah.

Sampai di sini, khotbah selesai. Ribuan umat diam seribu bahasa. Tapi saya yakin dalam hati mereka, tangis meronta-ronta dan air mata mengalir deras ke sekujur tubuh.

Selalu Ada Air Mata

Iyah, Uskup Sensi tak pergi. Setuju, setuju, demikian saya membatin sendiri. Dia toh tidak perlu pergi menuju sesuatu yang sudah menyatu dengannya melalui pelayanan imamat dan episkopalnya. Mungkin Uskup Sensi memang telah pergi meninggalkan kita, jauh sebelum detik kematiannya, karena kita meletakkan diri kita semakin jauh dari titik kemesraan rohaniah yang sudah lama ia nikmati. Hanya mata batin kita tak mampu melihatnya.

Bapak Kardinal memang tidak mengulas kesedihan kami atas kepergian Uskup Sensi. Saya menduga, Bapak Kardinal tidak berminat menguraikannya, karena untuk apa? Uskup Sensi tidak mati koq. Dia hanya berpulang!

Hanya, itu tadi, selalu ada air mata. Dari sedangkal-dangkalnya pengalaman rohani saya, saya membacanya, mungkin saya salah tapi kalaupun salah, yah gak benar-benar salah-lah. Saya mau katakan begini: airmata-airmata itu mungkin semacam raungan di kandungan jiwa setiap kali mengalami kematian para kekasih.

Bisa jadi airmata-airmata itu adalah pekikan-pekikan hati yang sebenarnya tidak terutama tentang Uskup Sensi, melainkan lebih terkait dengan kandungan batin saya sendiri. Semacam pekikan yang memancarkan kedalaman cinta dan semangat untuk mempertahankan optimisme menuju hari-hari esok, mungkin juga diam-diam terdapat kandungan kecemasan dan kebingungan dari dalam egoku sendiri.

Terutama bagi orang yang semakin berangkat tua seperti saya: mengibarkan kehidupan Uskup Sensi pada momentum kematiannya, sesungguhnya diam-diam sangat tajam mencerminkan kengerian terhadap kehidupan dan kematian saya sendiri.

Lalu ribuan tetes-tetes airmata yang mengiringi dan membasahi peti jenazahnya ke dalam mobil menuju bandara malam itu, mungkin untuk menyatakan kepada Tuhan betapa cintanya saya, mungkin kita-kita juga, kepada kehidupan kita sendiri, dan betapa khawatirnya kita akan datangnya maut sewaktu-waktu atas kita.

Pada hari-hari sesudahnya, mencengangkan untuk saya ialah setiap kali muncul kekhwatiran ini, setiap kali itu juga ditimpali dengan nyiang-nyiang suara yang kuat sekali dan tegas: dia tidak pergi, Uskup Sensi tidak pernah pergi!

Kami Ingat Kau Punya Senyum

Kedua: Bapak Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang. Kami ingat kau punya senyum. Teman, dari jendela kecil di surga tolong tilik-tilik kami di sini, di Keuskupan Agung Kupang. Setiap kali kau lewat di sini, selalu dengan kau punya senyum. Sekarang senyummu sudah kaku. Tapi saya yakin kau senyum bahagia dalam cahaya yang lain.

Demikian antara lain cetusan hati Bapak Uskup Aung Kupang. Saya mencatat kata-kata ini yang diulang-ulang: baik-baik saja teman dan senyum.

Di bagian awal khotbahnya, Bapak Uskup Agung Turang bersaksi bahwa Uskup Sensi selama hidupnya telah menghadirkan theodrama, yaitu mengeluarkan sehabis-habisnya talenta padanya untuk menghadirkan wajah Allah kepada sesama. Maka, jika sekarang dia mati, ya, pasti ke surga, namanya bukan lagi Potokota tetapi menjadi City of God, Kota Allah, Vincensius Sensi Kota Allah. Langsung disambut dengan tawa gerrrrrr umat.

Karena dia sudah habis-habisan mengeluarkan talenta untuk mewartakan Allah, maka tidak ada yang dia keluhkan. Kamu lihat toh, kalau dia lewat ke sini, dia selalu senyum. Iyah tidak? Dan memang itulah hidup kita di dunia. Keluarkan semua talenta yang kita miliki untuk menghadirkan wajah Allah. Jangan sembunyikan itu talenta.

Kalau tentang mati ya, kita semua akan mati. Jadi, Mr. Josef Nai Soi di sini, romo rektor, romo paroki, termasuk saya, yah, kita-kita semua-lah, pasti mati. Umat tertawa.

Tapi, yang penting apa yang kita lakukan selama hidup. Lihat itu Uskup Sensi. Dia sudah keluarkan talenta sehabis-habisnya untuk mewartakan Allah. Setuju tidak? Setuju tidak?  Setujuuuuuu, jawab serempak umat dalam gereja sambil tertawa. Kalau begitu ya, jangan lupa omong sebentar ke Sensi (sambil menunjuk ke peti jenazah), mumpung dia masih di sini.

Lalu mewakili umat semua, Uskup Agung berkata: Sensi, kami semua di sini setuju dengan contoh hidup yang kau tinggalkan. Kau lewat-lewat di sini biasanya selalu senyum, sekarang senyummu sudah tidak kelihatan, sudah kaku, tapi kami percaya kau tetap senyum untuk kami dalam cahaya yang lain. Kami ingat kau punya senyum.

Secara pribadi, Bapa Uskup Agung mengalami kegembiraan dan kebahagiaan Uskup Sensi melalui persahabatan dan sapaan akrab di antara mereka. Maka, hubungan mereka sebenarnya lebih dari hanya kolegialitas karena jabatan uskup. Kedua uskup agung ini saling sapa dengan kata teman.

Begitulah misalnya beberapa bulan sebelum kematiannya ketika Uskup Sensi dirujuk ke rumah sakit di Kupang. Dia menginap seminggu lebih di Keuskupan Kupang.

Kata Uskup Agung Turang: “Setiap hari, pagi sore ke dokter yang sama. Setiap kali kembali, saya selalu tanya Teman, bagaimana, ada perkembangan kah?” Dan jawaban selalu sama: “Baik-baik saja, Teman. Memang ada banyak benjolan tapi tidak apa-apa.” Begitu terus jawabannya selama seminggu lebih, sampai akhirnya dia kembali ke Ende untuk perawatan lanjutan.

Ketika awal November Bapak Uskup Agung Turang mengunjunginya di RS Carolus, Jakarta, sapaan khas keluar dari pembaringannya di ranjang: “Teman, saya ada sakit sedikit.” Jawab Uskup Agung Turang: “Yah iyalah Teman, kita semua sakit, saya punya kaki juga sakit, tapi saya lihat kau punya sakit ini lebih berat, kau harus kuat e, Teman.” Sebelum pamit, Uskup Agung Turang memberinya berkat.

Karena itulah, dengan rasa pertemanan yang sangat mendalam, di pengujung khotbahnya, Uskup Agung Turang berkata dalam nada sendu: “Temanku, uskupku, dari jendela kecil di surga, jangan lupa tilik-tilik kami di sini, di Keuskupan Agung Kupang.”

Bahagia dalam Derita

Sampai di sini, khotbah selesai. Segera sesudah misa, jenazahnya diberangkatkan dari Gereja Penfui ke Bandara Internasional Eltari untuk diterbangkan ke Ende.

Saya yakin dengan cara tertentu kita mengalami senyum alias sentuhan kasih sayang Uskup Sensi. Setelah direnung-renung, memang demikianlah adanya. Jika seseorang sudah mengalami Allah, apa-nya lagi yang dirisaukan? Apa lagi kah yang kurang? Tentu tidak ada. Yang ada, senyum, gembira dan sukacita.

Saya pun mengalaminya demikian. Padahal saya bukan mahasiswanya di STFK Ledalero. Bukan rekan kerja, bukan pula keluarganya. Tetapi dalam dua perjumpaan dengannya, sekali di Koeln, Jerman, dan sekali di Jakarta, seperti yang telah saya tuangkan dalam narasi saya sebelumnya berjudul “Panggil Dari Jauh”, saya seyakin-yakinnya berkata: Selalu adem ketika ada bersamanya. Senyumnya adalah kasih sayangnya. Memanggil saya dengan nama adalah cintanya. Bicara dan gestur tubuhya adalah cinta kasihnya. Dia man of grace yang tampak nyata di dunia.

Tentang senyum dan gembira, ingin saya angkat sebuah sisi lainnya. Bagi saya, senyum dan gembira, padahal kita tahu dia sedang sakit berat, adalah pesan lain dari hidupnya.

Saya mau katakan begini: ketika Uskup Sensi selama hidupnya sudah melihat wajah Allah, maka derita, apa pun jenis dan kadarnya, hanya akan menjadi satu dari elemen-elemen untuk bergembira dan bersukacita. Untuk hal-hal luar biasa begini memang dibutuhkan mata iman untuk jeli melihat dan membacanya.

Barulah kemudian saya paham mengapa dia tampak tenang dan memberi kesan baik-baik saja selama ini. Akhirnya saya paham mengapa dia tidak mau kita-kita yang lain ikut mengalami kadar derita yang dia alami. Demikian pun takaran jenis sakit yang menimpanya, dia tak ingin kita-kita yang lain mengetahui atau turut menghayatinya. Sesungguhnya dia telah bahagia di dalam anugerah kemuliaan derita dan sakitnya.

Satu lagi: pertemanan dan persahabatan. Biasanya ini adalah karakteristik seseorang yang penuh loving. Dan ini sangat tampak padanya. Uskup ini, saya sebut saja, paket komplet. Semua dia punya. Jabatan besar, uskup agung pula, badan tinggi dan besar, gagah dan cakep banget, ramah dan senyum, kuasa besar, semasa pendidikannya di Ritapiret dan Ledalero, dia dirigen andal dan aktif dalam kepemimpinan dewan mahasiswa, pemain bola kaki hebat, suara merdu penuh vibrasi dan apa lagi, silakan deretkan sendiri litani kehebatannya.

Tapi tampakkah kebesaran-kebesaran itu ketika berhadapan denganmu? Adakah dia seenak-enaknya main dan pakai kuasa? Tidak, tidak! Dia tetaplah seorang sahabat sahaja bagimu dan bagi siapa saja yang dijumpainya. Selalu ada perhatian untukmu sebagaimana layaknya seorang sahabat. Istilah anak-anak milenial zaman nou, tak pernah sekalipun dia berlagak ‘ngebos “ dan “ngekuasa.”

Inilah yang membuat kita kangen padanya. Dengan demikian, dia abadi dalam kerinduan dan kenangan kita. Bagi saya, Uskup Sensi adalah satu dari beberapa orang di deretan pertama dalam hidup saya yang memperkenalkan persahabatan dalam arti sebenar-benarnya ialah care dalam hal-hal kecil, cukup dengan menyapa, bahwa menyapa itu tidak perlu menunggu kaya dan menjadi orang hebat, bahwa ternyata hanya dengan menyapa, energi batin dan jiwa seseorang tersemai, yang menguatkan langkah-langkahnya sepanjang-panjang perjalanan di bumi.

Intisari Pedagogi Iman, Harap dan Kasih

Ketiga, Uskup Sipri Hormat. Kematiannya adalah intisari pedagogi iman, harap dan kasih. Tetapi dia tetaplah seorang bapa. Cintanya tinggal. Dia meninggalkan umat Keuskupan Agung Ende dalam naungan kasihnya.

Itulah benang merah khotbahnya, Rabu sore (22/11) di Gereja Katedral Ende. Menyimak khotbah ini memang seperti sedang mendengarkan sebuah pengajaran sistematis. Sekaligus sebuah penjelas (erklaerung) untuk perasaan dan pikiran yang campur aduk saat itu.

Untuk pedagogi iman, uskup Ruteng ini berkata: “Manusia rapuh dan pasti binasa tapi kita diberitahu bahwa yang rawagi berubah tapi yang rohani dan jiwa, abadi. Maka, apa yang kita gentarkan tentang kematian jika yang abadi itu akan mempertahankan hidup kita. Apa yang tampak di sini, fana. Yang tak tampak itu yang kekal. Itulah yang menimpa kekasih kita Uskup Sensi.”

Dalam kerapuhan ragawinya, lanjut Uskup Sipri, Uskup Sensi sudah memberi contoh. Hidupnya selalu terarah kepada Allah. Hanya dalam keterarahan inilah semua teka teki hidup bisa dijawab, termasuk kerentanan dan kecemasan hidup.

Maka dalam kerapuhan itu, tegasnya, “Saya yakin kekasih kita Uskup Sensi telah melihat Allah yang menyiapkan tempat untuknya di surga, yang tidak dibangun oleh tangan manusia.”

Tentang pedagoi kasih, Uskup Sipri mengatakan begini: “Hidup dalam keterarahan kepada Allah berarti hidup dalam kasih Allah. Kita tidak sendirian. Meskipun kita tertindas, sengsara, derita dan sakit, merasa ditinggalkan, habis akal, tapi kasih Allah itu ada.”

Maka dengan kematiannya, Uskup Sensi mau berkata kepada kita: kasih Allah tetap menyertai gereja lokal Keuskupan Agung Ende, walaupun dalam derita dan sengara. Dia menahan rasa sakit dan derita beratnya karena dia mencintai kita semua. Dia memeluk semua umatnya di Ende, Ngada dan Nagekeo dalam sakit dan deritanya, dalam kasih dan cintanya.

Selain dari itu, Uskup Sensi tetaplah seorang bapa dan kakak. Hal itu berdasarkan pengalaman Uskup Sipri sendiri baik sebagai pembina di Tahun Rohani di Ritapiret maupun sebagai rekan uskup. Dia katakan sebagai bapa dan kakak yang rendah hati, Uskup Sensi selalu memberikan yang terbaik kepada kami adik-adiknya dan kepada siapa pun.

Untuk merawat harapan atas iman dan kasih, di bagian akhir khotbahnya, Uskup Sipri mengajak semua yang hadir untuk mengutamakan kasih di atas segala-galanya dan kasih itulah juga yang memampukan kita untuk saling mengasihi.

Deritanya = Kasihnya

Khotbah selesai di sini. Khusyuk dan diamnya ribuan umat di dalam dan di luar Gereja Katedral Ende, dugaan saya, karena mereka merasa tercerahkan. Batin mereka yang gelap karena kedukaan ini, kini diterangi dengan pencerahan yang tegas dan runut dari seorang gembala agung gereja, serta menyemaikan dalam batin mereka sebuah harapan akan hari esok.

Jujur harus saya katakan bahwa dari khotbah ini, saya mendapatkan dua surprise. Atau kebaruan (novelty) menurut istilah anak-anak sekarang.

Kebaruan pertama, terungkap dalam kata-kata Uskup Sipri ini: “Dia menahan sakitnya untuk memeluk umatnya dari Ende, Ngada sampai Nagekeo dalam kasihnya.”

Saya tercenung cukup lama. Memang benar adanya. Derita dan sakit Uskup Sensi adalah pelukan kasih sayangnya terhadap umatnya. Deritanya adalah cintanya. Sakitnya adalah kasihnya.

Kebaruan kedua, tentang keutamaan atau kebajikan hidup: iman, harap dan kasih. Jumlahnya tiga namun ketiga-tiganya hanya dapat dibedakan tapi tetap satu dalam esensi dan praksisnya.

Saya disadarkan memang itulah saripati hidup sehari-hari seorang Kristen. Boleh berputar-putar ke mana-mana ke sana kemari tapi selalu kembali ke simpul utama: beriman, berharap dan berkasih sayang. Uskup Sipri sudah menggamblangkan secara terurai: 72 tahun hidup Uskup Sensi adalah peragaan untuk tiga kebajikan itu dengan terang benderang dan nyata.

Dua kebaruan ini sekaligus menjadi pembeda dengan dua khotbah sebelumnya. Ibarat anak tangga, khotbah Bapak Kardinal dan Uskup Agung Turang menempatkan Uskup Sensi dan kita semua di tangga pertama, di mana Uskup Sensi dialami sebagai makhluk Tuhan di bumi, kita bergaul dan bersahabat serta berinteraksi dengannya. Dari pengalaman-pengalaman itu, kita diberitahu oleh Bapak Kardinal dan Uskup Agung Turang bahwa pastilah Uskup Sensi masuk surga. Maka jangan terlalu sedih, begitu kira-kira menurut bahasa saya.

Nah, pengalaman bersama di tangga pertama itu diangkat oleh Uskup Sipri ke tangga kedua, di mana Uskup Sensi dibedah sebagai makhluk langit, yang hidupnya di bumi memang sudah diatur oleh Yang Di Atas, oleh Yang Maha Kuasa, oleh Yesus sendiri. Segala sesuatu yang dialami bersamanya di dunia, kini, diterangi oleh ilmu langit, ialah tetesan-tetesan Sabda Yesus yang sudah lama tercurahkan ke dunia sejak lama, baik dalam Kitab Suci maupun dalam tradisi gereja.

Keempat, Uskup Anton Bunjamin, ketua KWI (Konferensi Waligereja Indonesia): wajahnya tenang sekali dan sangat damai.

Inilah khotbah tersingkat di antara tiga khotbah sebelumnya, sekaligus menandai puncak dan akhir bahagia dari perjalanan Uskup Sensi. Kalau khotbah Uskup Sipri mengangkat kita ke tangga kedua, maka khotbah Uskup Anton mengantar kita ke tangga puncak, yaitu anak tangga ketiga.

Khotbah Uskup Anton sebenarnya lebih banyak syering pengalaman pribadinya menjelang hari-hari terakhir hidup Uskup Sensi. Uskup Anton telah dua kali membesuknya di RS Carolus.

Pada besuk pertama, Uskup Sensi bercerita banyak. Terkesan baik-baik saja. Namun sangat terlihat kelelahan pada penampilan fisiknya. Setelahnya pergi besuk kedua ketika mendengar kesehatannya makin parah dan dinyatakan tipis harapan hidup.

“Saya ke sana,” kata Uskup Anton, “keadaanya memang sangat lemah dan dia meminta diterimakan sakramen pengakuan. Tampak sekali tangannya begitu lemah dan harus dibantu diangkat untuk tanda salib. Tapi sesudah pengakuan, saya lihat wajah Uskup Sensi tenang sekali dan sangat damai, sangat damai.”

Setelah mengucapkan kalimat-kalimat ini, Uskup Anton diam sebentar sambil merunduk. Lalu meneruskan beberapa kalimat singkat dan khotbah pun selesai.

Seluruh umat diam. Mungkin masing-masing membatin: terima kasih Tuhan, bahagia sekali akhir hidup dari kami punya uskup ini. Itulah juga yang saya batinkan di sini ketika mengikuti secara livestreaming pada hari Kamis (23/11) itu.

Yah, sebuah akhir yang damai dan bahagia. Bukankah ini semulia-mulianya hidup manusia? Tentang hal ini ingin saya katakan dua hal.

Petama, dengan akhir bahagia seperti ini maka terjawablah dengan sendirinya siapakah Uskup Sensi itu. Tergenapilah kata-kata leluhurnya di Lio dan di bumi Flores pada umumnya, yang berkata: “Abakku, kalau mau tahu siapakah seseorang itu selama hidupnya, lihatlah cara meninggalnya.”

Kita pun sudah melihat. Dengan wajah penuh tenteram damai, Uskup Sensi telah pergi ke tempat dari mana tak seorang pun dari kita dapat memanggilnya kembali.

Kedua, akhir hidup yang sangat damai ini terjadi pada hari Minggu, hari yang kita percayai sebagai hari Tuhan. Tuhan memang telah memilihkan saat terbaik untuk memanggil kekasih-Nya, Uskup Sensi, Minggu sore, di bawah cahaya senja langit-langit RS Santo Carolus, saat sebagian sesamanya di kota metropolitan itu bersiap-siap menghadiri gereja sore.

Entah kebetulan atau tidak, berpulangnya Uskup Sensi ke rumah Bapa beriringan dengan bergegas-gegasnya jutaan orang beriman ke rumah Tuhan. Jadi, sama-sama ke rumah Tuhan. Bagi saya, inilah seindah-indahnya tindakan Tuhan di bumi bagi makhluk ciptaan-Nya.

Suatu Hari Nanti

Demikianlah empat titian serambut yang telah dibelahnya menjadi tujuh. Hidup dan mati telah dilewatinya dengan tenang, mulus dan bahagia. Bukankah ini adalah seindah-indahnya kehidupan seorang makhluk Tuhan di muka bumi?

Dalam doaku telah saya minta dan mohon izin kepadanya untuk suatu hari nanti dianugerahi kemampuan membuktikan bahwa semulia-mulianya kehidupan sesungguhnya adalah puncak-puncak kebaikan dan kasih sayang.

Bahwa untuk itu tidak perlu melalui hal-hal besar: nama besar, harta besar, rumah besar, kekuasaan besar, jabatan besar. Cukuplah melalui yang kecil-kecil saja: senyum dan sukacita menyapa sesama sambil berwarta tentang Sabda dalam berbagai cara, melalui satunya kata dan lagak laku, sembari berdoa demi menjadikan kehidupan sesama semakin semerbak.

Ini satu lagi. Kematiannya adalah sebuah warta kuat yang secara kiasan ingin saya namakan cara kematian ala Uskup Sensi. Dia tidak meninggal di Ende. Dia meninggal di perjalanan. Mampir di RS Carolus karena dalam rangka penyembuhan sakitnya.

Tentang warta dari cara kematian ala Uskup Sensi ini, saya mau bilang begini: sejauh-jauh atau sedekat-dekatnya saya berjalan dan pergi, entah di sekitar rumah atau merantau jauh dari kampung halaman, semua itu sejatinya adalah kegiatan berpulang. Jadi, saya tidak ke mana-mana sebenarnya. Pergiku adalah berpulangku. Adalah kembaliku ke rumah Bapa, Sang Pemilik Kehidupan.

Maka untuk apa khawatir tentang mati? Menggunakan istilah orang Betawi, heh mate, sapa takut ama lo, emangnya lo siape, (heh kematian, siapa takut, memang kau siapa) sebuah frasa sehari-hari yang menunjukkan betapa tak gentarnya seseorang menghadapi sesuatu.

Dan saya pun dengan gagah berani berkata “wahai maut, siapakah engkau,” sembari bersama Chairil Anwar berucap lantang:/Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka Maha Tuan bertahta/

Uskup Sensi, kalau kehidupan ini sulit mempertemukan kita rupanya hanya kematianlah yang dapat mempersatukan kita kembali. Engkau, sang ule lela nggewa telah terbang ke tempat darimana tak seorang pun dari kami dapat memanggilmu kembali.

(tmn aries:jkt:medio desember 2023)

 

Catatan:

Ule lela nggewa adalah kata Lio untuk burung seriwang Asia atau Asian-Paradise Flycather (Terpsiphone paradisi), burung endemik Asia, dan di Indonesia banyak berada antara lain di Kalimantan dan Nusa Tenggara. 

Ule lela nggewa memiliki bentuk yang sangat khas, dengan warna bulu yang kontras, ekor yang panjang terurai serta tingkah laku yang lincah. Karena kebanyakan berekor panjang putih, di beberapa tempat disebut burung tali pocong. Tapi yang paling unik ialah burung ini boleh terbang tinggi sejauh-jauh menembus angkasa tapi suatu saat pasti ia pulang kembali menghinggap di dahan yang sama, darinya ia berangkat melanglangbuana.

Karena itu, di Lio, burung ini menjadi simbol keindahan alam dan keharmonisan dengan sesama ciptaan, sekaligus pesan kuat untuk putra putri Lio agar bolehlah sejauh-sejauh melampaui puluhan pulau kau merantau, tapi jangan lupa pulang kampung halaman mereguk tradisi dan kebudayaan sendiri. Apa yang kau peroleh di tanah rantau harus kau saring, jangan telan mentah-mentah. Selain itu, burung ini, seperti sering dipentaskan dalam seni tari dan lagu, adalah semacam doa memohon turunnya hujan ketika memulai musim tanam.

 

Baca juga artikel terkait Uskup Sensi Potokota atau tulisan menarik Gerard Bibang lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


gerard bibang, wajah, daun-daun kering, Tikungan Dungu nyawa kepadamu kepadaku

Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.