Sendagurau pada Tanggal Tujuh

Avatar of Gerard Bibang
Sendagurau

Apa gerangan sesungguhnya yang membentang jarak antara kedua kakiku yang terus tarik-menarik; yang bermula dari rasa lucu di tanggal tujuh; tapi sebenar-benarnya tidak lucu

Apa gerangan yang terjadi dengan para Yang Mulia di gedung-gedung pengadilan; mereka tertawa dan cengengesan di depan kamera sambil mengacungkan jempol padahal terbukti melanggar etika berat dan ringan?

Gerak sejarah apa yang begitu susah dipegang sekarang ini? gerak kebudayaan macam apa yang dipertontonkan sekarang ini? rasa malu dan bersalah yang adalah anak kandung kebudayaan Nusantara sudah ke mana?

Gejala demi gejala bersusul-susulan; dari ayah ke anak mewaris dalam garis dinasti diperagakan di atas jalan-jalan Nusantara dengan terang benderang;  praduga dan kesimpulan saling menggugurkan; kata dan perilaku saling melawan; kebaruan-kebaruan yang menjadi wilayah ilmu kini menjadi produk kekuasaan yang ingin digenggam lebih dari sepuluh tahun; kata dan aksi muncul hilang muncul hilang seperti cilukba yang ingin melucu-lucu

Jarak antara kedua kakiku tarik-menarik, melebar dan mengangkang; gejala demi gejala semakin ke sini semakin miris; ataukah jarak antara kakiku yang kiri dengan yang kanan menganga-nganga karena ada yang dimain-mainkan?

Jarak itu ialah antara kejujuran dan kebenaran yang telah menjadi main-mainan; antara napsu tegang untuk berkuasa dan bungkusannya yang santun dan sendagurau menjadi tak karu-karuan

Aku tak bisa ikut tertawa-tawa; meski ini sebuah sendagurau dan lawakan tingkat dewa; aku terus berjalan meski kelaparan; bahkan dalam tidur pun aku bangun, melompati masa depan menuju Indonesia yang diimpi-impikan

Siapakah Aku Sang Penonton?

Hidup ini lucu, penuh dengan sendagurau; mungkin karena itu malah membuat kita sering bermain-main dalam hidup; saking bermain-mainnya sampai-sampai kita mengganti baju beribu kali dalam sekejapan; sebentar omong begini, sebentar perlaku begitu; semuanya terbingkai dalam lucu-lucu, senyum, sopan santun dan sendagurau

Siapakah aku sang penonton kelucuan-kelucuan ini? siapakah aku yang terus-menerus ngangkang karena tarik-menarik antara dua kakiku yang menginjak bumi? yang semakin hilang arah ke mana aku ditarik oleh para pemimpin-pemimpin?

Aku adalah buih di tengah samudera tak bertepi; aku adalah rumput kering tak berdaya di tengah luasnya padang rumput Nusantara; aku adalah sehelai rambut yang terseok-seok di langit Indonesia; dan aku adalah gelandangan yang terselip di antara ratusan juta penduduk Indonesia; lantas apa yang bisa kuperbuat untuk Indonesia?

Mimpiku tentang Indonesia sudah kutuliskan di berbagai macam media; sudah kukeluhkan dalam sunyi; sudah kudoakan dalam senyap; sudah kutulis bait-bait puisi untuk mengungkapkan keagungan cintaku padanya; tak lupa setiap saat kunyanyikan lagu cinta padanya; tapi apa? apakah Indonesia membutuhkannya?

Kenyataan di depan mataku berkata Indonesia tidak sedang baik-baik; pembangunan semarak di mana-mana, orang-orangnya makin cerdas di mana-mana; tapi apa dan bagaimana dengan pemimpinnya?

Tiba-tiba ada seorang gagah berotot maco berbisik ke telingaku: “hei gelandangan, dengar baik-baik, pemimpin-pemimpin negerimu sudah hidup sejahtera; mereka menganggap Indonesia juga sudah aman sejahtera; Indonesia sudah bahagia dan nyaman dengan keadaannya; coba kau lihat! pembangunan terjadi di mana-mana; gedung-gedung pencakar langit memenuhi angkasa; jalan tol menghubungkan setiap kota; burung besi setiap hari menari-nari memenuhi angkasa, kapal-kapal besar banyak yang bersandar di dermaga; dan yang terpenting adalah desa-desa dengan dana desa sudah mulai meng-kota serta rakyatnya hidup sejahtera; coba lihat pemimpin-pemimpin Indonesia; mereka tertawa-tawa mengelola perasaan mereka untuk terus berkuasa, untuk turun-temurun diwariskan ke anak cucu; mereka sedang menjalankan politik gembira dan bersendagurau; dan terhadap kau, eh, memangnya kau siapa? ”

The Silent Peaceful Majority

Ohhhhh aku paham sekarang; pantesan di hari-hari belakangan ini segala-galanya menjadi terbalik-balik; membingungkan! pemimpin-pemimpin dan orang-orang besar di atas sana menjalani hidup mereka di jalan keinginan, cukup berbekal napsu, ditambah sedikit ilmu yang kompatibel dengan napsunya itu; jadilah apa yang dimaui; tentara, polisi dan gedung-gedung pengadilan dipegang, selesailah segala perkara; sementara itu, ada sebagian besar orang di luar sana yang melakoni kehidupan mereka untuk mencari apa yang mereka butuhkan, bekal yang mereka perlukan sejak awal adalah ilmu dan etika

Mereka-mereka ini meniti di jalan kebudayaan, sunyi dari perbincangan ramai di telivisi; mereka-mereka ini adalah the silent peaceful majority, yang begitu kebaikan dan kesabaran mereka dikangkangi, maka seketika itu juga mereka akan perintahkan gunung api untuk memuntahkan lahar panasnya dan samudera menggelontorkan gelombang panas ke seluruh negeri tanpa terkecuali seperti yang terjadi pada tahun 1998; tentara, polisi dan gedung pengadilan bakal terbirit-birit; kebohongan memang tidak punya paha, seperti kata orang Jerman, Die Luege haben keine Beine;  kebohongan tidak punya pangkal paha yang suatu waktu pasti akan terkejar dan ketahuan; maka kebenaran akan menemukan jalannya sendiri, di suatu waktu nanti

Suatu ketika, di atas jalan sunyiku, aku bergumam sendiri: “apakah pemimpin dan orang-orang besar di negeriku saat ini sedang melakoni kehidupan menjalani apa yang mereka butuhkan, atau malah mereka menjadi bayi yang hanya mengerti napsu dan keinginan? lantas apa yang bisa kuperbuat untuk mereka, sedangkan mereka sendiri merasa yakin dengan jalan yang mereka tempuh saat ini, ialah jalan napsu dan keinginan dan bukan jalan kebudayaan?

Gumamku berlanjut: “dulu aku sangat ingin segera terjadi perubahan pada tanah airku ini, semakin ke sini, aku mulai menanyakan pada diriku lagi, memangnya apa yang akan aku ubah, dan akan kuubah seperti apa? dan yang terpenting adalah aku ini siapa, kok sok-sokan mau mengubah Indonesia? aku tertawa geli, melucu-lucu dan mentertawakan diriku sendiri”

Hidup Ini Lucu

Di suatu malam yang sunyi, terngiang dalam benakku kata-kata ini: “Tuhan menganjurkan kita untuk menjauhkan diri kita dan keluarga kita dari api neraka”

Aduh, aku mulai berpikir, bagaimana mau menyelamatkan Indonesia dari api neraka kalau diri kita sendiri masih berada di dalam neraka? bagaimana mau menyelamatkan orang keluar dari penjara kalau kita sendiri masih berada di dalam penjara? bagaimana mau memajukan demokrasi Indonesia kalau kita sendiri tidak punya etika dan tidak punya rasa malu dan bersalah? bagaimana bisa berkeadaban dalam politik kalau kita sendiri amat biadab dan keji serta tidak etis dalam berpolitik? bagaimana bisa menjadi manusia berharkat jika kita sendiri senang berkhianat? bagaimana bisa menghargai budaya sopan santun jika kita sendiri memberaki piring makan di depan ibu kita yang menghidangi kita makanan? bagaimana menyuruh orang demokratis kalau kita sendiri memilih jalan dinasti? dan bagaimana menyuruh orang setia dalam perkawinan kalau kita sendiri diam-diam dan secara reguler pergi melacur?

Aku tertawa terpingkal-pingkal menertawakan diriku sendiri lalu kuberanjak ke dunia bayang-bayang dan mengandai-andai kalau saja pada tanggal tujuh itu tidak terjadi lucu-lucu dan sendagurau

Hidup di bumi Indonesia memang sangat lucu; kita merasa sok-sokan mau menolong Indonesia, padahal sebenarnya diri kita sendirilah yang perlu kita tolong terlebih dahulu; kita dengan lantang mengkoar-koarkan perubahan, padahal sebenarnya diri kitalah yang terlebih dahulu harus diubah; pemimpin-pemimpin kita berkata jangan main drama padahal mereka sendirilah  penulis naskah, skenario dan sutradaranya; Indonesia memang sedang lucu-lucunya

Akhirnya benarlah perkataan ini: “kalau main-main, main-mainlah yang serius, kalau serius janganlah main-main; hidup ini memang permainan yang  lucu-lucu tapi janganlah sekali-kali mempermainkan permainannya, kalau tidak mau engkau sendiri dipermain-mainkan di depan semesta; ingat itu!”

(gnb:tmn aries:jkt:senin:13.11.23, hari-hari pasca putusan MKMK)

 

Baca juga artikel terkait NARASI PUITIK atau tulisan menarik Gerard Bibang lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


gerard bibang, wajah, daun-daun kering, Tikungan Dungu nyawa kepadamu kepadaku

Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.