Sertifikat, Elektrik Berjodoh –isasi

sertifikasi, sertifikat

Penggunaan kata sertifikat dan elektrik tampaknya  telah mewarnai aneka wacana seputar persoalan pendidikan di Tanah Air.  Ketika kualitas pendidikan di Tanah Air dipersoalkan, lahirlah kata sertifikasi yang dipertalikan dengan para guru yang ditengarai sebagai sumber kemerosotan mutu pendidikan.

Pemerintah dan semua pemangku kepentingan dunia pendidikan lalu mencari jurus pamungkas yang diandalkan mendongkrak kualitas pendidikan. Semua guru yang  mengajar dan mendidik harus mengakui sertifikat tenaga kependidikan. Proyek raksasa berskala nasional dengan dana raksa seakan-akan menghujani Nusantara meski curahannya tidak merata. Kita mengenalnya sebagai proyek “Sertifikasi Guru”.

Guru yang dinilai laik mengajarkan siswa berdasarkan kriteria tertentu,  harus bersertifikat pendidik. Tujuan tersamar, jangka panjang  adalah kualitas sumber daya manusia sedangkan target jangka pendek dan paling nyata adalah jaminan ekonomi karena sertifikat ibarat galah sakti untuk menjolok gepokan tunjangan sertifikasi.

Bentuk “sertifikasi” yang bertalian dengan bentuk “sertifikat” seperti yang ditemukan dalam tulisan ini memang amat berdamai dengan rasa bahasa (lidah yang mengucapkannya dan telinga yang menyimaknya) tetapi sesungguhnya bentuk sertifikasi ini menyelipkan masalah bahasa yang perlu diuraikan untuk dipahami.

Sertifikat sebagai kata benda, berarti tanda atau surat keterangan (pernyataan tertulis atau tercetak) dari orang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian.  Sertifikat tanah misalnya, berarti surat keterangan bukti pemilikan tanah. Sertifikat pendidik atau guru berarti surat bukti pemilikan wewenang  menjalankan peran sebagai pendidik, guru.

Sebagian pembaca (terutama para pegulat bahasa) memahami bahwa bentuk sertifikasi merupakan bentuk turunan dari bentuk dasar sertifikat. Bentuk sertifikasi terlahir dari aktivitas yang merujuk pada adanya proses untuk mendapatkan sertifikat. Karena itu, sertifikasi diartikan sebagai penyertifikatan. Bentuk penyertifikatan ini diturunkan dari bentuk dasar sertifikat melalui proses morfolologis pengimbuhan dengan unsur pe-/-an. Bentuk dasar mengalami penyengauan atau penazalan karena bentuk dasar  sertifikat diawali bunyi konsonan /s/.

Proses morfologis dengan imbuhan pe-/-an yang bermakna menyatakan proses dalam kaidah morfologis seperti ini paralel dengan penggunaan bentuk akhiran –isasi. Kata legal (sah) misalnya, jika diimbuhi bentuk pe-/-an maka menurunkan kata legalisasi (proses mengesahkan atau pengesahan).

Jika kaidah ini yang digunakan maka bentuk sertifikasi jelas menyalahi kaidah proses morfologis penggunaan akhiran –isasi. Seharusnya, dari bentuk dasar sertifikat jika diimbuhi akhiran –isasi yang bermakna proses harus menurunkan bentuk sertifikatisasi. Bentuk sertifikatisasi paralel dengan bentuk penyertifikatan yang berarti proses, cara, perbuatan menyertifikatkan.

Jika bentuk sertifikasi ini (sebagai bentuk yang menyalahi kaidah) tetap digunakan sebagai bentuk yang benar maka kita akan berhadapan dengan bentuk-bentuk lain yang juga tidak taat asas. Sebagai contoh Harian Jawa Pos Senin, 2 September 2013 halaman 7 menurunkan artikel: “Elektrifikasi Butuh 10 Tahun”. Bentuk “Elektrifikasi” ini merujuk pada bentuk dasar elektrik. Karena maknanya merujuk pada proses, bentuk elektrik ini dapat diimbuhi pe-/-an menjadi pengelektrikan. Karena -isasi bermakna proses, seharusnya bentuk yang diterima adalah elektrikisasi. Bukan elektrifikasi.

Jadi, bentuk sertifikasi yang telah lama digunakan (salah kaprah?)  dan elektrifikasi serta bentuk lainnya yang mungkin akan muncul jelas menyalahi kaidah karena imbuhan serapan –isasi terkesan dipaksakan untuk dijodohkan pada bentuk sertifikat dan elektrik. Perlakuan terhadap bentuk “sertifikat menjadi sertifikasi” dan “elektrik menjadi elektrifikasi” jelas menyimpang dari kaidah.

Penjodohan yang dipaksakan dan terkesan hanya mempertimbangkan kemudahan pengucapan seperti ini jelas berpontensi melahirkan disharmoni dan boleh jadi mengacaukan. Kita menginginkan kehidupan yang harmonis dan cara berbahasa menjadi salah satu pilihan untuk keharmonisan itu.

Kebiasaan menggunakan bentuk sertifikasi dan elektrifikasi dapat dianggap sebagai tindakan  mengawinpaksakan imbuhan asing -isasi dalam pembentukan kata. Pengguna bahasa memang harus konsisten mengikuti kaidah yang ada.

 

Baca juga artikel terkait FATAMORGANA BAHASA INDONESIA atau tulisan menarik Bonefasius Rampung lainnya.

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, simpulan, pergerakan, walau pun

Bonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.