Sobatku, Sudah Tahun Baru Lagi

Narasi Akhir Tahun 2023

Avatar of Gerard Bibang
sobatku
FOTO: teguhsudarisman.com

Hei Indonesia, sobatku seperjalanan

Di tebing tahun sore ini, berhentilah sejenak

Sudah akan tiba tahun baru lagi

Belum juga tibakah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri

Bercermin pada waktu sebelum kita habis ditelannya

Bukankah kita telah diberitahu hidup di bumi hanya fana

 

Indonesia, sobatku, siapakah kita ini sebenarnya?

Binatang berakal budi atau lebih sedikit dari hewan kah?

Makhluk beretika dan ber-Pancasila atau berinsting kah?

Siapakah kita ini sebenarnya?

Yang jika hendak dirimu dicintai, yah, mencintailah

Yang jika hendak berbahagia, yah, saling menghargailah

Yang jika cinta, cinta sajalah

Yang jika jujur, jujur sajalah

Yang jika berkuasa, mengabdi dan melayani sajalah

 

Atau kita sama saja dengan makhluk lain atau bahkan lebih rendah lagi

Hanya budak perut dan kelamin

Hanya mengandalkan kemampuan diri sehingga merasa benar sendiri

Atau iman kita kepada Sang Pencipta hanya label ucapan

Kredo kita terhadap kemahakuasaan-Nya lebih tipis dari uang kertas ribuan

Bahkan lebih pipih dari kain rok perempuan

Ataukah kita yang begitu sopan santun dan khusyuk di depan khalayak

Dan tiba tiba buas dan binal di saat sendiri merancangkan niat atas napsu serakah

Ataukah iman kita rasanya lebih buruk dari kicauan burung nyasar di belantara

Kosong tak berdaya!

 

Tak terasa kita semakin pintar; mungkin kedudukan kita sebagai ciptaan yang berakal budi mempercepat proses kematangan kita, paling tidak kita semakin pintar berdalih untuk ambisi kita, untuk apa yang kita maui, tentu dengan alasan ilmiah dan cerdas pula

 

Kita memperkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan; kita berkelahi demi menegakkan kebenaran, mengacau dan menipu, mendustai, mengkhianat dan berpura-pura demi keselamatan diri sendiri

 

Di sekolah-sekolah terjadi memukul, wlungku, mencaci, membuli, menyiksa demi pendidikan; di mana-mana kita berbuat semaunya demi kemerdekaan; memberangus rumah-rumah ibadat atas nama kebebasan beragama; bahkan tidak berbuat apa apa demi ketenteraman, zona aman dan nyaman; kita membiarkan kebohongan demi kedamaian; menyebarkan kepalsuan ke mana-mana agar lama-lama kepalsuan itu diterima sebagai kebenaran; pendek kata, demi semua yang baik, halallah segala-galanya sampai yang tidak baik pun dihalalkan, toh bisa diilmiahkan pendasarannya; gampang banget kan?

 

Tak terasa kita sebenarnya telah menjadi tolol sejadi-jadinya; tentu tolol bukan karena kurang pengetahuan, bukan, bukan; kita tolol karena kita tahu mana yang benar tetapi lebih mempercayai kebohongan; itulah sebenar-benarnya kebodohan di zaman kita sekarang; zaman yang tiap detik, informasi menyerbu kita siang malam; zaman yang membuat kita bangga mempersamakan siapa diri kita dengan apa yang kita viralkan dan medsoskan

 

Tak terasa kita sudah lupa nasihat leluhur kita dulu; engkau adalah kata-katamu; engkau adalah caramu berucap dan bertindak; engkau adalah satunya kata dan perbuatan

 

Jangan-jangan kita sudah mulai rusak; kita mulai tidak tahu bahwa kita sebenarnya tidak tahu apa-apa; ignorantia ignorantiae, kata orang-orang Latin sana, ialah tidak tahu bahwa tidak tahu; wah, sobatku Indonesia, mending mati rasanya daripada menghirup napas dalam keadaan tidak tahu bahwa tidak tahu; bukankah ini sebuah katastrofa rohani terbesar di abad informasi yang serba-gemerlap dan cepat ini?

 

Lalu bagaimana dengan para cendekiawan?

Sssst, jangan ganggu mereka

Para cendekiawan sedang memikirkan dan menganalisa segala-galanya

Sedang menggunakan ilmu mereka untuk melayani uang dan kekuasaan

Sebagian mereka menjadi budak perut dan sebagian lagi budak kelamin

Mengutak-ngatik margin of error dalam survei-survei, yang penting sahih

Tentu untuk menyenangkan siapa yang bayar

Lalu dengan mulut berbusa-busa mereka mempresentasikannya di depan layar kaca

Inilah hasil kerja ilmu yang seilmiah-ilmiahnya dan dapat dipertanggungjawabkan

Mereka adalah profesional pemain-pemain metodologi

Tentu untuk ambisi dan duit, titik!

 

Lalu bagaimana para pemimpin?

Lihatlah apa yang terjadi sehari-hari

Mereka sedang mengatur semuanya

Biarkan mereka di atas sana

Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri

Mereka tidak tahu jiwa mereka telah kerdil

Kekuasaan yang digenggam membirahi syahwat ambisi mereka

Mereka lupa untuk apa berkuasa

Mereka lupa bahwa lupa adalah awal mula kejatuhan

(gnb:tmn aries:jkt:minggu:31.12.2023)

 

Baca juga artikel terkait NARASI PUITIK atau tulisan menarik Gerard Bibang lainnya.
EDITOR: Redaksi Krebadia.com


gerard bibang, wajah, daun-daun kering, Tikungan Dungu nyawa kepadamu kepadaku

Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.