Krebadia.com — Menghadapi perang di Ukraina, yang dibutuhkan hari ini bukanlah “teologi penghibur yang sesuai untuk tempat kuliah dan pidato perayaan”, melainkan sebuah “teologi penghibur yang cocok untuk parit pertahanan.”
Hal itu ditekankan Paul Zulehner, seorang teolog Wina, dalam rilis kepada Kathpress pada Jumat 14 Juli 2023, sebagaimana dilansir kathpress.at.
Menurut Zulehner, poin yang harus didiskusikan secara publik bukanlah pada kondisi kita boleh memulai perang yang adil–yang telah menjadi fokus etika perdamaian Kristen selama beberapa waktu–, melainkan pada “bagaimana kita keluar dari perang yang tidak adil.”
Keputusan tentang kondisi gencatan senjata harus ditentukan pertama-tama oleh mereka yang secara langsung terdampak oleh perang, katanya.
Rilis yang dikirim Zulehner ini sebenarnya teks pidato yang akan ia ajukan dalam Konferensi Kerja Pendidikan Internasional di Salzburg, yang tahun ini bernaung di bawah tema “Memperkuat Keyakinan”. Namun, pidato berjudul “Agama – Harapan dalam Dunia yang Goyah” ini harus dibatalkan mendadak karena halangan dari pihak Zulehner sendiri.
Salah satu pertanyaan penting dalam “teologi penghibur” yang dibutuhkan saat ini, menurut Zulehner, adalah ini:
“Siapa yang bernegosiasi dan memutuskan gencatan senjata. Dengan kata lain, bagaimana pembunuhan tanpa arti atas manusia, penghancuran kota-kota seperti Mariupol atau Bachmut, kejahatan perang seperti di Butcha, kejahatan ekologis seperti ledakan Bendungan Besar Kakhovka, pada akhirnya dapat dihentikan dengan cara yang adil dan berkelanjutan untuk mengakhiri keutuhan negara?”
Zulehner mengacu pada kriteria yang dirumuskan Johann B. Metz (1928-2019), pendiri Teologi Politik, yang berbunyi:
Otoritas utama dalam negosiasi semacam ini dimiliki oleh mereka yang menderita, yaitu mereka yang secara langsung terkena dampak. Selain itu, negosiasi semacam itu hanya akan berjalan lancar jika setiap pihak mengingat penderitaan pihak lain.
Perdamaian yang Adil
Menurut Zulehner, yang menjadi tujuan dari “teologi penghibur yang cocok untuk parit pertahanan” bukanlah “perdamaian total,” melainkan “perdamaian yang adil.”
Ia mengutip peringatan penulis Slowakia, Michal Hvorecky: “Harus ada ‘perdamaian yang adil’, yang tidak melanggar martabat setiap bangsa, hak mereka untuk menjadi mandiri, menentukan nasib sendiri, dan integritas wilayah mereka, dan yang memiliki klaim untuk merestorasi kerusakan perang yang diakibatkan oleh agresor.” Zulehner mengingatkan visi dalam Mazmur 85: “… keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman.”
Dialog perdamaian yang adil diperlukan tidak hanya karena rekonsiliasi antara bangsa-bangsa yang bertikai setelah perang, kata Zulehner. Seperti yang ditunjukkan karya komisi rekonsiliasi di Afrika Selatan atau di Rwanda, proses ini akan memakan waktu beberapa dekade.
Zulehner yakin agama-agama dapat memberikan kontribusi penting dalam hal ini. “Karena rekonsiliasi menjadi inti dari semua agama.”
Secara kritis, Zulehner mencatat bahwa–seperti yang terlihat dari dukungan Patriark Moskwa Kyrill kepads Putin–agama-agama “seringkali menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.” Agama-agama memerlukan pembersihan diri secara teratur, seperti yang dilakukan Gereja melalui pesan Injil.
Dikatakannya, kegembiraan akan muncul ketika agama-agama diperbarui dari dalam sumber internalnya sendiri.
“Ini memberikan harapan bahwa tantangan-tantangan dalam dunia yang goyah saat ini bukanlah pertarungan terakhir bagi bumi dan umat manusia, melainkan tanda kelahiran dunia di mana bangsa-bangsa hidup dalam keadilan dan perdamaian yang harmonis dengan alam,” kata teolog dan penulis buku yang produktif ini.
Agama Menumbuhkan Harapan
Menurut Zulehner, Kristen memiliki sumber-sumber yang kuat bagi teologi perdamaian yang meyakinkan. Ia merujuk pada janji Allah saat kelahiran Yesus tentang damai bagi umat-Nya.
Zulehner menekankan potensi harapan yang luar biasa terkait dengan agama, terutama dalam situasi krisis dunia yang bergejolak saat ini. Agama membangun hubungan dengan Tuhan: “Agama menciptakan koneksi, yaitu koneksi kembali ke sumber kepercayaan yang hakiki.” Ini memungkinkan umat beriman bertahan dalam ketakutan mereka. Selain itu, keteguhan manusia melawan dominasi tindakan orang lain.
“Katanya, pada kebaktian di Krakow tahun 1979, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, seseorang yang tunduk kepada Tuhan tidak akan pernah tunduk kepada partai lagi,” kata Zulehner.
Dengan demikian, kata Zulehmer, keterikatan kepada Tuhan menjadi sumber bantahan bagi para fundamentalis agama dan populis politik, bahwa “agama bukan bagian dari masalah, tetapi solusi, membebaskan dan memberikan solidaritas.”
EDITOR: Redaksi Krebadia.com