Oleh Sr. Herdiana Randut, SSpS
Member of Woke Asia Feminis, Puandemik Indonesia & Komsos SSpS Flores Barat
Kenyataan dari dahulu kala sampai sekarang dan akan datang bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang berkaitan erat satu sama lain. Bahkan begitu kuat saling keterkaitannya sehingga orang mengatakan manusia tidak terlepas dari alam dan alam tidak terlepas dari manusia. Hubungan keduanya saling menentukan. Artinya bisa menghidupkan satu sama lain, bisa juga sebaliknya, mematikan dan meniadakan satu sama lain.
Maka mudah di mengerti jika isu alam atau lingkungan sering dibicarakan di ruang-ruang publik. Selain menarik juga karena isunya menyangkut sumber aktivitas manusia itu sendiri. Alam memberi kehidupan bagi manusia. Namun, seringkali manusia menjadi sumber utama kerusakan lingkungan; eksploitasi, perampasan ruang hidup masyarakat, kebakaran hutan, proyek-proyek yang tidak memikirkan kehidupan berkelanjutan, dan lain-lain.
Manusia sejatinya harus menghargai alam sebagai sumber kehidupan. Keterikatan antara manusia dan alam melahirkan bumi yang sehat dan subur, termasuk manusia itu sendiri. Tapi itu tidak terjadi karena bermula pada pemikiran bahwa manusia menjadi tuan dan penguasa atas alam, maka dominasi atas apa pun atas alam dianggap hal yang lumrah dan sah.
Ekofeminisme
Tulisan ini hanya memberi perhatian pada perempuan, yang juga adalah manusia, dalam kaitan dengan perannya terhadap alam. Fakta gamblang menunjukkan bahwa perempuan mengambil peran yang besar dalam rangka melestarikan alam.
Peran ini menjadi urgen ketika perempuan di Indonesia hidup dalam budaya patriarki yang sangat mendominasi alam. Hal ini memiliki makna khusus bagi perempuan karena dalam budaya patriarki, perempuan diyakini lebih dekat dengan alam menurut kodratnya dibanding laki-laki. Inilah pula yang menjadi tujuan akhir dari gerakan ekologi yakni mengakhiri dominasi alam dalam menyelaraskan hubungan antara manusia dan alam yang bukan manusia.
Peran perempuan dapat dicerna dalam konteks itu. Dalam buku Teori Feminisme Ekologis: Ecofeminism oleh King tahun 1989 disebutkan bahwa sebagian besar ahli ekologi belum memahami bahwa mereka memiliki kepentingan khusus untuk mengakhiri dominasi perempuan. Bagi mereka, alasan utama penindasan perempuan adalah sifat posisi perempuan yang dianggap rendah. Kebencian kepada perempuan memiliki kaitan dengan kebencian terhadap alam dan saling menguatkan.
Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal ekofeminisme yaitu keterlibatan perempuan dalam kaitan hubungannya dengan alam. Memang ekofeminisme sendiri merupakan sebuah teori serta gerakan etika seperti biosentris serta ekosentris yang mementingkan komunitas manusia. Tidak hanya itu, ekofeminisme melawan androsentrisme yang menekankan bahwa laki-laki merupakan pusat kehidupan. Maka, ekofeminisme berpendapat bahwa krisis lingkungan disebabkan oleh dominasi laki-laki (Jurnal Gerakan Ekofeminisme Dalam Pemberdayaan Perempuan Pengolah Limbah, Ika Wijayanti, dkk, Juni 2019).
Dengan ini menjadi jelas bahwa dalam ekofeminisme, ekologi dan feminisme disinergikan menjadi sebuah satu kesatuan gerakan. Keterhubungan feminisme dan lingkungan ini tidak terlepas dari adanya kesamaan situasi dan posisi perempuan dan alam yang selalu ditindas oleh kekuatan patriarkal (Mies dan Silva, 2014).
Memaksimalkan Empati Perempuan
Ekofeminisme dalam sejarahnya merupakan sebuah gerakan yang muncul di kalangan perempuan dari berbagai profesi di berbagai belahan dunia sebagai akibat adanya ketidakadilan terhadap perempuan yang selalu dimitoskan dengan alam. Kesadaran para perempuan feminis terhadap eksploitasi alam membuat mereka bangkit berperan dalam penyelamatan lingkungan hidup sehingga tercipta kehidupan yang ecofriendly dan womenfriendly. Kunci utama dari semua ini adalah memaksimalkan empati terhadap perempuan dalam peran mereka terhadap lingkungan hidup.
Bagaimana caranya kunci itu dimainkan? Kita melihat kenyataan bahwa perempuan adalah tokoh sentral dalam rumah tangga. Dialah yang mengatur arus kehidupan dalam rumah dan keluarga seperti masak, mencuci, membersihkan rumah, menanam, merawat tanaman. Semua pekerjaan rumah tangga membutuhkan air.
Jelaslah di sini bahwa air sumber kehidupan. Dapat dibayangkan jika tak ada air, bagaimana keluarga dapat makan, minum, mandi dan sebagainya? Air yang bersih adalah sumber kehidupan untuk anak-anak yang sehat, keluarga yang sehat, dan lingkungan yang sehat. Banyak perempuan yang menuntut keadilan dengan membuat ruang ekologi dengan mempraktikkan ekofeminisme. Nilai-nilai ekofeminisme terlihat sederhana tapi menjadi bagian dari kehidupan.
Ketika diperhadapkan dengan Indonesia sendiri, pemikiran di atas menjadi relevan. Di sana sini terdapat banyak kasus kerusakan lingkungan berat. Eksploitasi dan penindasan terhadap alam menciptakan kehancuran yang imbasnya akan kembali kepada manusia sendiri. Banyak manusia menutup mata terhadap kerusakan ekologis, namun tidak sedikit pula yang menaruh perhatian terhadapnya.
Kesadaran manusia terhadap kondisi alam yang semakin memprihatinkan ini, menciptakan banyak gerakan penyelamatan lingkungan. Sekarang ini kerusakan alam semakin kompleks dan tidak terkendali. Fenomenanya mudah dengan kasatmata dilihat. Membuang sampah sembarangan, eksploitasi, dan proyek-proyek manusia yang merusak lingkungan hidup seperti geothermal.
Semua ini membuat kaum perempuan resah akan tindakan dominasi laki-laki ini. Sehingga timbullah gerakan ekofeminisme, yang ujung-ujungnya mendobrak etika antroposentrisme di mana manusia berkuasa sepenuh-penuhnya atas alam.
Untuk ini memang dibutuhkan semacam spirit dan gerakan suportif untuk menunjukkan urgensi keterlibatan perempuan dalam melestarikan alam. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim misalnya, secara internasional UNFCCC mengakui pentingnya kesetaraan pelibatan antara perempuan dan laki-laki, dalam kebijakan iklim yang responsive gender, melalui agenda khusus yang menangani masalah gender dan perubahan iklim.
Urgensi Peran Perempuan
Hemat saya akibat dari sistem patriarki yang sudah mengakar kuat di Indonesia, posisi perempuan sering ditempatkan hanya untuk urusan domestik. Oleh sebab itu, ketika kerusakan lingkungan terjadi, tentu saja perempuanlah yang paling banyak merasakan dampaknya. Namun, seringkali jeritan suara-suara perempuan yang terkena dampak tidak didengar oleh pihak-pihak terkait. Bahkan mereka mengalami kesulitan untuk dapat terlibat dalam pengambilan keputusan selama konflik-konflik mereka terjadi misalnya kasus agraria, proyek perampasan lahan, proyek geothermal dan kasus-kasus lainya.
Jadi, political will pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah untuk melibatkan perempuan dalam perumusan kebijakan dan undang-undang lingkungan, mutlak diperlukan. Harus diingat, perempuan memiliki relasi yang kuat dengan alam atau lingkungan.
Untuk sederhanya dapat saya rumuskan begini. Perempuan yang sehat akan melahirkan anak yang sehat. Jika perempuan meminum air kotor dan menghirup udara yang tidak sehat dari proyek-proyek gas bumi yang merusakkan lingkungan, maka anak yang dilahirkan akan terkena dampaknya. Karena budaya patriarki yang sarat akan hubungan dominasi dan subordinasi, maka timbullah banyak ketimpangan relasi dan eksploitasi pada perempuan lingkungan. Jika hal ini terus dibiarkan, hemat saya pula, perempuan akan terus terkena dampak dari perbuatan eksploitasi alam oleh dominasi laki-laki.
Ayo, sekarang harus bergerak mengurangi dominasi itu. Perempuan harus bangkit. Now or never!