Wacana Negerikan SDK, Tarsi Hurmali: Apakah Yapersukma Berhasil Menerapkan Nilai Kristiani di SDK?

Avatar of Etgal Putra
Tarsisius Hurmali tarsi hurmali, tarsis hurmali
Tarsisius Hurmali (kanan) bersama anak-anak di Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai. (Foto: Facebook/Tarsis Hurmali)

Krebadia.com — Apakah  Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai (Yapersukma) sebagai penyelenggara sekolah dasar Katolik (SDK) di Keuskupan Ruteng, khususnya di Kabupaten Manggarai, telah berhasil menjalankan misi Gereja dalam bidang pendidikan?

Menurut Tarsisius Hurmali, Yapersukma sebagai salah satu lembaga hukum di bawah Keuskupan Ruteng sangat berhasil menjalankan misi ini. Namun, jawabannya akan berbeda jika pertanyaan tersebut diubah menjadi apakah Yapersukma berhasil menjalankan misinya dalam menerapkan nilai-nilai kristiani di SDK.

Tarsisius Hurmali adalah pengamat sosial, saat ini berdomisili di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Ia aktif sebagai direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ayo Indonesia, sebuah LSM yang bergerak dengan visi “A healthy and educated Manggarai”, Manggarai yang sehat dan terdidik.

Tarsi Hurmali diwawancarai Krebadia.com melalui aplikasi pesan Whatsapp pada Selasa 11 Juli 2023. Ia dimintai pendapat tentang sengketa  antara Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Manggarai dan Yapersukma yang telah beberapa kali dinaikkan Krebadia.com.

Secara progresif, Tarsi Hurmali mendukung kemungkinan mengubah status SDK swasta yang bernaung di bawah Yapersukma menjadi SDK negeri di bawah kontrol pemerintah.

Berikut ini petikan wawancara selengkapnya.

Bagaimana pandangan Tarsi Hurmali melihat kondisi SDK yang saat ini dikelola oleh Yapersukma?

Saya prihatin sekali, kalau itu menyangkut prasarana seperti gedungnya. Sebagian gedung sudah bagus, tetapi di media online saya lihat satu gedung yang menyedihkan, apalagi dipasang berdampingan dengan gedung Yasukma yang baru, yang mentereng itu.

Dari segi ketenagaan, untung saja pemerintah masih ikut membantu. Bila tidak, ya, tidak mungkinlah sekolah-sekolah itu berjalan sampai saat ini.

Yasukma tidak pungut apa-apa dari anak-anak yang bersekolah di SDK sampai saat ini, kecuali, sejauh saya ingat, yang jumlahnya Rp2.000 per bulan per siswa. Tetapi, tentu saja itu tidak cukup untuk membuat Yasukma menjalankan seluruh operasi sekolah itu. Lain halnya untuk sekolah lanjutan yang mereka kelola.

Bagaimana seharusnya Yapersukma sebagai tangan Gereja dalam bidang pendidikan menangani masalah pendidikan?

Pada saat pemerintah dulu belum bisa mendirikan sekolah di mana-mana, Gereja Katolik membantu. Maka berdirilah ratusan SDK di Manggarai. Itu luar biasa sekali.

Perlu diingat bahwa SDK yang berjumlah banyak itu tidak saja didirikan oleh lembaga Gereja Katolik,  dalam hal ini Keuskupan Ruteng (pendirian SDK sudah dilakukan bahkan sebelum ada keuskupan), tetapi juga “oleh” dan “bersama” umat. Gereja itu adalah umat. Makanya lembaga yang mengayomi pendidikan itu diberi nama Yasukma, Yayasan Sekolah Umat Katolik Manggarai.

Masih banyak orang yang berpikir bahwa kata “Sukma” itu satu kata, yang artinya hati-sanubari. Bukan. Itu singkatan (akronim) dari ucapan tadi (Sekolah Umat Katolik Manggarai). Jadi, indah sekali itu.

Secara legal, lembaga itu berada di bawah Gereja Katolik Manggarai, ya (dalam hal ini di bawah) Keuskupan Ruteng.

Tetapi inti (dari Sukma) sejak awal, adalah sekolah umat, atau sekolah UNTUK umat, inklusif, tidak hanya untuk orang Katolik saja.

Nah, kita bersyukur kita lebih maju sekarang ini. Pemerintah menyediakan sekolah di banyak tempat dan membiayai sekolah tersebut.

Salah satu tujuan negara RI berdiri ya mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, pendidikan warga adalah salah satu tugas atau kewajiban pemerintah.

Tentu saja pemerintah tidak perlu sendirian, karena itu ada pihak lain yang non-pemerintah boleh ikut mendukung dalam urusan mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu antara lain lembaga seperti Yasukma.

Karena itu bila ditanya bagaimana seharusnya Yasukma sebagai tangan Gereja dalam menangani masalah pendidikan, maka saya jawab ini: kerjasama yang baik dengan berbagai pihak.

Yasukma itu tidak berada untuk dirinya sendiri, sama seperti halnya dinas PPO misalnya tidak ada untuk dirinya sendiri.

Mereka berada untuk mencerdaskan anak bangsa. Titik perhatian adalah pada tujuan konstitusional itu.

Tidak perlu melihat perbedaan antar-lembaga, karena memang ada bedanya.

Kerja sama juga dengan umat, warga masyarakat, karena ingat, dari awal, sekolah-sekolah itu semua disebut sekolah umat.

Saya dengar-dengar ada umat, atau warga, yang mau gugat tanah sekolah. Saya pikir, mungkin orang-orang itu tidak paham bahwa itu sekolah mereka, karena mereka umat dan orangtua mereka menyumbang tanah itu untuk bersama lembaga Gereja Katolik membangun sekolah.

Atau mungkin mereka merasa bahwa mereka bukan lagi bagian dari ‘pemilik’ sekolah tersebut, seperti sejarahnya. Secara legal sekolah itu tentu saja milik Yasukma. Tetapi secara esensial-historis, (sekolah) itu milik umat, dalam hal ini ya umat Katolik.

 

Apakah selama ini Yapersukma sebagai penyelenggara telah berhasil menjalankan misi Gereja dalam bidang pendidikan?

Misi Gereja, sejauh soal pendidikan, bisa diringkaskan dalam perannya sebagai Lumen Gentium, yang artinya Terang Bangsa-Bangsa.

Saya kira Yapersukma sebagai salah satu lembaga hukum di bawah Keuskupan Ruteng sangat berhasil menjalankan misi ini.

Tidak perlu diragukan untuk hal tersebut. Warga yang kini berusia 50 tahun ke atas atau yang sudah meninggal adalah produk yang ikut dididik di dalam pendidikan di sekolah-sekolah dasar tersebut.

Lain halnya kalau pertanyaannya tentang apakah Yasukma berhasil dalam menjalankan misinya dalam menerapkan nilai-nilai kristiani di SDK itu.

Saya pernah mengusulkan hal itu untuk di survei dengan cara dibandingkan dengan sekolah lain yang bukan sekolah dasar Katolik.

Sampai saat ini belum ada yang berminat, juga Yasukma itu sendiri. Maaf kalau pengetahuan saya tentang hal itu kurang terbarukan.

Menurut saya, kata “Katolik” pada frasa “sekolah dasar Katolik” itu tidak boleh secara dangkal dihubungkan hanya dengan soal kepemilikan.

Bahwa sekolah-sekolah dasar itu adalah milik Gereja Katolik secara legal, ya iya. Tetapi ini tidak saja soal legal, lebih dari soal kepemilikan sebetulnya.

Katolik di dalam frasa “sekolah dasar Katolik” itu sebetulnya semacam beban, atau boleh disebut ikrar, janji, bahwa sekolah-sekolah itu sudah, selalu, dan akan selalu unggul dalam menerapkan nilai-nilai kristiani, nilai injili di dalamnya.

Kalau tidak, kalau hanya terkait dengan kepemilikan, apa lalu bedanya dengan sekolah dasar lainnya?

Saya usulkan ada studi atau survei yang menanyakan pendapat masyarakat tentang apakah sekolah Katolik unggul dalam hal penerapan dan perjuangan nilai-nilai kristiani dibandingkan sekolah lain.

Kalau ternyata sama saja, ya kemungkinan ada dua pilihan.

Satu, berjuang lagi untuk memenuhi ikrar itu. Kedua, kalau tidak berhasil, apalagi kesulitan dalam membiayai, serahkan kepada pihak lain seperti pemerintah.

Toh tujuan pendidikan pemerintah adalah untuk umat juga, ya umat Katolik.

 

Terkait ide menegerikan SDK milik Yapersukma, apakah Ite melihat ini sebagai solusi yang tepat?

Saya tidak paham apakah SDK sebanyak itu bisa langsung dijadikan SDK negeri (Yapersukma memiliki 82 SDK di Manggarai). Mungkin ada yang bisa menjawab hal itu.

Saya sebetulnya sudah menjawab hal ini dalam pertanyaan sebelumnya. Apa tujuan kita mempertahankan sebutan Katolik di dalam sekolah-sekolah itu?

Kalau tujuannya hanya untuk mempertahankan status kepemilikan dan tidak lebih dari itu, menurut saya ide itu tidak menarik.

Saya oke dengan ide itu, kalau betul dan bisa dibuktikan kemudian bahwa huruf  “K” atau Katolik di dalam sebutan baru itu adalah sebuah “ikrar” serius yang dibuktikan.

Kalau saya sebagai orangtua ingin menanamkan nilai-nilai Katolik di dalam diri anak-anak saya, maka saya akan menyekolahkan mereka di ke SDK negeri itu. Itu kalau secara objektif  bisa dibuktikan bahwa ikrar itu serius.

Tetapi kalau itu hanya dibuat sebagai kompromi karena soal beban biaya, saya pikir jangan susah-susah, serahkan saja seluruhnya.

Nilai-nilai Katolik, kalau itu yang menjadi alasan mempertahankan kata Katolik di dalam kasus ini, tidak hanya bisa diterapkan dan diperjuangkan di dalam sekolah yang ada sebutan Katoliknya.

Saya tahu sejumlah SDI dan SDN dikelola oleh guru-guru yang juga menerapkan nilai kristiani yang baik.

Survei saja misalnya, berapa banyak imam Katolik yang muda-muda itu dulunya bersekolah di SDI, tidak selalu harus SDK.

 

Terkait ide menegerikan SDK milik Yapersukma, apakah Ite yakin Gereja akan terbuka dan berani untuk melepas SDK menjadi milik negara?

Kata “milik” ini jadi soal rupanya. Kalau orang berpikir dari segi sasaran, beneficiaries, yang mendapat keuntungan, maka kata milik mestinya kurang relevan lagi, apalagi dalam konteks beratnya beban pembiayaan, bila tanpa ada bantuan dari pemerintah.

Kalau ternyata kepentingan dari mereka yang untuk siapa sekolah didirikan terakomodasi oleh pihak lain, dalam hal ini negara, secara baik, maka Yasukma lepaskan saja sekolah-sekolah itu.

Tidak ada yang memungkiri jasa besar Gereja Katolik dalam memajukan pendidikan di Manggarai.

Saya selalu kembali ke arti dasar dari Sukma itu, Sekolah Umat Katolik Manggarai. Sama seperti Sukda di Ngadha, kalau tidak salah.

Kalau itu sekolah umat, dan ada pihak lain yang bisa mengurusi umat dari aspek pendidikan dengan baik, lebih mampu, ya serahkan saja.

Soal apa peran Yasukma kemudian di dalam sekolah yang telah diserahkan itu, ya itu soal perundingan saja. Dan bukankah pemerintah sebetulnya selalu terbuka dan akan senang hati kalau didukung oleh warganya dalam meningkatkan mutu pendidikan?

Menurut saya, guru-guru kita tidak boleh hanya dikapasitasi dari segi–maaf–otak, tetapi juga jiwanya.

Guru dengan jiwa yang kuat akan juga membentuk anak didik dengan jiwa dan karakter yang kuat.

Bangsa kita, dalam pandangan saya, mengabaikan pembangunan dan penguatan jiwa.

Bukankah itu satu hal yang di dalamnya lembaga-lembaga agama bisa sangat berperan, dalam pendidikan kita?

 

Apakah dengan melepaskan SDK menjadi sekolah negeri, Yapersukma dianggap gagal menjalankan misi Gereja dalam bidang pendidikan?

Sama sekali tidak. Semata hanya karena oleh aturan, Yasukma tidak boleh memungut sesuatu dari murid di sekolah dasar di bawah asuhannya, karena melanggar aturan.

Baru kalau boleh dan memang nyata memungut, lalu pendidikan tidak berjalan baik, Yasukma boleh dianggap gagal.

Zaman (telah) berubah dan keterlibatan Gereja Katolik dalam pendidikan tidak perlu disempitkan sebagai keterlibatan pada pada jenjang sekolah dasar dan sekolah formal saja.

Saya percaya kata-kata Tuhan Yesus: tuaian banyak, pekerja sedikit. Benar itu. Lihat itu pendidikan bagi anak disabilitas, itu bidang yang perlu diberi perhatian, dan sumber daya tidak cukup. Lihat itu pendidikan bagi orang muda putus sekolah, dan lain-lain. Banyak.

Bahkan saya lihat, Gereja Katolik masih tetap bisa menjalankan misinya untuk membuat nilai kristiani diterapkan dan dijunjung tinggi di dalam sekolah yang dia serahkan nantinya.

Menurut saya, Gereja Katolik (juga para pemimpin agama lain) perlu dilibatkan di dalam mendukung guru.

Ingat, nilai-nilai kristiani sebetulnya universal, tidak ada yang menolaknya, mirip dan bahkan juga terakomodir dalam konstitusi kita.

 

Terkait ide menegerikan SDK milik Yapersukma, masalah aset berupa tanah dan gedung bisa saja menjadi pertimbangan Gereja berat menyerahkan SDK pada negara. Menurut Ite, bagaimana semestinya Gereja bersikap?

Kalau yang dipikirkan itu kepentingan umat, anak-anak kita, masa depan Gereja, masa depan bangsa kita, maka pertimbangan kepemilikan aset itu tidak relevan.

Semakin orang menggunakan argumen terkait aset, maaf, semakin terlihat bahwa kepentingan anak boleh dikorbankan. Saya kesal membaca bahwa ada 4 SDK yang gagal mendapat dana BOSP (bantuan operasional satuan pendidikan) tahun ini.

Di sini Yapersukma harus memilih.

Pertama, tetap memiliki aset itu tetapi dengan gigih berjuang tanpa melanggar aturan agar sekolah itu berjalan, bahkan tanpa bantuan siapa pun.

Atau pilihan kedua, yang untuk sementara menurut saya lebih logis dan realistis, yakni serahkan saja semua itu kepada negara. Toh negara tidak akan menggunakan sekolah yang diserahkan itu untuk tujuan lain, selain untuk tujuan pendidikan anak kita, masa depan Gereja kita.

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com