Selamat Datang Sang Wela Wangkung

Tiga Estafet Menuju Surga

Avatar of Gerard Bibang
wela wangkung, pater waser, estafet

Estafet Satu

Selamat datang di pangkuan keabadian bunda surgawi

Memang itulah kerinduanmu ketika menebarkan Sabda ke rahim bumi Manggarai

Engkau mati bagi kebudayaanmu di tanah kelahiran Swiss

Demi memberi kehidupan bagi kebudayaan dan orang-orang Manggarai

Wahai Wela Wangkung di taman surga

Cinta kami padamu berbunga-bunga hingga telapak kaki kami menapak di alas tiba

Saat saudara kematian datang tanpa diundang

WhatsApp Image 2023 09 07 at 17.42.05

Dari perbukitan hijau Oberdorf menuju sebuah lembah terpencil nan permai; seorang lelaki muda belia memulai langkah untuk menyentuh kaki langit; disemainya Sang Sabda dari bunyi lonceng gereja saban hari; menancapkan keberanian untuk melakukan hal-hal bernilai; untuk berinkarnasi; untuk mati bagi tanah kelahiran Swiss demi memberi kehidupan bagi tanah misi

Engkau, lelaki muda, tanpa banyak mengobral kata; bunga putih ceria beraroma; adalah seorang guru, engkau; karena mengikuti jejak Sang Guru; adalah atmosfer dan bapak asrama, engkau; yang merangsang anak-anakmu di Marienburg, Sankt Gallen untuk selalu mencari cahaya, sepanjang-panjang usia

Maka siapakah anak-anak yang berlari-lari ke sana ke mari di Marienburg itu? ialah manusia sederhana seperti sekalian makhluk; mereka adalah pelibas kelabu di cakrawala biru; ditanam olehmu dalam kalbu mereka tentang apa yang paling penting diburu; ialah Sang SABDA yang telah menjadi daging; ialah Allah yang adalah KASIH

WhatsApp Image 2023 09 07 at 17.42.19

Estafet Dua

Di bumi Manggarai, tegak kakinya berdiri; sesekali ke Swiss tapi kembali lagi; ditegakannya syallom ke rahim bumi Manggarai; damai untuk sanubari; sejahtera untuk raga agar perut senantiasa terisi, otak encer dan badan bergizi

Tegak kakinya berdiri sambil pergi; tapi tidak lenyap dari pandangan mata; akhirnya kita tahu: perginya adalah jalan kembali sejatinya, yang pasti ke suatu tempat; toh setiap makhluk di bumi diciptakan hanya untuk melakukan perjalanan; langkahnya tidak pernah surut; perginya adalah jalan kembali ke tempat yang hanya ia yang tahu; ke tempat dari mana tak seorang pun dari kita dapat memanggilnya kembali; kalau kehidupan ini sulit mempertemukan kita dengannya, rupanya hanya kematianlah yang dapat mempersatukan kita kembali

Di bumi Manggarai, kemiskinan merebak di sana sini; ia pun membathin: kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan pastilah merupakakan suatu hal yang tidak perlu dibanggakan, diromantisir atau apalagi didendami

Maka diberilah dirinya sehabis-habisnya; dikuraslah jiwa raganya setuntas-tuntasnya; pakaian yang ia kenakan hanya beberapa; satu di badan, satu pakaian lainnya dicuci dan satunya lagi di almari. Aus alas kakinya sudah tak kira-kira, yang penting Manggarai senang dan bahagia

Inilah senandungnya, dalam sanubari, sendiri dan sunyi:

entah ada angin apa di puncak Mandusawu

seperti di lepas bebas dari samudera biru 

apakah cintaku bisa lari dari sini 

dari bukit dan landai permai tanah Manggarai

 

yang diam di dasar jiwaku

terlempar jauh dari sudut-sudut kampung halamanku 

aku bukan orang usiran kota besar 

hanya setetes debulah aku menggaungkan Sabda sejauh-jauh batas perjalanan

 

pulanglah ke Manggarai
membangun esok hari

kembalilah ke ladang-ladang hijau bersemi 

meniti jalan sunyi ke tanah air surgawi

WhatsApp Image 2023 09 07 at 17.42.38

Delapan februari tujuh-puluh-tujuh tibalah di tempat yang dituju; langsung ke Manggarai ke lembah Wangkung; bertumbuh menjadi wela, jadilah ia wela wangkung, bunga putih ceria; mengendarai bulan dan tahun, dari waktu ke waktu; memulai proses inkarnasi, ialah mati bagi kebudayaan sendiri demi memberi hidup bagi kebudayaan Manggarai; mati bagi diri sendiri demi menghidupkan bumi Congka sae, ialah orang-orang Manggarai

Teringat ia akan kaul kekal dalam Serikat Sabda Allah; akan Sabda yang harus menjadi daging; dilihatnya bumi manggarai hijau asri; manusia-manusianya berbau manis; tapi dalam kenyataan bau selalu lain; maka dibangunnya sekolah agar manusia-manusianya menggantang impian ke cakrawala; dibelahnya bukit berbatu, lereng gunung dan diratakannya tanah berbongkah menjadi jalan; dicarinya sumber air, dialirkannya ke rumah-rumah dan sawah; tumbuhlah manusianya menjadi orang; tumbuhlah batang-batang padi dan jagung dari sawah dan ladang-ladang; dari sana sini menggema nenggo puja puji kepada Mori Keraeng Ema Pu’un Kuasa, Pencipta langit dan bumi

Itulah yang sebenar-benarnya cinta; Sabda yang mendaging dibenamkannya ke dalam rahim bumi Manggarai agar menjadi humus; agar subur menumbuhkan wela wangkung-wela wangkung baru sepanjang waktu

Siapakah ia? ini kukatakan dengan lantang: ia adalah wela wangkung, yang telah bermandikan kucur keringat karena dipanggang terik matahari tropis; di depan rembulan, ia berkaca; merias diri dalam sunyi; untuk memastikan anak-anaknya tidak sendiri-sendiri; agar kuat menyongsong kaki langit

Wela wangkung-lah ia, tanpa langkah surut menunjukkan sebuah jalan menuju ke dalam dada, ke riak-riak samudera cinta; meski kering kerontang melucuti pepohonan seiring pasang surut cinta dan kasih sayang dari mereka-mereka yang tercinta

Ia, wela wangkung, menelan semua itu dengan kedalaman samuderanya; mengendapkan semuanya menjadi mutiara; mempersembahkannya buat anak-anak tercinta; setiap kali mereka tersilap, ia hukum mereka dengan Sabda Tuhan; seringkali dengan diam tanpa kata; setiap kali mereka kecewa, ia bangun di malam sepi lalu berdoa

WhatsApp Image 2023 09 07 at 17.42.57

Estafet Tiga

akhirnya hari-hari sunyi ia lakoni

sendiri, sepi di tempat terpencil

tak pernah ditanyakan ke mana anak-anaknya

tak pernah ditanyakan ke mana Serikat Sabda Allah

ia adalah jalan sunyi

jauh dari gosip dan hiruk-pikuk ramai

didendangkannya selalu sebuah lagu bisu

sendiri dalam kalbu
dilantunkannya sebuah puisi yang ia sembunyikan dari kata-kata

untuk merawat cinta yang tak pernah ia tahu seperti apa bentuknya

kalau-lah kita tak bisa temukan sunyinya
cukuplah tatap wajahnya

biarlah para malaikat Allah meneteskan tabir rahasia 

bahwa wajahnya adalah bayang-bayang pintu surga

WhatsApp Image 2023 09 07 at 17.43.12

Bertahun-tahun di usia senja, ia dalam sunyi; bermenung, termangu; seorang diri, sendri; tiada lebih dari sebutir debu; tidak perlu mencari panggung agar semua orang tahu

Tapi kemilau wela wangkung membiaskan cahaya; ke mana kalau bukan ke sudut-sudut bumi Congkasae  sejauh-jauh mata memandang; mengaromai manusia-manusianya yang kini sedang mengendarai waktu

Ia diam-diam bergumam:  “wahai anak-anak dan cucu-cucuku, sejatinya hanya pengembara-lah kamu; sesungguhnya kamu diam-diam punya keinginan untuk mendengar Sabda Tuhan secara langsung; memang itulah hakikat jiwamu: memendam kerinduan terhadap asal-usulmu; selalu mendambakan satu-satunya Terminal Akhir pengembaraan hidupmu!”

Di hari-hari sunyi, ia dari dan ke kamarnya, ia pergi dan selalu kembali; mendendangkan lagu bisu, sendiri; dalam lubuk hati; tentang cinta yang disembunyikannya dari kata-kata; yang tak terlukis betapa dalam keajaibannya; tentang lilin-lilin kecil di bumi Manggarai di mana cinta dan kasih sayang terpateri abadi

Di hari-hari sunyi, untuk sebentar saja, ia ingin menggoda langit negeri Swiss; corona atau omicron, tiada ia perduli; ingin ia meniti di atas jalan-jalan kecil di Oberdorf, kampung masa kecilnya; oase cinta yang membuat dirinya betah untuk sesekali bertahan

Ketika langkahnya menapaki tanah kelahiran, suaranya pelan tapi renyah seperti gairah hujan; menyelinap ke dalam jiwa orang-orang yang dijumpainya di sana; mereka-mereka yang dikenalnya disebutnya orang-orang Manggarai, misionaris dan malikat pelindung; ia bercanda sambil tersenyum

Ia bercengkerama menghangatkan jiwa di musim dingin; rambutnya tergerai serupa hutan tropis; meliuk-liuk membenihkan rindu; seperti ingin meringkus malam-malam nan syahdu di saat-saat masa kecilnya dulu; tapi tenggelam ia dalam lamunan sunyi; memohon-mohon untuk bersegeralah pulang kembali ke bumi Manggarai

Yah, wela wangkung itu tampak sendiri tapi tidak sendirian; cinta utk Manggarai sudah terurai dalam kata dan nada; menjadi lagu bisu yang selalu terdengung dalam sukma; sejauh-jauh melangkah hingga mendarat di alas tiba

Kini, ia pergi tanpa arah kembali; ke tempat darinya tak seorang pun dari kita dapat memanggilnya kembali; hanya inilah air mata dan sembahyang kita:

WhatsApp Image 2023 09 07 at 17.43.39

wahai wela wangkung

kepadamu anak-anak manggarai mempersembahkan segala api keperihan
di dada mereka membara cinta kepadamu

melakoni jalan yang engkau mulai dalam kesenyapan

meski bukan dari rahimmu

mereka tahu dahi keriputmu telah menjadi sejuta warta

tentang cinta yang melampui ruang dan waktu

 

CATATAN:

Wela  = bunga;   Nenggo = lagu;   Mori Keraeng Ema Pu’un Kuasa = Tuhan Allah Maha Kuasa;  Congkasae = tanah Manggarai;  Wangkung = nama tumbuhan berbunga putih, biasanya tumbuh di daerah panas

Dalam konteks narasi ini, Wangkung adalah paroki pertama tempat Pater Waser berkarya, mendirikan sekolah Santo Klaus, dan dari Wangkung ia melebarkan pelayanannya ke seantero Manggarai, membuka sekolah, jalan, air minum, dan tak lupa: misa kudus.

(gnb:tmn aries:jkt:kamis:7.9.23: narasi ini adalah tulis ulang tambah atas judul WELA WANGKUNG, yang dipublikasikan thn. 2019).

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


gerard bibang, wajah, daun-daun keringGerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.