Estafet Satu
Selamat datang di pangkuan keabadian bunda surgawi
Memang itulah kerinduanmu ketika menebarkan Sabda ke rahim bumi Manggarai
Engkau mati bagi kebudayaanmu di tanah kelahiran Swiss
Demi memberi kehidupan bagi kebudayaan dan orang-orang Manggarai
Wahai Wela Wangkung di taman surga
Cinta kami padamu berbunga-bunga hingga telapak kaki kami menapak di alas tiba
Saat saudara kematian datang tanpa diundang
Dari perbukitan hijau Oberdorf menuju sebuah lembah terpencil nan permai; seorang lelaki muda belia memulai langkah untuk menyentuh kaki langit; disemainya Sang Sabda dari bunyi lonceng gereja saban hari; menancapkan keberanian untuk melakukan hal-hal bernilai; untuk berinkarnasi; untuk mati bagi tanah kelahiran Swiss demi memberi kehidupan bagi tanah misi
Engkau, lelaki muda, tanpa banyak mengobral kata; bunga putih ceria beraroma; adalah seorang guru, engkau; karena mengikuti jejak Sang Guru; adalah atmosfer dan bapak asrama, engkau; yang merangsang anak-anakmu di Marienburg, Sankt Gallen untuk selalu mencari cahaya, sepanjang-panjang usia
Maka siapakah anak-anak yang berlari-lari ke sana ke mari di Marienburg itu? ialah manusia sederhana seperti sekalian makhluk; mereka adalah pelibas kelabu di cakrawala biru; ditanam olehmu dalam kalbu mereka tentang apa yang paling penting diburu; ialah Sang SABDA yang telah menjadi daging; ialah Allah yang adalah KASIH
Estafet Dua
Di bumi Manggarai, tegak kakinya berdiri; sesekali ke Swiss tapi kembali lagi; ditegakannya syallom ke rahim bumi Manggarai; damai untuk sanubari; sejahtera untuk raga agar perut senantiasa terisi, otak encer dan badan bergizi
Tegak kakinya berdiri sambil pergi; tapi tidak lenyap dari pandangan mata; akhirnya kita tahu: perginya adalah jalan kembali sejatinya, yang pasti ke suatu tempat; toh setiap makhluk di bumi diciptakan hanya untuk melakukan perjalanan; langkahnya tidak pernah surut; perginya adalah jalan kembali ke tempat yang hanya ia yang tahu; ke tempat dari mana tak seorang pun dari kita dapat memanggilnya kembali; kalau kehidupan ini sulit mempertemukan kita dengannya, rupanya hanya kematianlah yang dapat mempersatukan kita kembali
Di bumi Manggarai, kemiskinan merebak di sana sini; ia pun membathin: kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan pastilah merupakakan suatu hal yang tidak perlu dibanggakan, diromantisir atau apalagi didendami
Maka diberilah dirinya sehabis-habisnya; dikuraslah jiwa raganya setuntas-tuntasnya; pakaian yang ia kenakan hanya beberapa; satu di badan, satu pakaian lainnya dicuci dan satunya lagi di almari. Aus alas kakinya sudah tak kira-kira, yang penting Manggarai senang dan bahagia
Inilah senandungnya, dalam sanubari, sendiri dan sunyi:
entah ada angin apa di puncak Mandusawu
seperti di lepas bebas dari samudera biru
apakah cintaku bisa lari dari sini
dari bukit dan landai permai tanah Manggarai
yang diam di dasar jiwaku
terlempar jauh dari sudut-sudut kampung halamanku
aku bukan orang usiran kota besar
hanya setetes debulah aku menggaungkan Sabda sejauh-jauh batas perjalanan
pulanglah ke Manggarai
membangun esok hari
kembalilah ke ladang-ladang hijau bersemi
meniti jalan sunyi ke tanah air surgawi
Delapan februari tujuh-puluh-tujuh tibalah di tempat yang dituju; langsung ke Manggarai ke lembah Wangkung; bertumbuh menjadi wela, jadilah ia wela wangkung, bunga putih ceria; mengendarai bulan dan tahun, dari waktu ke waktu; memulai proses inkarnasi, ialah mati bagi kebudayaan sendiri demi memberi hidup bagi kebudayaan Manggarai; mati bagi diri sendiri demi menghidupkan bumi Congka sae, ialah orang-orang Manggarai
Teringat ia akan kaul kekal dalam Serikat Sabda Allah; akan Sabda yang harus menjadi daging; dilihatnya bumi manggarai hijau asri; manusia-manusianya berbau manis; tapi dalam kenyataan bau selalu lain; maka dibangunnya sekolah agar manusia-manusianya menggantang impian ke cakrawala; dibelahnya bukit berbatu, lereng gunung dan diratakannya tanah berbongkah menjadi jalan; dicarinya sumber air, dialirkannya ke rumah-rumah dan sawah; tumbuhlah manusianya menjadi orang; tumbuhlah batang-batang padi dan jagung dari sawah dan ladang-ladang; dari sana sini menggema nenggo puja puji kepada Mori Keraeng Ema Pu’un Kuasa, Pencipta langit dan bumi
Itulah yang sebenar-benarnya cinta; Sabda yang mendaging dibenamkannya ke dalam rahim bumi Manggarai agar menjadi humus; agar subur menumbuhkan wela wangkung-wela wangkung baru sepanjang waktu
Siapakah ia? ini kukatakan dengan lantang: ia adalah wela wangkung, yang telah bermandikan kucur keringat karena dipanggang terik matahari tropis; di depan rembulan, ia berkaca; merias diri dalam sunyi; untuk memastikan anak-anaknya tidak sendiri-sendiri; agar kuat menyongsong kaki langit
Wela wangkung-lah ia, tanpa langkah surut menunjukkan sebuah jalan menuju ke dalam dada, ke riak-riak samudera cinta; meski kering kerontang melucuti pepohonan seiring pasang surut cinta dan kasih sayang dari mereka-mereka yang tercinta
Ia, wela wangkung, menelan semua itu dengan kedalaman samuderanya; mengendapkan semuanya menjadi mutiara; mempersembahkannya buat anak-anak tercinta; setiap kali mereka tersilap, ia hukum mereka dengan Sabda Tuhan; seringkali dengan diam tanpa kata; setiap kali mereka kecewa, ia bangun di malam sepi lalu berdoa
Estafet Tiga
akhirnya hari-hari sunyi ia lakoni
sendiri, sepi di tempat terpencil
tak pernah ditanyakan ke mana anak-anaknya
tak pernah ditanyakan ke mana Serikat Sabda Allah
ia adalah jalan sunyi
jauh dari gosip dan hiruk-pikuk ramai
didendangkannya selalu sebuah lagu bisu
sendiri dalam kalbu
dilantunkannya sebuah puisi yang ia sembunyikan dari kata-kata
untuk merawat cinta yang tak pernah ia tahu seperti apa bentuknya
kalau-lah kita tak bisa temukan sunyinya
cukuplah tatap wajahnya
biarlah para malaikat Allah meneteskan tabir rahasia
bahwa wajahnya adalah bayang-bayang pintu surga
Bertahun-tahun di usia senja, ia dalam sunyi; bermenung, termangu; seorang diri, sendri; tiada lebih dari sebutir debu; tidak perlu mencari panggung agar semua orang tahu
Tapi kemilau wela wangkung membiaskan cahaya; ke mana kalau bukan ke sudut-sudut bumi Congkasae sejauh-jauh mata memandang; mengaromai manusia-manusianya yang kini sedang mengendarai waktu
Ia diam-diam bergumam: “wahai anak-anak dan cucu-cucuku, sejatinya hanya pengembara-lah kamu; sesungguhnya kamu diam-diam punya keinginan untuk mendengar Sabda Tuhan secara langsung; memang itulah hakikat jiwamu: memendam kerinduan terhadap asal-usulmu; selalu mendambakan satu-satunya Terminal Akhir pengembaraan hidupmu!”
Di hari-hari sunyi, ia dari dan ke kamarnya, ia pergi dan selalu kembali; mendendangkan lagu bisu, sendiri; dalam lubuk hati; tentang cinta yang disembunyikannya dari kata-kata; yang tak terlukis betapa dalam keajaibannya; tentang lilin-lilin kecil di bumi Manggarai di mana cinta dan kasih sayang terpateri abadi
Di hari-hari sunyi, untuk sebentar saja, ia ingin menggoda langit negeri Swiss; corona atau omicron, tiada ia perduli; ingin ia meniti di atas jalan-jalan kecil di Oberdorf, kampung masa kecilnya; oase cinta yang membuat dirinya betah untuk sesekali bertahan
Ketika langkahnya menapaki tanah kelahiran, suaranya pelan tapi renyah seperti gairah hujan; menyelinap ke dalam jiwa orang-orang yang dijumpainya di sana; mereka-mereka yang dikenalnya disebutnya orang-orang Manggarai, misionaris dan malikat pelindung; ia bercanda sambil tersenyum
Ia bercengkerama menghangatkan jiwa di musim dingin; rambutnya tergerai serupa hutan tropis; meliuk-liuk membenihkan rindu; seperti ingin meringkus malam-malam nan syahdu di saat-saat masa kecilnya dulu; tapi tenggelam ia dalam lamunan sunyi; memohon-mohon untuk bersegeralah pulang kembali ke bumi Manggarai
Yah, wela wangkung itu tampak sendiri tapi tidak sendirian; cinta utk Manggarai sudah terurai dalam kata dan nada; menjadi lagu bisu yang selalu terdengung dalam sukma; sejauh-jauh melangkah hingga mendarat di alas tiba
Kini, ia pergi tanpa arah kembali; ke tempat darinya tak seorang pun dari kita dapat memanggilnya kembali; hanya inilah air mata dan sembahyang kita:
wahai wela wangkung
kepadamu anak-anak manggarai mempersembahkan segala api keperihan
di dada mereka membara cinta kepadamu
melakoni jalan yang engkau mulai dalam kesenyapan
meski bukan dari rahimmu
mereka tahu dahi keriputmu telah menjadi sejuta warta
tentang cinta yang melampui ruang dan waktu
CATATAN:
Wela = bunga; Nenggo = lagu; Mori Keraeng Ema Pu’un Kuasa = Tuhan Allah Maha Kuasa; Congkasae = tanah Manggarai; Wangkung = nama tumbuhan berbunga putih, biasanya tumbuh di daerah panas
Dalam konteks narasi ini, Wangkung adalah paroki pertama tempat Pater Waser berkarya, mendirikan sekolah Santo Klaus, dan dari Wangkung ia melebarkan pelayanannya ke seantero Manggarai, membuka sekolah, jalan, air minum, dan tak lupa: misa kudus.
(gnb:tmn aries:jkt:kamis:7.9.23: narasi ini adalah tulis ulang tambah atas judul WELA WANGKUNG, yang dipublikasikan thn. 2019).
EDITOR: Redaksi Krebadia.com
Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, dosen, dan penyair, mantan jurnalis-penyiar radio Deutsche Welle Jerman dan Radio Nederland Wereldomroep Belanda.